Mohon tunggu...
Irene Kusuma
Irene Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Isaiah 55 : 8-9

Communication Studies' 16 Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Kalian yang Selalu Menyuruhku Kuat

31 Oktober 2018   19:05 Diperbarui: 1 November 2018   13:39 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: www.unsplash.com

Hi, namaku Irene. Aku baru berusia 20 tahun atau aku sudah berusia 20 tahun? Ah, itu hanya perspektif saja. Saat ini, aku seorang yatim piatu -- ya, setidaknya begitu dunia menyebutku. Seperti yang kalian tahu -- hm, atau mungkin kalian belum tau? Kalau begitu biar aku beri tahu ulang. Oktober, memang benar bulan ini menyeramkan selain karena ada halloween. Iya, aku kehilangan kedua orang tuaku di bulan ini -- ee, di tahun yang berbeda tentunya. 

Dulu aku penggila bulan Oktober dan mungkin sekarang aku akan memikirkan ulang hal tersebut. Mamaku pergi dengan penyakit kanker payudaranya dan papaku pergi dengan serangan jantungnya -- dan, sekarang aku memikirkan bagaimana nanti aku akan pergi. Kepergian kedua orang tuaku tentunya memaksa kakakku untuk mengambil alih peran keduanya -- di usia yang baru atau sudah 23 tahun? Aku tidak tahu ada seberapa banyak pemikiran dan perencanaan dalam pikirannya -- tapi aku harap dia baik-baik saja -- dan aku harap dia bisa berumur panjang, karena aku tidak sedang ingin mendatangi pemakaman lagi... untuk waktu yang sangat lama.

29 Oktober 2015, mamaku pergi. Aku masih bisa merasakan bagaimana dinginnya jam 2 pagi saat itu. Untungnya matahari cepat terbit saat itu. Entah saat itu kesadaranku belum penuh karena dipaksa bangun dari tidurku atau memang aku seakan sudah menduga kepergiannya? Akupun tersadar mengenai kepergiannya setelah pagi hari para tetangga berbondong-bondong datang ke rumah sekadar untuk melihat dan mengatakan "yang kuat ya...". Saat itu otakku mulai beroperasi dan menerima segala pesan. 

Dingin. Yang terdengar hanya detak jam dinding dan beberapa jejak kaki yang berlalu lalang. Saat itu aku duduk di sebuah kasur di sebelah kamar mama berada, aku menangis. Ribuan kepingan kenangan yang sudah memudarpun sepertinya berputar kembali layaknya siaran ulang. Saat itu aku "masih" 17 tahun, duduk di bangku 3 SMA salah satu sekolah swasta di Mojokerto, dan akan menghadapi yang namanya Ujian Nasional. Siang itu, ketika peti mulai dimasukkan ke dalam tanah, berpuluh pasang mata mungkin menatapku kasian -- yang saat itu aku seakan ingin ikut melompat ke dalamnya. Life must goes on -- setidaknya aku masih punya papa dan kakak. Hingga,...

3 tahun berlalu, luka yang aku kira sudah mengering itu ternyata menimbulkan luka lainnya.

11 Oktober 2018, papaku pergi. Begitu saja. Tanpa berpamitan sebelumnya. Jahatnya, dia pergi dengan senyuman seakan tidak merasa bersalah terhadapku. Yang kuingat hanya 2 hari sebelumnya dia menelponku seperti biasa -- mengingatkanku untuk tidak lupa makan, minum air putih, dan berdoa -- kini aku rindu suaranya. Aku menerima kabar itu saat aku berada di kereta untuk pulang ke Mojokerto -- eits, bukan karena aku tau papa akan pergi. Bukan, tidak sama sekali! 

Karena memang seminggu sebelumnya aku sudah berencana untuk pulang ke Mojokerto setelah ujian tengah semesterku -- untuk liburan, refreshing -- walau hanya 3 hari -- bukan untuk datang ke pemakaman papa sendiri. Shit! Tentunya aku menangis seperti orang bodoh di kereta saat itu dan orang-orang hanya menatap bingung -- tak berani menanyakan apapun. Dingin, bukan karena ada AC di dalam kereta -- karena aku seakan jiwaku keluar dari ragaku. Aku hanya memandang sendu ke luar kaca jendela kereta, memalingkan muka, ketika ratusan pesan masuk di ponselku. Aku harap aku hanya halusinasi saat itu.

"Tuhan terlalu baik bagiku! God is good all the time" -- kalimat itu saja yang berulang-ulang kuucapkan. Bukan untuk mengingatkan Tuhan, kalau Dia baik! Tidak! Bukan itu! Tapi untuk mengingatkan diriku sendiri kalau Dia Allah yang teramat baik.

Di ruangan 2x3 meter mungkin -- saat itu hanya ada aku, kakak, dan tubuh kaku papa. Di depan kakak aku berusaha sok kuat, padahal saat itu aku pengen marah. Bukan marah ke Tuhan, tapi ke papa. Satu-satunya pria yang aku yakini tidak akan menyakitiku, ternyata menyakitiku paling parah -- yaitu dengan pergi tanpa pamit. Papa yang mengantarkanku sendiri berangkat ke Yogyakarta untuk kuliah. Saat ini, aku mahasiswa semester 5 di salah satu universitas swasta di Yogyakarta -- juga ingin membahagiakan papa saat aku wisuda nanti. 

Tapi rupanya aku harus mengubur dalam-dalam mimpi itu. Berbeda dengan 3 tahun yang lalu, di rumah kini hanya ada aku dan kakak -- dan aku tidak akan mengira kalau matahari akan begitu lama terbitnya. Aku takut. Takut untuk tidur -- karena aku tidak berani menghadapi ribuan kenangan yang terputar ketika aku menutup mata. Takut untuk membayangkan sudut-sudut ruangan di rumah tempat biasanya papa duduk -- kini kosong. Saat itu aku hanya membutuhkan teman -- sehingga aku tidak perlu berperang dengan akal sehatku, hatiku, dan diriku sendiri -- tetapi tidak ada satupun.

"Irene yang sabar ya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun