SETARA DI MATA HUKUM, TAPI APAKAH MANUSIA SETARA DI MATA POLITIK INDONESIA?
BAGAIKAN BUDAK MELIHAT TUANNYA MAKAN
Sebagai Negara Hukum, Indonesia memiliki UU bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum. Hukum ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Artinya, Segala warga negara dan pemerintahan itu setara dimata hukum, tidak ada satu lebih tinggi dari yang lain, dan mereka wajib menjunjung tinggi hukum tersebut tanpa terkecuali. Kesetaraan juga disinggung pada Pancasila sila kelima yang berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", yang mana mengartikan kesetaraan rakyat Indonesia dalam kehidupan bernegara. Meskipun terdapat kesetaraan dimata hukum, dalam praktiknya, kesetaraan masih jauh dari ideal. Praktik seperti oligarki, buzzer pemerintah, politik dinasti, kolusi, nepotisme, dan korupsi menyebabkan ketidaksetaraan manusia. Banyak kelompok minoritas, dan kelas sosial menengah ke bawah, sering kali mengalami ketidaksetaraan manusia.
Kesetaraan itu harus berlaku dimana saja, seperti kesetaraan gender, kesetaraan sosial, kesetaraan eknomi, kesetaraan moral, dan kesetaraan politik. Pengetahuan kesetaraan ini masih sangat rendah di masyarakat, masyarakat masih sering membedakan antara satu sama lain. Padahal kesetaraan di mata hukum dunia yaitu equality before the law (EBL) yang artinya asas yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Hukum ini bermakna bahwa manusia setara dan sama di hadapan hukum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, suku, disabilitas, atau karakteristik lainnya. EBL ini diterapkan dalam Hak Asasi Manusia yang mana Hak segala manusia yang bersifat universal, artinya berlaku untuk semua orang tanpa membedakan-bedakan.
Dimata politik Indonesia, kesetaraan ini masih belum di dapat, masih banyak kasus yang mana seseorang atau kelompok lebih tinggi daripada orang lain. Praktik ketidaksetaraan ini bisa dilihat dari kondisi politik Indonesia saat ini, yang mana yang memiliki kedudukan jauh lebih semena-mena tanpa memandang dibawahnya. Kasus tersebut tidak jauh dari Presiden kita ke-7 yaitu Joko Widodo, yang mana selama jabatan beliau banyak kasus-kasus ketidaksetaraan politik, bahkan tidak jauh darinya.Â
Di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, isu ini sering menjadi perhatian, terutama karena dinamika politik yang kompleks antara pemerintah, partai-partai politik, dan bahkan keluarganya sendiri. Kinerja Jokowi dalam kesetaraan politik sangatlah buruk, dimana praktik oligarki dan kolusi digaungkan. Kesetaraan di Indonesia mengami kerapuhan, dampaknya terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi, tentu mengakibatkan kecemburuan sosial.
Menjelang pemilihan Calon Wakil Presiden lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi karpet merah pada anaknya Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka dengan menurunkan batas umur pencalonan. Pada saat itu ketua umum MK adalah pamannya Gibran itu sendiri yaitu Anwar Usman. Jelas dari kasus ini adalah contoh nepotisme dan kolusi, ini adalah pelanggaran berat demokrasi, dan juga termasuk ketidaksetaraan politik karena proses ini tidak memandang siapa yang dipersilahkan. Bahkan ini juga dilakukan kembali oleh MK yaitu batas umur pencalonan Pilkada yang mana Kaesang Pangarep berinisiatif untuk maju dalam Pemilihan Pilkada. Dari dua kejadian ini, apa bisa dikatakan kalau Kesetaraan Manusia di Indonesia masih kuat? atau melemah?
Kasus lain yang mana Pak Prabowo Subianto selaku presiden terpilih ke-8, sedang makan bersama Jokowi yang diikuti oleh artis-artis Indonesia. Sedangkan masyarakat berbondong-bondong jauh melihat mereka menikmati bakso tersebut. Dari fenomena ini, masih bisa dikatakan kesetaraan manusia? Masyarakat yang hanya melihat mereka semua makan bakso, bagaikan para koloni budak yang melihat tuannya makan. Jelas dari kasus ini adalah contoh ketidaksetaraan manusia di Indonesia.
Ketidaksetaraan ini sepeti halnya kekuasaan yang bersifat monarki. Yang mana Pemimpin tidak setara dengan rakyat. Yang memiliki mandat, tidak setara dengan rakyat. Di Negara demokrasi, praktik monarki secara diam-diam disebut "monarki de facto" atau "monarki terselubung". monarki de facto, di mana sebuah keluarga atau segelintir orang mempertahankan pengaruh besar dalam pemerintahan melalui mekanisme pemilu. Kekuasaan cenderung dipusatkan pada segelintir saja dengan cara yang lebih menyerupai pewarisan kekuasaan dalam monarki. Para anggota keluarga secara resmi mencalonkan diri melalui mekanisme demokrasi (pemilu) dan tidak otomatis mewarisi kekuasaan. Pemimpin bisa menciptakan sistem di mana hampir tidak ada pihak lain yang bisa menantang atau menggantikan mereka, membuat kekuasaan dalam lingkaran segelintir itu saja yang semakin mudah dan mirip monarki. Praktik ini juga bisa disebut "Politik Dinasti". Praktik seperti ini dianggap bertentangan dengan Demokrasi dan termasuk pelemahan Demokrasi. Mereka secara bertahap dan sering disertai oleh campur tangan politik, propaganda, dan kontrol media atau buzzer untuk mempertahankan masyarakat menganggap kalau praktik tersebut benar dan tidak melanggar demokrasi.
Praktik seperti ini seperti ini adalah ketidaksetaraan manusia yang mana kesempatan manusia tidak sama yang mana dinasti politik cenderung memberikan kesempatan lebih besar bagi anggota keluarga pejabat untuk menjadi posisi jabatan publik, dibandingkan dengan masyarakat umum (Nepotisme). Ketidaksetaraan ini juga berpengaruh dalam pengelolaan Sumber daya yang mana keluarga pejabat tersebut biasanya memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya, jaringan politik, dan pengaruh. Dengan adanya nama besar atau koneksi keluarga, mereka bisa lebih mudah mendapatkan dukungan partai bahkan memenangkan pemilu. Sementara itu, calon independen atau kandidat dari masyarakat biasa cenderung tidak mendapatkan dukungan yang sama.