Satu hal yang paling penting orang-orang membuat film sudah siap dengan dana produksinya, sudah siap dengan rancangan visualnya, sudah siap dengan rancangan marketnya, sudah siap dengan publikasinya, sudah siap dengan segala perhitungan keuntungan dan kerugiannya, sudah siap dengan jaringan bioskopnya, sudah siap dengan jaringan sponsornya, sudah siap dengan rancangan festival yang akan di ikutsertakannya, hingga sudah siap dengan alternatif lain distribusinya semisal berupa CD/DVD, maupun pemutaran melalui bioskop keliling atau yang di sebut layar tancap, atau juga roadshow kampus ke kampus, sekolah ke sekolah dan lain sebagainya. Namun belakangan ini sudah semakin marak, membuat film di lakukan oleh orang-orang yang gagal dalam dunianya, mereka tidak mampu bersaing secara sehat dengan para pekerja lainnya yang dinamis, atau yang memang tidak mengerti sama sekali dan pura-pura mengerti, sehingga menghalalkan segala cara, dan ini sudah terjadi sudah cukup lama, faktor ekonomi menjadi dasar utama adanya kecurangan tersebut. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pekerja seni film dan televisi, yang memang seringkali berhadapan dengan aroma tak sedap, mengatasnamakan produksi film dan televisi, kemudian menarik minat para investor daerah terutama, di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Papua, dll, dengan segala alibi dan presentasinya yang menggiurkan. Namun nyatanya banyak hal yang terjadi, filmnya gagal tayang, filmnya juga tidak terealisasi, bahkan ada pula filmnya di tengah jalan berhenti produksi. Alasannya adalah karena memang dari awal tidak tahu sama sekali sistem produksi, bisa juga tahu secara teori tapi pada prakteknya nol besar, karena berbisnis pada dunia film dan televisi bisa di katakan cara absurditas, mengingat dari tahun ke tahun banyaknya rumah produksi film yang tumbang satu persatu, hanyalah yang kuat mampu bertahan bertahun-tahun, sementara banyak rumah produksi film yang bermunculan dan tumbuh seperti pohon, atau satu shal yang tidak kalah penting karena mereka semerta-merta untuk mencari keuntungan semata.
Ini seharusnya fenomena yang tidak asing, yang harus di baca oleh masyarakat luas, atau para investor daerah agar benar-benar mengkaji secara seksama, siapakah orang yang berada di balik itu? Siapakah sutradaranya? Siapakah produsernya? Siapakah produser eksekutifnya? Mari kita analisis bersama-sama supaya tidak terjebak oleh modus rang-orang yang gagal sebagai pekerja seni film. Atau yang paling penting rumah produksi mana yang sedang membuatnya? Apakah MD entertainment, Multivision Plus, Sinemart, Soraya Intercine Films, KK Dheraj films, Bintang Advis Multimedia, Screenplay Productions atau Studio Sembilan? Kalau memang kedengarannya sangat asing, harus di lacak terlebih dulu, nama sutradaranya dan pekerja penting lainnya yang sudah di sebutkan sebelumnya, sebenarnya tinggal kroscek saja melalui twitter, atau instagram tentang kebenaran informasi tersebut sebelum melangkah lebih jauh. Zaman peradaban seharusnya sudah tidak lagi terjebak oleh permasalahan itu, namun para penipu industri film juga semakin canggih berupaya menyelesaikan solusi-solusi jitu untuk menjebak itu semua.
Satu hal lagi yang semakin marak, mereka menggunakan label organisasi atau lembaga yang kedudukannya sangat kuat secara nasional, misalnya menggunakan persatuan artis dan pekerja film Indonesia, atau organisasi lainnya yang kedudukannya sangat mapan, itupun setiap daerah memilikinya, namun belakangan ini orang-orang daerah sudah memanfaatkan secara jitu label dan kop surat tersebut, menggunakan kedudukan itu sebagai modus anomali. Kita harus melakukan pelacakan terlebih dulu, korelasi dengan kelembagaan di pusat sebelum terjebak hal-hal yang berkaitan dengan materi, memang bukan persoalan jumlah kecilnya, namun masyarakat film Indonesia punya hak yang sama untuk menunjukkan bakat aktingnya, tanpa di pungut biaya sepeserpun. Mari kita tengok ulang, apakah sutradara sekelas Hanung Bramantyo, Joko Anwar, Riri Reza, Nia Dinata, Rudi Sujarwo, Garin Nugroho, Nan C. Achnas, Upi, Rizal Mantovani, Jose Purnomo, Arsyad Latjuba, Marcela Zalianty, Adilia Dimitri, Ardy Octaviand, Arie Aziz, Guntur Soeharjanto, Ismael Basbeth, Andrianto Dewo, Benny Setiawan, Hanny R. Saputra, Hestu Saputra, Charlez Ghozali, Fajar Nugros, Djenar Maesya Ayu, Allyandra, Kuns Agust, Fajar Bustomi, Ibnu Agha, Lukman Sardi, Luna Maya, Hengky Kurniawan, pernah memungut biaya pada masyarakat film agar terlibat di dalam produksinya? Agar terlibat sebagai pemain dalam produksi filmnya? Jawabannya tentu saja tidak, kalau alasannya itu berhubungan dengan administrasi maupun hasil cetak casting, itu sebuah kebohongan belaka, yang tidak di benarkan dalam hukum sebuah produksi, tim produksi harusnya sudah menyiapkan terlebih dulu biaya pra produksinya, produksinya, hingga pasca produksinya.
