Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Elegi Sore di Desa Sepakuan, Sulawesi Barat

18 Februari 2018   22:20 Diperbarui: 18 Februari 2018   22:25 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keindahan alam Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar) membuat penulis bisa berhari-hari negeri yang dijuluki "Kondo Sapata Wai Sapalelean," berarti "sawah yang luas dengan pembagian air yang merata" berwisata, berdiskusi dan berdiskursus hingga soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2018 ini. Karena pertama kalinya Mamasa, tampilkan calon tunggal.

Kita tinggalkan Pilkada Mamasa dengan calon tunggalnya lalu menuju pada sebuah desa dengan ketinggian kurang lebih 5000 meter di atas permukaan laut. Desa ini bernama Sepakuan, Kecamatan Balla dengan jumlah penduduk diatas 2000 jiwa. Pekerjaan utama penduduknya dari bercocok tanam, berkebun dan bersawah, namun ada juga warga desa ini yang tembus menjadi anggota DPRD Sulbar.

Jalan-jalan antara dusun di Desa Sepakuan sebahagian sudah rabat beton menggunakan Dana Desa (DDes) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN), ini cukup menopang perekonomian masyarakat setempat, namun belum cukup optimal memberi kemakmuran secara merata.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Saat penulis menanjak menuju puncak Desa Sepakuan di Dusun Tanete dan bertemu Pasangan Suami Istri (Pasuntri) yang kehidupannya sungguh memilukan.

Pasuntri gaek ini hidup dalam sebuah gubuk reot yang atapnya bolong-bolong. Tiang-tiang gubuknya sudah reot dan hanya ditopang bambu penyanggah. Sang suami bernama Bonggama'dika yang kisaran usianya di atas 70 tahunan. Dulunya adalah buruh tani, namun kini tak produktif lagi karena gangguan katarak pada matanya. Untuk menopang hidup mereka, sang istri, Utan yang usianya tidak terpaut jauh dari suami, lanjutkan dengan jadi buruh tani pula.

"Kami tinggal di sini sejak tahun 1982, dengan kehidupan yang seadanya. Kami miskin dari dulu, sampai sekarang yang kita (anda, red.) liat," tandas Bonggama'dika.

Seolah hidup di jaman batu, kehidupan Bonggama'dika dan Utan belum tersentuh bantuan pemerintah sepenuhnya. Utan mengaku, jangan biaya perbaikan rumah, beras pra-sejahterapun jarang mereka dapat. Padahal dalam setahun, Kabupaten Mamasa gelontorkan Bantuan Sosial (Bansos) dalam jumlah milyaran rupiah.

"Sudah bertahun-tahun rumah kami begini. Kadang tengah malam, kami terbangun karena  tetesan air hujan mengenai kami. Pernah juga sedang makan, air hujan masuk piring. Itulah kami." kata Utan sedih dengan bahasa Indonesia campur Mamasa.

Untuk menopang hidup Bonggama'dika dan Utan, anak-anaknya yang juga hidup pas-pasan bisa memberikan bahan pokok seperti beras. Namun Utan adalah wanita ulet dan tidak kenal menyerah, ia tetap bekerja sebagai buruh tani, kadang ia juga ikut memanen (ma'dros, bahasa setempat, red.) untuk dapatkan upah padi.

Itulah Mamasa, destinasi wisata Sulbar, di tengah keindahan dan kesejukan alamnya, tersimpan juga elegi, seperti yang kami nikmat sore itu di gubuk reot Bonggama'dika dan Utan.

Mamasa, 18 Pebruari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun