Anak akan mampu menyesuaikan diri melalui dorongan keluarga sebagai lingkungan terdekat anak. Keluarga berperan tidak hanya menyangkut perihal pemenuhan segala kebutuhan yang bersifat biologis, tapi kebutuhan psikologis dan sosiologis yang wujud nyatanya adalah terjalinnya kelekatan yang aman antara anak dengan orangtua (Rahmatunnisa, 2019). Maria Montessori, salah satu pakar pendidikan anak usia dini terkenal, menyatakan bahwa pada rentang usia lahir sampai 6 tahun anak mengalami masa keemasan yang dimana disebut masa peka/sensitif dalam menerima berbagai stimulasi. (Uce, 2008). Upaya orangtua dalam menstimulasi anak beragam. Lebih lanjut, stimulasi yang orangtua berikan, akan menentukan kualitas konsep diri anak di masa selanjutnya.
Calhaun dan Acocella (1990:67) dalam (Subaryana, 2015) mengemukakan bahwa konsep diri ialah bagaimana diri anda memandang diri sendiri yang meliputi tiga demensi yakni: (1) pengetahuan atau apa yang diketahui diri sendiri, (2) pengharapan mengenai dirinya dan pengharapan ini merupakan diri ideal, (3) penilaian tentang dirinya sendiri. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh fits (1971:3) “ the self as seen,perceived, and experienced by him” konsep diri sebagai diri yang dia rasakan, dan dia alami. Berdasarkan kedua pendapat diatas bahwa ada pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya konsep diri tersebut bagaimana seseorang itu memandang dirinya melalui apa yang dia rasakan dan alami.
Membentuk konsep diri tentunya tidak membutuhkan waktu sebentar. Pendapat yang sama dikemukan oleh (Diananda, 2018) bahwa konsep diri terbentuk dalam waktu yang relatif tak singkat, dan pembentukan ini tidak bisa diartikan bahwa reaksi yang tidak biasa dari seseorang dapat mengubah konsep diri. Sebenarnya konsep diri terbentuk dengan seberapa sering seseorang melakukan interaksi dengan lingkungannya, misalnya seorang guru yang mengatakan secara terus menerus pada seorang muridnya bahwa ia kurang mampu, lama kelamaan anak akan mempunyai konsep diri seperti itu.
Selanjutnya,hal tersebut bisa dikatakan negative reinforcement yang akan diterima seseorang dan jelas sangat mempengaruhi konsep diri orang tersebut. Diananda juga menulis dalam penelitianya yang dikutip dari Ibid; h.510-511 Secara gamblang bahwa konsep diri tersusun pada dasarnya atas berbagai tahapan. Salah satunya yang paling dasar ialah konsep diri primer, yaitu konsep yang terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekat, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Terlebih pengalaman-pengalaman yang berbeda yang ia terima melalui anggota rumah, dari orangtua, nenek, paman,ataupun saudara-saudaranya.
Konsep diri anak yang bersifat primer dapat dikaitkan dengan ragam pola asuh orangtua terhadap anaknya dan kecenderungan-kecenderungannya yang bisa membentuk konsep diri anak. Pola asuh yang demokratis dengan pola asuh orang tua yang suportif dan ramah keluarga tentunya akan menimbulkan kecenderungan anak yang lebih terbuka dan percaya diri. Bentuk dari suportif dan ramah keluarga itulah yang dinamakan positive reinforcement.
Pendekatan behavorial (teknik reinforcement) merupakan salah satu pendekatan yang mulai dikenalkan dalam konseling. Menurut Walker dan Shea dalam (Maulana, 2021), Positive reinforcement dimanfaatkan untuk memberikan penguatan yang menyenangkan setelah perilaku yang dinginkan cenderung akan diulang, meningkat,menetap di masa akan datang. Terlebih jika reinforcement ini diterapkan sejak dini, jika semakin banyak penguatan positif yang anak terima maka keterampilan konsep diri anak semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut, maka postive reinforcement adalah suatu stimulus atau rangsangan berupa benda,atau peristiwa yang dihadirkan dengan segera terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan frekuensi munculnya perilaku tersebut. Terakhir, positive reinforcement memiliki komponen yang mendukung untuk dilakukan sebagai teknik pendekatan dalam keluarga. Komponen tersebut yaitu penguatan verbal ( berupa kata pujian),penguatan gestural (mimik wajah dan bahasa tubuh), penguatan sentuhan ( kehangatan berupa pelukan atau dekapan), dan penguatan mendekati ( ikut merasakan).
Positive reinforcement mampu mendorong peningkatan dalam keterampilan konsep diri anak sejak dini. Konsep diri yang distimulasi dengan baik akan memberikan afirmasi secara positif dan akan dilakukan secara berulang untuk masa yang datang. Berdasarkan hal tersebut, keluarga merupakan langkah mendasar untuk membentuk konsep diri yang berkualitas melalui pendekatan positive reinforcement. Terakhir, adanya positive reinforcement dalam keluarga mampu menciptakan pandangan-pandangan yang baik dari anak untuk dirinya sendiri, sehingga akan mampu meminimalisir bentuk fenomena kurang baik atas konsep diri anak di masa dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Diananda, A. (2018). Urgensi Pendidikan Karakter Dalam Pembentukan Konsep Diri Anak. Journal ISTIGHNA, 1(2), 1–21. https://doi.org/10.33853/istighna.v1i2.1
Maulana, R. (2021). Implementasi Reinforcement Positif Dalam Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Pada Peserta Didik Kelas Vii Mts Al-Khairiyah Kaliawi Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015-2016 Skripsi. 2021.
Rahmatunnisa, S. (2019). Kelekatan antara anak dan orang tua dengan kemampuan sosial. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(2), 97–107. https://jurnal.umj.ac.id/index.php/YaaBunayya/article/view/5567
Subaryana. (2015). Konsep diri dan prestasi belajar. Jurnal Dinamika Pendidikan Dasar, 7(2), 21–30.
Uce, L. (2008). The golden age. International Journal, 64(1), 205–221. https://doi.org/10.1177/002070200906400118
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H