Mohon tunggu...
Vincent Suparman
Vincent Suparman Mohon Tunggu... -

saya berasal dari Provinsi Lampung dan pernah bekerja di Timika, Papua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cerita dari Daerah Terisolir

14 April 2014   17:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang akhir tahun 2007 saya menjalankan tugas kemanusiaan di pedalaman Papua. Pagi-pagi buta saya sudah harus siap di Lapangan Terbang Mozes Kilangin, Timika. Pukul 5:25 pagi sebuah pesawat kapasitas 6 penumpang mengantar beberapa orang dan saya ke pelosok Papua. Namun kami berbeda tujuan. Sepanjang perjalanan hujan turun sangat lebat. Saya duduk di belakang pilot. Semua hanya tampak putih. Sesekali tampak tebing gunung dengan beberapa air terjun. Menjelang pendaratan tampak area pertanian tradisional suku Moni. Hamparan tanaman nota(ubijalar) dan etto(tebu).

Setelah menginap satu malam di Bilogai, hari berikutnya saya melanjutkan perjalanan ke kampung tujuan. Untuk route pertama saya memanfaatkan jasa ojeck. Route berupa tebing gunung yang baru dibuldozer. Hari itu tak cerah dan perjalanan lancar.  Kendala utama berupa debu dan temperature mendekati lima derajat Celcius. Untuk menempuh jarak 15km diperlukan waktu hampir satu jam. Bahkan di beberapa ruas jalan saya harus turun dari ojeck. Jalan tak rata dan ada beberapa batu besar yang belum disingkarkan. Di bagian lain jembatan belum dibangun. Itu sebabnya, tak pilihan, ojeck harus turun ke sungai yang dalamnya setinggi lutut orang dewasa.

Setibanya di ujung jalan baru itu saya melihat pohon besar tumbang. Sepertinya sudah lama, karena cabang-cabangnya sudah kering. Oom Ojeck memberitahukan daerah ini disebut Pohon Tumbang. Dan benar bahwa ada sebuah pohon tumbang. Kemudian Oom Ojeck menghilang dari pandangan kembali ke lapangan terbang di Bilogai. Tinggallah saya berdiri di tengah hutan lebat seorang diri. Dengan tas punggung seberat 16 kg saya mencari jalan setapak sesuai dengan informasi yang saya terima. Sebelum melangkahkan kaki, saya tengok ke arah kiri. Hanya kira-kira 10 meter setelah pohon tumbang itu, ada satu jalan setapak.

Jangan bayangkan jalan setapak, paving block. Jalan itu lebih mirip kubangan kecil dengan banyak bekas telapak kaki. Di beberapa bagian ada cukup banyak kayu melintang. Dalam kesunyian hutan saya menyusuri jalan itu dengan mengikuti jejak kaki manusia. Beberapa kali saya membuka bekal saya berupa chocolate yang saya beli di Timika. Setelah 1 jam lebih berjalan tanpa berjumpa dengan seorangpun, jauh samar-samar di depan saya ada makhluk bergerak di antara pepohonan raksasa. Semula saya ragu apakah itu seorang yang datang untuk menjemput saya di daerah Pohon Tumbang.

Karena merasa ragu, maka saya menurunkan tas punggung dan sembunyi di balik salah satu pohon. Saya bersembunyi sambil mengatur gerakan nafas. Orang itu mamastikan dirinya sudah melihat saya dari kejauhan. Ia memanggil nama saya beberapa kali. Seketika itu juga keraguan saya sirna. Segera saya keluar dari persembunyian. Seketika melihat saya, ia tertawa girang gaya Papua. Kemudian ia berkata bahwa ia sudah melihat saya dari jauh. Saya sadar bahwa kampung tujuan masih sangat jauh. Ia meletakkan tas bawaan saya ke punggungnya dan melanjutkan ke kampung tujuan. Saya berjalan leluasa sambil membawa parangnya buatan Papua Nugini.

Setelah melintasi beberapa sungai kecil dan satu sungai besar dengan jembatan satu batang pohon melintang, kami berdua rehat di sekitar air terjun mini. Airnya sangat jernih. Tak tahan haus saya minum sepuas-puasnya. Saya melihat jam tangan di salah satu saku tas punggung itu. Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Untung mengurangi rasa lapar dan dahaga kami berdua makan snacks sampai tak tersisa. Beberapa penduduk memberi kami beberapa batang tebu untuk menambah energy. Penjemput saya itu mengatakan bahwa  diperlukan 2 jam lagi untuk sampai tujuan. Bearti dari Pohon Tumbang diperlukan 8 jam perjalanan kaki. Ketika menyaksikan anggrek hutan bergelantungan seakan saya ingin berlama-lama menikmati udara segar dan keindahan alam yang tak ada duanya. Namun selagi ada teman pemandu jalan saya harus melanjutkan ke kampung tujuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun