Mohon tunggu...
Vincent Suparman
Vincent Suparman Mohon Tunggu... -

saya berasal dari Provinsi Lampung dan pernah bekerja di Timika, Papua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Suara dari Pelosok Papua

19 April 2014   10:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cuaca sebenarnya tak bersahabat. Tetapi pilot senior berkebangsaan asing itu memutuskan untuk terbang. Sepanjang penerbangan dari dataran rendah Mimika menuju Ilaga di dataran tinggi hujan tiada henti. Walaupun hujan kabin pesawat berkapasitas enam penumpang buatan Swiss itu terasa hangat. Beberapa penumpang merasa gelisah. Namun ada seorang penumpang sedang asyik dengan cameranya. Ia siap-siap untuk membidik objek alam dari sisi kanan pesawat. Sayang sekali, semua kelabu tertutup awan hujan.
Setelah berputar-putar di atas kota Ilaga, pesawat bermesin tunggal itu mendarat di lapangan sedikit berlumpur. Semua penumpang merasa lega. Ayam-ayam di bagian belakang pesawat berkotek. Beberapa agaknya tak mampu menahan ‘hajat”. Semua maklum itu Papua. Binatangpun naik pesawat. Setelah mesin dimatikan, sambil membuka pintu Sang Pilot berkata, “Maaf, Tuan-tuan, dan Nyonya-nyonya atas aroma tak sedap. “ Seorang Ibu Papua menjawab lantang, “Tra apa, Oom Pilot. Kitong su sampai toch.”
Cuaca sangat dingin mendekati 10 derajat Celcius. Saya dipandu oleh seorang pemuda menuju tempat menginap. Lokasi cukup jauh dari lapangan terbang. Jalannya berbatu, penuh kerikil-kerikil tajam. Dari kejauhan tampak rumah yang kami tuju. Rumah itu terletak di celah-celah pepohonan cemara. Asap membubung sebagai tanda penghuninya ada di tempat. Tiga jam setelah pendaratan pemandu dan saya masuk rumah pendek beratap rumput. Tungku api diposisikan di tengah rumah. Tak ada kamar. Semua duduk atau tidur sekitar tungku api. “Wah, romatis sekali, “saya berkata dalam hati.
Dari tempat itulah saya mengatur aktivitas saya dari hari ke hari. Walaupun tinggal bersama warga setempat hanya beberapa minggu, saya mulai terbiasa dengan mereka. Hiburan alami berupa pemandangan alam. Udaranya sangat sejuk. Setiap keluar rumah tak lupa saya mengenakan sepatu, jacket, dan topi. Semua orang yang saya jumpai tampak sangat mirip satu sama lain. Rambut semua ikal. Umumnya para lelaki mempunyai jambang tebal. Bahasanyapun kedengaran mirip satu sama lain. Kepala keluarga tempat saya menginap mengaku bicara dalam tujuh bahasa. Ia bicara secara lancar dalam tujuh bahasa itu. Ia tumbuh dan besar di perbatasan kampong Dani, Ekari, dan Moni. Ia belajar bersama teman-teman main sejak masih kanak-kanak. Kemahirannya itu mengantarkannya ke posisi dimana ia diterima oleh beberapa suku di luar sukunya sendiri.
Malam hari saya kembali ke keluarga tempat menginap. Tungku api yang juga berfungsi sebagai pemanas menyala seakan selama 24 jam. Atau, mungkin sengaja tidak dipadamkan sepanjang hari. Rumah atap rumput itu tidak berplafon. Bila malam tiba kurang lebih 20 lelaki tidur di situ. Percakapan dan cerita lucu berlangsung secara spontan dan harmonis. Orang-orang muda umumnya mampu berbahasa Indonesia walau terbatas. Namun, sekali lagi, banyak dari mereka bicara lebih dari satu bahasa. Tidak seperti anak-anak kota yang rata-rata mampu bicara dalam satu bahasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun