Biru, seorang dengan gaji minim untuk menghidupi keluarga nya. Sebulan yang lalu, ia memberanikan diri untuk merantau ke Jakarta demi keluarganya. Biru pun tidak berprasangka dengan mengambil keputusan yang sejauh ini. "Jakarta keras." Cakap Ibu Biru sehari sebelum keberangkatan Biru ke Jakarta. Ibu masih sangat ragu akan keberangkatan anaknya di esok hari, namun apa daya Ibu jika anaknya tetap di pendirianya untuk lekas berangkat ke Jakarta esok hari. Malam hari yang gelap di kampung halamanya dengan hujan rintik-rintik yang memeluk hangat dan menemani Ibu membantu persiapan keberangkatan Biru esok hari. "Esok hari adalah hari yang panjang." Benak Biru melihat Ibu. "Esok hari dimana nasib keluarga ini akan aku ubah." Cakapnya kepada Ibu.
Esok hari, saat pagi masih gelap gelapnya, sekitar jam empat. Biru terbangun dari tidur nya dan merasa ragu dan gelisah sembari melihat ke kaca "Apakah keputusan ku ini terlalu cepat." Tanya nya kepada dirinya di kaca. Biru sontak menepis perkataan tersebut lalu memberikan sapuan terhadap pikiranya tersebut dengan memeriksa barang yang ia akan bawa siang ini ke Jakarta. Tak di sadari oleh Biru, Ibu memeriksa Biru dengan membuka pintu tanpa pintu, seperti hanya di beri kain saja sebagai pembatas ruangan. Tatapan Ibu bak bagai ayam lepas bertaji. Ibu masih ragu dengan keputusan Biru, Ibu hanya bisa mendoakan saja semoga anaknya di beri restu oleh Sang Maha Kuasa.
Setiap jam Biru sebutkan doa dalam hati sembari membonceng ojek menuju terminal. Ia tekad kan diri untuk tetap optimis dalam pendirianya. Terminal Giwangan Jogja, tempat ia menunggu Bus keberangkatanya menuju Kota Metropolitan itu, impianya yang melebihi tujuh tingkatan langit itu, ia serahkan kepada-Nya. "Semoga aku berhasil." Doanya.
Tak lama bus pun datang, ia berjalan menuju bus setelah itu ia masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang ia baru saja pesan di loket tiket dengan uang sisa seratus ribu itu, sekarang uangnya sisa delapan puluh ribu. Ia tak memikirkan uang itu, yang ia pikirkan sekarang hanya sampai di Jakarta dengan selamat.
Hujan memeluk Biru dengan hangat sepanjang malam di perjalanan menuju Jakarta. Menempuh waktu delapan jam untuk menuju Jakarta adalah suatu tantangan yang baru saja di mulai oleh Biru. Biru hanya bisa menghemat kuota lantas ia hanya membeli kuota secukupnya saja. Di benaknya sekarang, Biru sedang memikirkan Ibu dan keluarga di kampung. Biru berharap semoga mereka baik-baik saja. Â Ia menunggu terus menunggu malam yang panjang itu sampai ia tertidur pulas. Hingga akhirnya ia sampai.
Jakarta, kota yang ia damba-dambakan. Kota yang penuh harapan hingga dirinya sendiri tidak bisa membendung harapan tersebut. Akhirnya Biru sampai di Jakarta. Gedung-gedung tinggi perkantoran menjulang ke atas adalah impianya. Biru ingin bekerja di kantor. Melihat keadaan sekarang Biru menyadari bahwa apa daya nya dia jika sekarang melamar kerja di perkantoran. Uang sedikit, tidak ada penginapan. Biru memutar otak agar dapat hidup di Jakarta yang keras ini. Biru memulai hidup barunya yang miskin tambah miskin disini. Ia tidur di jalanan sampai kapan ia tidak tahu. Bekal seadanya dari Ibu kapan lalu pun sudah habis. Tersisa uang delapan puluh ribu itu, pastikan bahwa hanya membeli yang sangat di butuhkan saja.
Hari berhari ia lewati dengan penuh kerja keras untuk mendapatkan uang yang minimal bisa ia belikan makanan untuk ia makan sendiri. Preman-preman jalanan yang bisanya hanya mengambil hak manusia yang lain pun ia hadapi. Ia juga merasakan bagaimana petugas pemerataan jalanan mengejar dia, hanya karena ia beristirahat di pinggir jalan. Selama berhari-hari ia hanya merasakan sialnya Jakarta. Ia merenung di taman, di bawah pohon rimbun di temani kucing liar di sebelahnya, ia mengumpat, marah, sedih, dan bertanya tanya, mengapa pada saat itu ia seberani itu untuk memutuskan pergi ke Jakarta. Ia juga bertanya mengapa Ibu memperbolehkan dia untuk merantau ke Jakarta.
"Aku mengutuk diri ku sendiri, supaya aku balas dendam kepada keputusan ku sendiri yang bertekad ke Jakarta saat itu." Nada penuh putus asa, mengubur mimpinya sedalam-dalamnya. Tangisnya yang tak bisa ia lihatkan kepada dunia, menusuk dalam hatinya. Termuntah muntahlah amarah dia yang hanya bisa ia pendam.
Lalu, Seseorang, perempuan seumuran Biru, menghampiri dia. Duduklah perempuan itu di samping Biru. Di usirnyalah kucing liar itu.
"Hai, kenalin Daria." Perempuan itu berbicara kepada Biru. Daria namanya.
Biru tak membalasnya lantaran merasa aneh akan kehadiran Daria yang tiba saat ia emosi. Biru hanya menipu Daria dan dirinya sendiri. Tersenyumlah ia, tipuanya.
"Aku nggak tau apa masalah apa yang menimpa kamu, tapi aku disini mau kasih tau, masalah yang Tuhan berikan kepada mu itu pasti ada alasanya, dan tidak akan melebihi batas mu." Daria berbicara kepada Biru. Lantas ia pergi meninggalkanya.