Rancangan UU Tentang Penghapusan Kekersaan Seksual akhinrya menimbulkan Polemik ditengah persiApan Pemilihan Presiden dan wakil presiden, penentangan RUU ini datang khususnya dari kelompok-kelompok Konservatif agama yang menilai Rancangan UU tersebut melanggar Nilai --Nilai agama yang ada.Sebagaimana diketahui Rancangan UU Kekerasan seksual ini sudah digulirkan semenjak tahun 2014 lalu untuk masuk pada prolegnas namun Hingga taun 2020 ini nasip RUU tersebut Belum Jelas
Kekerasan Seksual tentunya merupakan salah satu kejahatan yang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, hal ini didasarkan pada Jumlah Korban kekerasan seksual pada Perempuan yang terjadi di indonesia Berdasarkan Catatan Komnas Perempuan, bahwa ada sekitar 348.446 Â kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani pada tahun 2017 lalu, bahkan pada tahun 2018 Kekerasan seksual terhadap anak cukup tingi mencapai 2.797 kasus diranah privat/personal, dimana 1.528 Kasus dilakukan oleh pacar, ayah kandung 425 Kasus, ayah Tiri 205 kasus, paman 322 Kasus. Melihat data komnas Perempuan mengenai angka kekerasan seksual terhadap perempuan tentuya sangat memprihatinkan sudah selayaknya Rancangan UU Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan menjadi UU.
Munculnya Penentangan dari sejunlah pihak terhadap RUU tentang Penghapusan kekerasan Seksual tersebut mungkin saja bisa disebabkan karena pihak yang bersangkutan belum membaca dan memahami isi Rancangan UU tersebut, dan kalau kita melihat isi rancangan UU tersebut beberapa hal yang menimbulkan polemik antara lain, Defenisi kekerasan Seksual pada Pasal 1 butir 1 RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual didefenisikan Bahwa "kekerasan seksual adalah setiap perbuatan Merendahkan, mengina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap Tubuh, Hasrat seksual, seseorang, dan/Fungsi Reproduksi, secara Paksa, bertentangan dengan Kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tersebut itu tidak mampu membeirkan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan Relasi kuasa dan/atau Relasi Gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara Fisik, Psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, social, budaya, dan/atau Politik.
Jikalau mencermati Defeisi kekerasan seksual dalam RUU tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa RUU Tentang Penghapusan kekerasan seksual tersebut tidak hanya ditujukan pada kaum perempuan saja yang menjadi korban akan tetapi lebih luas yakni setiap orang termasuk pria maupun kaum transgender juka aakan mendapatkan perlindungan hal ini diperkuat pada paal 1 butir 5 RUU tersebut dijelaskan bahwa "Korban adalah setiap orang yang mengalami peristiwa Kerasan seksual". Â Dari defenisi korban tersebut yang menjadikan objek setiap orang memiliki makna siapapun tanpa melihat lagi gender baik pria, wanita, transgender jika mengalami kekerasan seksual maka semuanya dilindungi UU dan pelakunya pasti dijerat .
Di dalam RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, delik kekerasan seksual mengalami peningkatan dibandingkan dalam UU pelindungan anak dan UU KDRT, Jenis kekerasan seksual dibagi menjadi 9 jenis delik (Tindak Pidana), hal ini dapat dilihat dari pasal 11 RUU yakni Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, pemeksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Inilah 9 jenis perbuatan yang dianggap menjadi tindak pidana dalam RUU tersebut.
Yang menarik kemudian masuknya Pemaksaan Perkawinan menjadi delik/tindak pidana,jika kemudian orang tua memiliki seorang anak kemudian memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak tersebut tanpa keinginannya maka orang tua tersebut bisa dipidanakan hal ini diatur dalam pasal 116-119 RUU Peghapusan Kekerasan seksual, termasuk memaksankan pernikahan untuk menutupi aib seperti hamil diluar nikah maka tindakan tersebut bisa dipidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara. Bahkan pencatat perkawinan seperti penghulu dari KUA dari Kementerian agama juga akan dipidana jika mengetahui penikahan paksa tersebut dan gagal mencegahnya dengan ancaman hukuman 2 tahun dan paling lama 5 tahun. Sungguh sangat menarik krminalisasi dalam pasal tersebut sehingah menimbulkan kontroversial. Yang jelas memaksakan perkawinan memang tidak dibenarkan secara hukum meskipun kaum konservatif menganggap ha tersebut bisa dilakukan.
Salah satu hal yang krusial juga yang wajib menjadi perhatian dalam RUU Tentang Penghapusan kekerasan Seksual adalah mengenai Hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka (Love Each Others).karena hampir 9 delik kekerasan seksual yang diatur dalam RUU tersebut semuanya memiliki unsur delik, yakni tindakan berupa pemaksaan sedangkan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka belum diatur jelas dalam RUU tersebut. banyak pihak berharap bahwa RUU tersebut mampu mengakomodasi hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka (berzina) juga menjadi delik kejahatan karena dalam KUHP delik mengenai zina hanya mengatur bagi mereka yang memiliki ikatan perkawinan kemudian melakukan hubungan seksual maka bisa dihukum dengan pasal 284 KUHP, sedangkan bagi mereka yang tidak terikat perkawinan apalagi jika sudah dewasa kemudian melakukan hubungan seksual tidak bisa dijerat hukum. Hal iniah yang dituntut pihak koservatif untuk dimasukkan dalam RUU Penghapusan kekerasan seksual untuk menjerat para pelaku Free seks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H