Dalam kurun waktu belakangan ini dunia pendidikan sangat riuh dengan literasi yang dapat dikatakan sebagai sebuah isu sentral dimana seringnya disosialisasikan berkenaan dengan literasi sosial budaya yang dikemas dalam sebuah program pembelajaran baik itu di sekolah ataupun di madrasah. Dimana literasi tersebut mengandung fokus utamanya yaitu berkenaan dengan anti kekerasan sebagai cara menghilangkan atau bahkan memberikan pemahaman mengenai upaya sebagai pencegahan anti kekerasan dalam segala aspek. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya tindak kekerasan saat ini sangat hangat diperbincangkan bahkan terjadi dalam dunia pendidikan. Salah satu bukti terjadinya kekerasan yang terjadi di sekolah yakni adanya penindasan yang dilakukan oleh siswa yang satu ke siswa yang lainnya, atau bahkan aksi penindasan tersebut dilakukan secara berkelompok oleh sebagian siswa. Perilaku yang sangat tidak mencerminkan sebagai karakter anak bangsa ini di sebut dengan bullying.
Siapa sih yang tidak pernah mengenal atau mendengar istilah bullying? Bukan kah tidak asing ditelinga kita? Bullying diartikan sebagai suatu tindakan menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik itu secara verbal, fisik bahkan psikologis hingga dari kejadian tersebut membuat korban defresi, tertekan bahkan tidak sedikit yang mengalami trauma secara mendalam. Lantas apakah perilaku ini dilakukan oleh orang dewasa? Oh tentu saja bukan, pelaku bulying ini dilakukan oleh orang yang tidak mengenal, baik itu usia muda, anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun, bahkan pelaku bullying tidak mengenal jenis kelamin. Lantas faktor apa yang menyebabkan pelaku melakukan aksi tersebut? Dan apa dampak apa yang akan dirasakan oleh korban serta solusinya seperti apa.
Sesuai dengan data yang dilansir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sebanyak 251 anak berusia 6-12 tahun menjadi korban kekerasan di sekolah pada tahun ini, lebih tepatnya pada bulan januari-April 2023. Sebanyak 251 korban kekerasan dengan rentang usia sekolah dasar yang terdiri dari 142 anak perempuan dan 109 anak laki-laki. Data mencatat, ada yang termasuk kedalam korban kekerasan fisik, korban kekerasan psikis, korban kekerasan seksual, eksploitasi, penelantaran hingga kekerasan lainnya.
Begitu mirisnya dengan adanya kasus seperti ini. Penulis membaca salah satu artikel yang ditulis oleh Zakiyah dkk, dimana dalam artikel tersebut terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya bullying, salah satu penyebabnya yaitu sekolah. Isi dari artikel ini menyebutkan bahwa pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, akibatnya anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka guna melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying ini tentu tidak mengenal tempat, buktinya di lingkungan sekolah pun bulying ini bekembang sangat pesat.
Penyebab bullying pada anak, tentu memiliki banyak faktor baik itu dari internal maupun dari eksternal. Namun yang sering kita jumpai yakni adanya ketidakseimbangan antara pelaku dengan korban. Baik itu berupa ukuran fisik, badan, gender ahkan status sosial. Bukan hanya itu saja, melainkan adanya ketidakseimbangan atau penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan untuk kepentingan pelaku dengan cara yang paling sederhana, yaitu mengganggu bahkan mengucilkan korban. Disinggung perihal sekolah yang memberikan sanksi yang tidak membangun atas kesalahan atau bahkan kasus yang melanggar hukum ini, sangat jelas bahwa bullying ini mendapat perhatian yang kurang sehingga mampu menjatuhkan banyak korban. Kenapa bisa demikian? Karena perhatian yang kurang ini dilatarbelakangi oleh diliha dari sudut pandang yang lain, karena memang efek bullying ini tidak terlihat secara langsung dan bahkan tidak adanya pengaduan kepada pihak berwajib, mungkin korban merasa takut, malu atau bahkan diancam atau dengan adanya alasan lain yang tidak bisa diungkapkan? Entahlah.
Bullying secara kasat mata tampak dibilang seperti guyonan belaka yang bersifat biasa-biasa yang tujukan kepada anak-anak. Terdengarnya berbagai olokan, ejekan dan lain sebagainya secara verbal itu mampu memberikan dampak yang serius untuk anak, bahkan dikatakan “berbahaya”. Biasanya orang tua dan guru menganggap teguran sudah dirasa cukup untuk mengakhiri candaan di sekolah. Padahal tanpa disadari, hal tersebut sudah mengganggu psikis hingga emosional secara mendalam dan akan menimbulkan efek yang jangka nya tidak ada yang tahu sampai kapan. Disatu sisi tidak dapat dipungkiri mungkinsaja pengetahuan orang tua dan guru masih minim tentang bullying ini. Maka dari itu sangat perlu diberikan sosialisasi bahkan pendidikan untuk mereka guna memberikan sebuah pemahaman, sehingga mereka mampu menyadari atau melihat masalah yang dihadapi anak dilingkungannya dinilai serius atau tidak.
Dampak apa yang akan dirasakan oleh anak dengan adanya bullying ini? Ketika anak menjadi korban, tentu yang pertama akan berdampak pada kesehatan mental. Anak merasa sendiri bahkan merasa kesepian dari lingkungan sosialnya, tidak memiliki sahabat, sehingga hal ini akan menjadi trauma yang cukup panjang. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa bullying menjadi faktor pertama bahkan utama yang mampu mempengaruhi prestasi dari dalam bidang akademik bahkan tidak sedikit yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Ternyata ada juga anak yang menjadi korban ditambah anak itu juga yang menjadi pelaku bullying tersebut. Ini bisa dikatakan tingkat gangguan mentalnya bertambah lebih besar, tentu ini harus menjadi peratian khusus baik itu dari peran orang tua atau dari pihak sekolah. Dari berbagai masalah yang ada, lantas apakah ada solusinya? Menurut pendapat yang disampaikan oleh salah satu dosen FIP UNESA dikatakan bahwa iklim sekolah harus diperhatikan, sekolah harus mempunyai program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif. Harus adanya korelasi atau kerja sama antara orang tua dan sekolah, sehingga terjalin sebuah komunikasi yang kuat dan sehat. Bahkan jika perlu sekolah menyediakan sebuah bidang/divisi yang melayani komunikasi dengan orang tua, caranya dengan membuat sebuah website interaktif yang mampu digunakan oleh orang tua untuk memperoleh informasi perihal perkembangan anak.
Salah satu hal yang tidak boleh terlupakan dan sangat penting untuk diperhatikan tidak lain yaitu memperbaiki komunikasi antara orang tua dan anak ketika di rumah. Berikanlah pola asuh dimana pola asuh itu tepat diberikan dan membawa kebaikan bukan hanya sekedar fisik saja tetapi mampu memberikan ketenangan dalam hatinya, dan yang terakhir selalu berikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan hal sekecil apapun, sehingga anak mempunyai kewajiban bukan hanya menjadi pendengar melainkan dia memiliki hak untuk didengar.
DAFTAR PUSTAKA
Zakiyah, E. Z., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017). Faktor yang mempengaruhi remaja dalam melakukan bullying. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2).