Lebanon merupakan negara yang terletak di wilayah Timur Tengah, meraih kemerdekaannya pada tahun 1943 dari Prancis, Lebanon menjadi negara yang memiliki populasi dengan agama yang bervariasi seperti Islam Sunni, Islam Shia, Kristen Maronit, Kristen Ortodoks dan Druze dan agama lainnya di Lebanon. Agama-agama tersebut membuat kondisi negara di Lebanon sangatlah kompleks dan rawan terjadi ketidakstabilan. Beberapa bulan sebelum Lebanon merdeka, pada musim panas tahun 1943 sebuah Pakta Nasional dibentuk pada Perjanjian Solh-Khoury yang berisikan struktur pemerintahan yang dibagikan berdasarkan agama. Namun, setelah Lebanon merdeka banyak yang ingin menghapus perjanjian tersebut, seperti tahun 1958 ketika Presiden Lebanon Camille Chamoun yang terkenal antikomunis dan ingin mencalonkan diri untuk periode kedua membuat umat sunni dan shia marah karena pada saat itu mereka pro-nasserist. Lalu pada 1975 meletus perang saudara di Lebanon yang diakibatkan oleh sektarianisme agama dan perpecahan politik berdasarkan agama, di tambah dengan masuknya PLO (Palestine Liberation Organization) yang terusir dari Jordania semakin memperkeruh suasana dengan mereka melakukan raid menuju daerah-daerah Israel yang berbatasan dengan Lebanon, membuat Israel melakukan invasi pada daerah selatan Lebanon pada tahun 1982 yang berhasil mengusir PLO dari Lebanon dan Israel menguasai Lebanon bagian selatan pada waktu itu. Namun, dari wilayah yang dikuasai oleh Israel dan pasukan multinegara, muncul sebuah organisasi shia yang menjadi saingan baru dari Pergerakan Amal, yaitu Hizbullah. Dan pada tahun tersebut, Hizbullah sudah berkonflik dengan Israel.
Aktor Negara dan Non-Negara : Hizbullah yang Dibantu Iran Mengancam Kedaulatan IsraelÂ
Sejak Hizbullah berdiri pada tahun 1982, Israel telah dianggap sebagai musuh utama oleh Hizbullah dibuktikan dengan beragam konflik yang terjadi antara Hizbullah dengan Israel, terutama di abad ke-21 seperti Perang Lebanon-Israel pada tahun 2006 dan yang sedang terjadi saat ini yaitu Konflik Lebanon dengan Israel yang menjadi konflik terbesar pada saat ini. Dimulai pada tahun 2023 ketika Israel menginvasi Gaza yang dikuasai oleh Hamas. Hamas dan Hizbullah merupakan organisasi yang berada di dalam sphere of influence dari Iran, bersama dengan Suriah, Houthi, dan PMF (Popular Mobilization Forces) yang bernama Axis of Resistance. Selama konflik antara Hamas dengan Israel berlangsung, merekalah yang paling aktif membantu pihak Hamas seperti Houthi yang mengirimkan misil dan drone menuju Israel, lalu Hizbullah yang menyerang perbatasan Israel dan mengirimkan roket-roketnya menuju Israel yang membuat Israel marah dan memutuskan untuk menginvasi Lebanon bagian selatan pada tanggal 1 Oktober 2024. Dalam konsep Perjanjian Westphalia, setiap negara memiliki kedaulatan atas wilayahnya mereka sendiri. Ada Israel, Lebanon, dan Iran sebagai negara yang berdaulat dalam situasi ini. Â
Balance of Power dan Deterrence antara Iran dan IsraelÂ
Status Iran dan Israel saat ini adalah cold war dimana kedua negara tidak saling berperang satu sama lain namun kedua negara berperang melalui proxy yang didukung oleh salah satu aktor negara dari kedua aktor negara cold war. Iran berusaha mewujudkan balance of power di wilayah Timur Tengah dengan tujuan membuat Islam syiah diterima oleh masyarakat luas dan membuat Iran menjadi negara yang dominan di wilayah Timur Tengah, setara dengan Arab Saudi dan Israel. Selain ingin mewujudkan balance of power, Iran juga berusaha mewujudkan deterrence dengan Israel dengan melakukan preemptive strike seperti meluncurkan 300 misil dan drone menuju Israel pada April 2024 dan yang terbaru Iran meluncurkan 180 rudal balistik ke Israel pada 2 Oktober 2024, dan juga pembangunan militer baik oleh Iran maupun Israel. Selain Iran dan Israel, Hizbullah juga melakukan compellence yang berhasil membatalkan perjanjian antara Israel dan Lebanon pada akhir 2022 terkait ekstraksi gas pada wilayah lepas pantai yang di klaim oleh Israel dan Lebanon dengan ancaman perang total apabila Israel menandatangani perjanjian tersebut.Â
Implikasi Global : Reaksi dan Peran Negara Besar pada Konflik Hizbullah-Israel dan Wilayah Timur TengahÂ
Konflik antara Hizbullah dengan Israel mengundang sejumlah reaksi dari negara negara besar terutama negara yang menjadi sekutu Israel seperti Amerika Serikat dimana Amerika Serikat akan mengirimkan beberapa ribu pasukannya untuk mendukung invasi Israel terhadap Lebanon selatan. Tentunya ini akan meningkatkan eskalasi yang sudah memanas di Timur Tengah yang akhir-akhir ini menjadi perhatian negara-negara besar lainnya seperti Prancis, Rusia, Inggris, China. Rusia telah meningkatkan kedekatannya dengan Iran dan memiliki hubungan yang sangat erat antara kedua negara tersebut, tidak hanya itu, Rusia juga ikut campur dalam Perang Saudara Suriah dengan membantu pemerintah Bashar Al-Assad melawan pemberontak ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan FSA (Free Syrian Army) yang didukung oleh Amerika dan sekutunya. China sebagai pemain baru di abad ke-21 juga ikut kedalam urusan Timur Tengah dengan bantuan ekonomi dalam bentuk investasi seperti BRI (Belt Road Initiative) serta menjalin hubungan yang erat dengan Iran dalam bidang ekonomi membuat China menjadi rekan ekonomi terbesar bagi Iran.Â
Potensi Konflik dan Dampaknya terhadap Dunia InternasionalÂ
Menurut saya, walaupun masih jauh dari potensi terjadi Perang Dunia 3, konflik ini akan terus berlanjut dan bisa menimbulkan eskalasi yang lebih luas, serta lebih berdampak kepada dunia internasional, seperti terganggunya jalur distribusi internasional akibat serangan misil Houthi di Selat Bab El-Mandeb yang membuat transit kapal tanker minyak menurun 47% pada minggu ke-3 Januari 2024, banyak perusahaan yang lebih memilih melewati Tanjung Harapan karena biaya keamanan yang mahal. Selain itu, bila konflik ini meluas lebih besar maka akan terjadi krisis kemanusiaan yang lebih besar seperti jutaan pengungsi yang akan menimbulkan krisis di negara-negara penerima pengungsi, seperti Perang Saudara Suriah yang membuat 6,7 Juta kehilangan tempat tinggal dan 5,5 Juta mengungsi ke negara tetagga seperti Irak, Jordania, Mesir dan Turki serta lebih dari 1 Juta mengungsi ke negara-negara eropa dengan 59 persen diantaranya menuju Jerman. Dalam bidang ekonomi, akan menimbulkan krisis suplai teknologi mengingat Israel adalah negara dengan produsen teknologinya yang canggih, apabila terjadi peperangan secara berkelanjutan dan skala yang lebih luas, berpotensi terjadi brain drain mengingat para intelektual, akademisi, profesional akan beremigrasi dari Israel untuk kehidupan yang lebih stabil, serta dapat terjadi lonjakan terhadap harga minyak, selama konflik Hizbullah-Israel berlangsung, terjadi kenaikan harga minyak sejauh 8% pada bulan September 2024. Apabila Iran ikut berperang secara langsung, maka mengancam aktivitas perdagangan di Selat Hormuz yang menjadi rute dari 15 % minyak di dunia. Tentunya itu akan merusak ekonomi Amerika Serikat karena berkontribusi terhadap 12,3 juta pekerjaan di AS, walaupun sudah diantisipasi dengan produksi minyak Amerika Serikat yang meningkat dan permintaan minyak global yang berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H