Lahan merupakan tempat dimana manusia melakukan kegiatan sehari-hari baik tempat tinggal, tempat bekerja, tempat bercocok tanam, dan lain sebagainya. Lahan juga salah satu sumberdaya yang penting dalam pembangunan suatu negara. Di Indonesia, pemanfaatan suatu lahan tergantung dari status kepemilikan lahan dari lahan tersebut. Kejelasan status kepemilikan lahan akan mempermudah dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan. Pembangunan atau pemanfaatan lahan untuk kepentingan negara atau kepentingan umum akan lebih mudah dilakukan di lahan milik negara.Â
Jika akan melakukan pembangunan atau pemanfaatan lahan untuk kepentingan negara atau kepentingan umum di lahan milik masyarakat tentu lebih rumit dilakukan karena harus melalui proses konsolidasi lahan maupun land sharing yang membutuhkan proses lebih lama. Akan tetapi tidak semua lahan di Indonesia memiliki kejelasan status kepemilikan lahan. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan ini dapat menyebabkan konflik di antara pihak-pihak yang saling mengakui kepemilikan dari suatu lahan. Salah satu konflik kepemilikan lahan ini terjadi di Kabupaten Jember, tepatnya di Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo.
Konflik kepemilikan lahan di Desa Curahnongko Kecamatan Tempurejo ini melibatkan masyarakat Desa Curahnongko dengan PTPN XII Perkebunan Kalisanen. Dikutip dari Dokumen Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan di Wilayah Perkebunan yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Tahun 2015, pokok permasalahan yang terjadi yaitu warga desa Curahnongko menuntut pengembalian lahan seluas 332 ha kepada PTPN XII, namun lahan yang dikembalikan baru seluas 125 ha.
Awal mula konflik kepemilikan lahan ini terjadi sekitar tahun 1965 dan 1966 yaitu pengambil alihan lahan atau tanah secara paksa sehingga masyarakat Desa Curahnongko diusir dari lahannya akibat prasangka negatif yang ditujukan kepada masyarakat desa. Lahan yang diambil alih tersebut saat ini dikelola oleh PTPN XII. Padahal masyarakat desa telah membuka lahan tersebut yang kemudian digarap sebagai lahan pertanian sejak tahun 1942, sehingga masyarakat mengakui bahwa lahan tersebut adalah milik mereka.Â
Pengambil alihan dan pengusiran tersebut membuat masyarakat tidak terima dan menuntut dikembalikannya lahan mereka. Pada tahun 1983, akhirnya sebesar 25 Ha lahan tersebut dikembalikan kepada masyarakat melalui SK Gubernur No.23/555.8/1983. Kemudian pada tahun 1998, lahan yang kembali kepada masyarakat bertambah menjadi 125,05 ha karena HGU di sebagian lahan telah dihapus, sebab lahan tersebut sudah ditelantarkan oleh pihak perkebunan yang akhirnya kembali digarap oleh masyarakat desa. Tahun 2011 merupakan tahun berakhirnya HGU dan dapat menjadi peluang untuk pelaksanaan proses redistribusi kepada masyarakat.Â
Dilansir dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tanggal 25 Mei 2011, masyarakat telah membayar biaya pengukuran sebesar Rp32.970.000,- dari total biaya sebesar Rp68.500.000,- kepada BPN Kabupaten Jember, biaya tersebut belum termasuk biaya pembuatan dan pemasangan tugu batas, biaya konsumsi, akomodasi, dan transport petugas pengukuran. Pada tahun 2015, Komnas HAM memberi rekomendasi melalui surat Komnas HAM No.063/R/Mediasi/FII/2015 kepada Kementrian ATR/BPN agar segera mendistribusikan lahan sengketa kepda masyarakat yang tergabung dalam organisasi Serikat Petani Perjuangan (SIPER). Sampai pada tahun 2015 ini, masih belum ada kejelasan terkait waktu pelaksanaan proses redistribusi lahan.Â
Pada tahun 2018, terbit Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria untuk menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan akses untuk kemakmuran rakyat. Menindaklanjuti perpres ini dibentuklah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk menangani konflik sengketa lahan di Kabupaten Jember.Â
Hingga tahun 2020, konflik ini tidak kunjung terselesaikan. Pada tanggal 6 Oktober 2021, Komnas HAM berencana datang ke Jember untuk mediasi ulang terkait konflik lahan di Desa Curahnongko melalui surat Komnas HAM No.798/K/Mediasi/X/2020 yang berisi undangan mediasi antara masyarakat desa dengan PTPN XII. Akan tetapi masyarakat desa yang tergabung dalam Serikat Tani Independen (Sekti) menolak kedatangan Komnas HAM dengan mengadakan demo di depan Pemerintah Kabupaten Jember, karena masyarakat merasa hasil mediasi komnas HAM pada tahun 2015 yang pernah dilakukan sebelumnya belum secara penuh dilaksanakan. Sekti juga menuntut agar GTRA segera melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan pembahasan tersebut, masalah tersebut sebenarnya telah diselesaikan melalui mediasi yang telah dilakukan melalui rekomendasi Komnas HAM pada tahun 2015, masyarakat juga sudah berusaha kooperatif terhadap arahan BPN dengan membayar sejumlah uang untuk pengukuran lahan pada tahun 2011. Akan tetapi BPN tidak kunjung memberi kepastian tanggal pelaksanaan redistribusi lahan tersebut, sehingga masyarakat terus menuntut kejelasan penyelesaian kasus ini. Penulis masih belum menemukan alasan, mengapa BPN tidak kunjung melaksanakan proses redistribusi lahan padahal Komnas HAM telah memberikan rekomendasinya sejak tahun 2015. Sebaiknya BPN memberikan kepastian kepada masyarakat terkait hal ini karena pada dasarnya lahan tersebut telah dimiliki masyarakat sejak tahun 1942.
DAFTAR PUSTAKA