Berhubungan dengan pra produksi, di beberapa buku film sudah di jelaskan bahwa manajer produksi sudah menyiapkan anggaran mengenai foto copy skenario, formulir casting, whiteboard casting, handycam atau kamera digital lainnya untuk proses casting, laptop untuk hasil casting, komsumsi tim produksi selama casting, pulsa handphone sebagai komunikasi dengan beberapa manajemen dan agency pemain, biaya untuk hunting baik berupa komsumsi dan transportasi maupun akomodasi, biaya cetak foto hunting hingga proses reading, honorarium buat acting coach, komsumsi selama reading sampai uji peralatan yang biasa di namakan test camera, karena berfungsi mengetahui sejauh mana gambar yang di hasilkan, dan ini semua tercantum jelas di rancangan anggaran pra produksi. Jadi persoalan pra produksi bukan menjadi masalah bagi calon aktor yang hendak menguji kemampuannya, dengan harapan mereka beruji sesuai dengan kebutuhan skenario yang hendak di produksi. Hal ini sudah menjadi rancangan anggaran bagi orang-orang yang hendak memproduksi film. Bahkan banyak cara di lakukan pada era milenuim ini agar bersifat efektif dan menekan biaya sedikit murah, misalnya para calon pemain film mengunggah aktingnya melalui akun youtube, dengan #shoting judul filmnya, jika untuk menghemat biaya dalam proses casting, atau proses pemilihan pemain. Alternatif lain adalah jejaring media sosial menjadi salah satu cara lainnya agar para calon pemain menunjukkan bakat seninya. Dan jika nantinya tim produksi tersebut batal memproduksi, mereka akan mengumumkan dengan cara yang sama di sertai alasan yang logis, pasti hal ini akan berkaitan dengan dana produksi, yang memang masalah klise, misalnya produser eksekutif membatalkan niatnya untuk memproduksi film tersebut, mengingat perubahan analisis market dan lain-lain. Namun sebelumnya ini akan menjadi banyak pertanyaan publik, karena pada dasarnya pembuat film sudah berpikir jauh, apa yang harus di lakukan sebelum produksi? Lalu bagaimana proses produksinya? Dan di mana proses pasca produksinya? Serta seperti apa mendistribusikan filmnya? Mereka tidak semerta-merta muncul membuat film, dengan menggalang dana casting bagi para calon aktornya, kemudian memproduksi film. Hal ini tidak mungkin bisa di lakukan secara baik dan benar.
Kalau misalnya ada komunitas indie yang berdiri mandiri, mereka tidak terlibat kerjasama dengan rumah produksi besar, maksudnya rumah industri yang di dukung dengan dana besar, seperti yang pernah di lakukan oleh Sammaria Simanjutak, sutradara dan produser komunitas film dari Bandung, misalnya dia melakukan patungan dari beberapa kawannya, namun juga tidak akan memungut biaya pada masyarakat sekitarnya untuk terlibat, begitu juga yang pernah di lakukan sutradara kenamaan seperti Aria Kusumadewa, secara kasarnya bukan rahasia umum, menebang kawan sana sini untuk meminta dukungan dana, karena hal itu menjadi urusan para pembuat film, selama masih tidak melanggar etika seni dan norma, bukan beban bagi masyarakat film yang akan terlibat sebagai pemain atau pekerja. Jika terpilih beda lagi ceritanya, kalau nantinya akan di bicarakan bahwa mereka tidak akan mendapatkan honor yang setimpal, hanya mendapatkan transportasi dan komsumsi selama shoting, ini salah satu cara yang di lakukan komunitas indie. Penulis meyakini seratus persen, jika ada tim produksi film, yang melakukan dengan cara-cara tidak wajar, misalnya memungut biaya 50 ribu atau 100 ribu setiap peserta casting, langkah selanjutnya mereka yang terpilih akan di mintai uang jutaan rupiah agar terlibat dalam produksinya, anjing gila! Mungkin sebelumnya sudah banyak tulisan semacam ini untuk memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas, dunia film itu bukan sebuah beban bagi masyarakat khalayak, sekarang siapapun bisa bikin film, dari kalangan manapun, tingkat sosial manapun, dari biaya sendiri dan lain sebagainya, maka modus anomali di daerah sudah semakin bermunculan, karena azas otonomi sudah mulai di mainkan pion-pion caturnya, bagaimana mengelabui orang-orang awam, dan kita sebagai penulis dan pembaca bersama-sama memberikan keamanan bagi mereka, save casting film, kita harus memberikan pengetahuan yang cerdas agar tidak terjerat oleh para pekerja seni yang instan dan licik. Mereka bukan pekerja seni, yang mengatasnamakan dirinya sebagai orang film, kemudian memakai topeng kelembagaan orang-orang film, mereka hanya bajingan loncat yang berkedok. Lima belas tahun sebelumnya, setelah dunia industri film sempat gulung tikar, di awal tahun 2000an kota besar seperti Jakarta yang merupakan wadah, tempat di produksinya sebuah film, atau tempat rumah-rumah produksi film, menjadi sasaran para penipu ulung berkedok casting film. Namun seiring meningkatnya geliat perfilman nasional, terlepas lebih banyak film yang tidak bermutu ketimbang film yang bermutu, maka para penipu tadi bergerak ke kota-kota besar lainnya, seiring Jakarta sudah menjadi cerdas. Bandung dan Bogor menjadi tempat pelabuhan mereka, tapi kota kembang dan hujan itu tak kalah cerdas dengan Jakarta, kemudian mereka coba menipu daya di Yogyakarta, sayangnya kota gudeg itu sudah semakin berkembang, bahkan bermunculan rumah-rumah produksi film, yang kualitasnya tidak kalah dengan rumah produksi film di Jakarta. Banyak kota tersebut melahirkan sutradara kenamaan, maksudnya sutradara yang memang bermukim di Yogyakarta, seperti Ismael Basbeth salah satunya. Kemudian para penipu ini bersembunyi di balik kelembagaan termashur, mengatasnamakan casting film, mencoba mengobrak-abrik Surabaya dengan segala modusnya, bahkan ke kota-kota kecilnya seperti Pasuruan, Malang, Gresik, Banyuwangi, Bangkalan, Sidoarjo, Jember, Sumenep, dan Blitar. Dan mereka akan terus bergerak ke Bali, Lombok, Menado, Banjarmasin, Buton, Ternate, Tidore, Makassar dan Papua, anjing kurap!
Dan penulis sebagai pelaku komunitas indie, belum pernah selama hidupnya memungut biaya sepeserpun pada calon aktornya, agar terlibat di beberapa program film dan televisinya, dan seumpama kalau program film dan televisinya tidak tayang, biarlah itu menjadi beban kami sendiri, itu artinya rancangan produksinya meleset, meskipun sudah di atur sedemikian rupa, kecuali berhubungan dengan pengelolaan sebuah agency, management para pemain. Atau memang tidak di pikirkan pasca produksinya maupun distribusinya. Ini yang memang menjadi biang keladi sebagai penghancur pekerja film, di sinilah kekerdilan orang-orang yang tidak paham, karena munculnya ratusan management abal-abal, di mana pertanggung jawabannya sangat di ragukan. Maka sekali lagi, haruslah hati-hati dengan modus anomali, meminjam judul film yang pernah di sutradarai Joko Anwar, bahwa modus anomali para pekerja film yang karbitan dan menyesatkan, karena itu semua sudah menjadi gaya hidup, dari tingkat sosial manapun, kalau tidak main film, tidak akan terasa prestise, karena di sanalah letak kebanggaan sebuah film.*
*) Arung Wardhana Ellhafifi, lahir di Bangkalan, 12 Januari 1981, sudah banyak terlibat di beberapa program film dan tv sebagai pekerja, kini aktif di komunitas indie film dan televisi, sebagai sutradara dan penulis skenario.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H