Mohon tunggu...
Gusti Ayu Komang Diva Triani
Gusti Ayu Komang Diva Triani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Agama Hindu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Catur Marga dan Tempat Suci Hindu

20 September 2023   21:11 Diperbarui: 20 September 2023   22:16 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ajaran Catur Marga merupakan sebuah konsep ajaran yang sudah sangat umum dikenal oleh umat Hindu sebagai salah satu aspek Tattwa dalam kerangka dasar agama Hindu. Lalu, apa yang dimaksud dengan Catur Marga? Catur Marga terdiri dari dua kata, yakni Catur dan Marga. Yang mana kata Catur berarti empat dan Marga berarti jalan atau cara. Jadi, Catur Marga adalah empat jalan atau cara menuju Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa dalam mencapai kesempurnaan hidup atau Moksha. Ajaran Karma Marga ini juga kerap disebut dengan Catur Marga Yoga. Adapun bagian-bagian dari Catur Marga yakni terdiri atas empat bagian, yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga. 

Bhakti Marga Yoga adalah jalan atau cara untuk mencapai Moksha melalui bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Yang kedua, yaitu Karma Marga Yoga yakni jalan atau cara dalam mencapai Moksha dengan kerja tulus ikhlas dan tanpa pamrih, serta tidak mengharap imbalan apa pun. Selanjutnya, yakni Jnana Marga Yoga yang artinya jalan atau cara dalam mencapai Moksha melalui mendalami ilmu pengetahuan khususnya Agama Hindu. Lalu yang terakhir adalah Raja Yoga Marga, yaitu jalan atau cara dalam mencapai Moksha dengan melakukan tapa, brata, yoga, dan smadhi. Adapun contoh penerapan dari ajaran Catur Marga Yoga ini dapat kita lihat pada saat perayaan hari raya Nyepi dan Ngembak Geni, yaitu

  • Bhakti Marga

Pada saat hari raya Nyepi, umat Hindu akan melakukan Catur Brata penyepian sebagai bentuk pantangan dalam merayakan hari raya Nyepi, yang mana hal ini merupakan salah satu bentuk bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Sementara, dalam perayaan Ngembak Geni umat Hindu umumnya melakukan puja dan persembahyangan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena telah dilancarkan dalam melakukan Catur Brata Penyepian selama hari raya Nyepi berlangsung.

  • Karma Marga

Penerapan Bhakti Marga dalam perayaan hari raya Nyepi juga dapat dilihat dalam pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang dilakukan dengan tulus ikhlas. Selain itu, juga dapat diterapkan ketika pengarakan ogoh-ogoh berlangsung, yang mana membutuhkan kerja sama atau menyama braya secara tulus ikhlas untuk kelancarannya. Sementara, ketika Ngembak Geni umat Hindu umumnya akan bergotong royong untuk membersihkan lingkungan yang kotor akibat pengarakan ogoh-ogoh.

  • Jnana Marga

Dalam perayaan Nyepi, Jnana Marga dapat diterapkan dengan mempelajari kitab-kitab Agama Hindu guna mendalami pemahaman tentang agama Hindu itu sendiri sembari menerapkan Catur Brata penyepian. Lalu ketika Ngembak Geni, umat hindu dapat melakukan diskusi dan berbagi ilmu dan pengalaman antar sesama.

  • Raja Marga

Penerapan Raja Marga pada saat perayaan hari raya Nyepi dan Ngembak Geni dapat dilakukan dengan melakukan yoga dan meditasi sebagai bentuk penenangan diri dan pengendalian pikiran.

