Seperti yang telah kita ketahui, sejak dahulu Indonesia dikenal sebagai negara agraris yaitu negara yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor primer atau sektor pertanian. Hal ini dikarenakan Indonesia yang memiliki tanah yang sangat subur dan beriklim tropis sehingga berbagai jenis tanaman pertanian dapat dengan mudah tumbuh di Indonesia. Banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian menyebabkan produksi pertanian menjadi banyak. Hingga pada tahun 1984 di era Presiden Soeharto, Indonesia meraih predikat swasembada pangan. Kala itu, Indonesia mampu memproduksi beras sebanyak 27 juta ton dengan rincian konsumsi beras nasional sebanyak 25 juta ton dan terdapat surplus sebanyak 2 juta ton. Fenomena ini diakui oleh Food and Agriculture Organization (FAO), karena Indonesia saat itu mampu menyumbang 100.000 ton padi untuk korban kelaparan di sejumlah negara di Eropa. Keberhasilan swasembada pangan ini dapat tercapai karena didukung oleh kebijakan pemerintah yang pro petani saat itu.
Namun memasuki pertengahan tahun 1990-an, Indonesia mulai mengimpor beras kembali dengan jumlah impornya semakin lama semakin meningkat. Menurut data BPS, Indonesia mengimpor beras sebanyak  3 juta ton pada tahun 1995, sampai pada tahun 1998 di akhir masa jabatan Presiden Soeharto, Indonesia mengimpor beras sebanyak 6 juta ton dan ini tercatat sebagai jumlah impor beras terbanyak yang pernah dilakukan Indonesia. Mengimpor beras tidak hanya terjadi saat tahun 1990an tetapi juga masih dilakukan ketika memasuki tahun 2000an hingga sekarang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2014, impor beras mencapai 844 ribu ton. Setahun kemudian impor beras naik tipis menjadi 861 ribu ton. Semakin tahun semakin besar impor yang dilakukan. Pada 2016 pemerintah kembali mengimpor beras sebanyak 1,28 juta ton dan sempat turun menjadi hanya 305 ribu ton pada 2017. Tetapi pada tahun 2018 impor beras justru meroket hingga mencapa 2,25 juta ton. Tidak hanya mengimpor beras, sekarang Indonesia juga mengimpor gula dan garam. Hal ini mendapat banyak kritik dari masyarakat karena melihat kondisi alam indonesia dan predikatnya sebagai negara agraris, mengapa harus melakukan impor terkait beras, garam, dan gula serta beberapa komoditas pertanian lainnya? Apakah jumlah produksi dalam negeri kurang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional?
Menurut data dari bps produksi padi nasional dari Januari hingga Desember 2018 diperkirakan mencapai 32,42 juta ton. Adapun total  konsumsi beras nasional periode Januari hingga Desember 2018 mencapai 29,57 juta ton. Alhasil, neraca beras pada tahun 2018 diperkirakan terjadi surplus 2,85 juta ton. Lalu untuk apa mengimpor beras sebanyak 2,25 juta ton pada tahun 2018, sementara kita sudah mengalami surplus dari hasil produksi sendiri. Hal ini akan membuat petani menjadi sedih. Uang yang digunakan untuk mengimpor beras bisa digunakan untuk keperluan pertanian yang lain, guna mendorong produktivitas pertanian indonesia sehingga dapat memperbesar ekspor bukan impor. Besarnya produksi pertanian ini nantinya akan mendorong Indonesia untuk memiliki keunggulan komparatif yang dapat bersaing di pasar dunia. Tidak hanya beras, tetapi juga semua tanaman pertanian. Melihat peluang pasar di seluruh dunia yang wilayahnya tidak sesubur indonesia, pastilah mereka membutuhkan berbagai macam tanaman pangan maupun non pangan yang tidak bisa mereka penuhi dari produksi dalam negeri mereka. Hal inilah yang merupakan peluang sektor primer Indonesia di pasar dunia.
Keunggulan komparatif ini dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana daerah, wilayah, atau negara memiliki keunggulan lebih besar terhadap barang dan/atau jasa tertentu dibandingkan barang dan/atau jasa lainnya, sedangkan dalam kondisi yang sama negara lain justru memiliki keunggulan yang lebih kecil pada barang dan/jasa tersebut. Keunggulan komparatif juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara untuk memproduksi barang dan/jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Misalnya, seperti yang kita ketahui, modal yang dimiliki indonesia untuk menggarap sektor primer atau pertanian lebih mudah didapatkan daripada di negara lain, seperti tanah yang subur, iklim yang cocok, memiliki banyak tenaga kerja, memiliki berbagai jenis bibit tanaman pertanian, dan sumber air yang melimpah. Hal ini menyebabkan penggarapan sektor primer di indonesia membutuhkan biaya yang lebih rendah daripada negara lain terutama negara-negara maju di eropa yang minim akan kegiatan di sektor primer, sehingga dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian.
Menurut postingan kementrian pertanian di laman sosmednya, banyak diinformasikan bahwa produk pertanian maupun perkebunan Indonesia banyak diminati oleh negara negara di seluruh dunia. Melihat peluang ini, kementrian pertanian membuat aplikasi bernama SARITA (Sistem Agribisnis Tanaman Pangan) yang berfungsi sebagai jembatan petani menuju pasar ekspor. SARITA menyediakan informasi terkait data petani, data eskportir, data importir, data produsen, lembaga sertifikasi, startup pertanian, dan regulasi. Dari data-data yang tersedia di aplikasi SARITA, bertujuan untuk mempermudah eksportir dan pedagang dalam mencari barang di petani, sekaligus memberi ruang bagi petani untuk menjadi eksportir. Melalui SARITA petani juga bisa memiliki koneksi dengan produsen benih. Pengoperasian SARITA hanya membutuhkan hp/laptop serta koneksi internet. Bapak Suwandi, Dirjen Tanaman Pangan mengatakan bahwa kami memberikan akses layanan online kepada para petani. Kontak personal eksportir dan pedagang sudah didata sehingga petani tidak lagi kesulitan dalam mencari eksportir. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, sekiranya peluang sektor primer di pasar dunia dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga nantinya sektor primer di indonesia semakin maju dan petani indonesia dapat hidup sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H