Dalam agama Hindu, kita mengenal adanya Kitab Bhagawad Gita. Yang mana kitab ini memiliki ajaran universal yang dapat berlaku untuk semua umat manusia. Contohnya yakni dalam Bhagawad Gita Adhyaya 7:21, yang berbunyi:"Yo-yo y- y tanu bhakta raddhayrcitum icchati, asya tasy cal radd tm eva vidadhmy aham." Yang artinya: kepercayaan apa pun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap." Sloka ini mengajarkan kita untuk menghormati dan menghargai terkait perbedaan kepercayaan yang ada, baik itu perbedaan bentuk persembahan dalam agama Hindu itu  sendiri, ataupun perbedaan kepercayaan agama. Seperti kasus yang bisa kita lihat saat ini, yang mana umat Hindu pada setiap daerah di Bali memiliki bentuk persembahan yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat kita jadikan cermin bahwa agama Hindu bersifat universal dan fleksibel.  Namun, semua perbedaan ini sah-sah saja terjadi karena sesungguhnya itu semua memiliki esensi dan tujuan yang sama. Di samping itu, Sri Kresna memberitahukan kepada umat manusia, bahwa di dunia ini akan ada lebih dari satu agama dan Tuhan mempersilahkan manusia untuk memilih mana yang akan dijadikan dasar keyakinannya. Oleh karena itu, dengan adanya keberagaman tersebut kita harus bisa saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Janganlah saling menghina dan menyombongkan agama, karena semua agama yang ada merupakan kehendak dari Tuhan sendiri.

Dalam Sarasamuscaya, terdapat sloka yang berbunyi: "Apan iking dadi wwang, utama juga ya, nimitaning mangkana, wnang ya tumulung awaknya sangkeng sangsra, makasdhanang ubhakarma, hinganing kotamaning dadi wwang". Yang artinya: Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia" (Sarasamucaya I.4). Sloka ini menjelaskan bahwa menjadi manusia merupakan hal yang sangat mulia. Yang mana, manusia dianugerahi dengan idep atau kemampuan untuk berpikir sehingga manusia mampu membebaskan dirinya dari kesengsaraan keduniawian dan terbebas dari hukum reinkarnasi dan mencapai kesempurnaan hidup yakni Moksha melalui perbuatan baik yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu, yang salah satunya adalah ajaran Catur Marga.

Sebagai sebuah agama, Hindu tentu memiliki tempat suci sebagai tempat persembahyangan. Umat Hindu di Bali biasa menyebutnya dengan sebutan pura. Adapun salah satu pura di Bali yang dijadikan sebagai tempat pemujaan roh orang suci Hindu, yakni Pura Uluwatu. Pura ini merupakan salah satu Pura Sad Khayangan yang dipercaya oleh umat Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Namun, pura ini juga digunakan sebagai tempat pemujaan kepada roh dari pendeta suci yakni Empu Kuturan dan Danghyang Dwijendra. Empu Kuturan merupakan seorang pendeta dari abad ke-11 yang menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya.  Sementara Danghyang Dwijendra merupakan seorang pengelana Hindu abad ke-16 yang juga dihormati karena kesucian dan jasa-jasanya dalam menjabarkan ajaran Hindu di Bali. Pura ini juga menjadi tempat terakhir dalam perjalanan suci dari Danghyang Dwijendra, yang mana beliau berhasil mencapai Moksha atau Bersatu Kembali dengan Brahman.

Di samping itu, di Bali juga terdapat pura-pura yang dijadikan sebagai tempat untuk memuja para dewa dan dewi, yakni seperti Pura Ulun Danu Batur dan Pura Ulun Danu Bratan. Pura Ulun Danu Batur ini juga merupakan salah satu Pura Khayangan Jagat yang didedikasikan untuk memuja Dewa Wisnu. Sementara, Pura Ulun Danu Bratan merupakan tempat untuk memuja Dewi Laksmi sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan. Dewi Laksmi memiliki kaitan yang erat dengan Dewa Wisnu. Dalam beberapa inkarnasi Wisnu (Awatara), Dewi Laksmi juga turut ikut mendampingi Dewa Wisnu, contohnya ketika Dewa Wisnu berinkarnasi sebagai Krisna, Dewi Laksmi juga berinkarnasi sebagai Radha. Selain itu, ketika Dewa Wisnu lahir ke bumi sebagai Rama, Dewi Laksmi juga lahir sebagai Sita, yakni istri dari Rama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun