Siang mulai menunjukkan kekuasaannya. Jalan-jalan ramai tiada lelah, berseliweran mobil saling berpacu, saling mendahului. Seorang pemulung menarik gerobaknya yang masih kosong. Tubuhnya berpeluh, topi laken usang bertengger di kepalanya yang sebagian rambutnya sudah memutih.
Di bawah pohon rindang jalur hijau, sang pemulung berhenti melepas lelah. Diusap wajahnya dengan handuk lusuh yang melekat di lehernya. Diteguknya air dalam botol mineral yang dibawanya tadi. Alis matanya yang tebal tampak berkerut karena sinar matahari sangat terik. Terbayang kembali rengekan anak sulungnya semalam, meminta uang pembayaran iuran sekolah untuk acara perpisahan.
“Pak, kata Bu Guru, kalau belum lunas tidak boleh ikut ujian,”wajah sedih tergurat di wajah anaknya yang duduk di kelas 3 SMP,”batas akhirnya minggu ini.”
Istrinya yang kurus, hanya menatap kosong sambil mengelus kepala, meninabobokan anaknya yang kecil.” Aku tidak punya uang Pak, simpanan kita terpakai untuk biaya si Ucup kemarin, beli obatnya mahal, ternyata kartu sehat hanya untuk pemeriksaan saja.”
“Ya gimana lagi, kita baru diuji Allah, mudah-mudahan hari ini dan besok-besok ada yang demo lagi, lumayan banyak botol dan kaleng minuman mineral bisa kita kumpulkan.”
“ Tapi Pak, uang lima ratus ribu itu banyak. Apa dapat Bapak kumpulkan dalam beberapa hari. Cari pinjaman saja ke Juragan, pasti boleh kalau alasannya untuk membayar sekolah si Budi.”
“ Malu aku Mak, selalu minjam setiap untuk kepentingan Budi. Padahal dulu aku yang berkeras, tidak ingin Budi di anak angkat oleh Beliau.”
“Lha terus gimana? Tidak kasihan tu sama Budi, kelihatannya dia jadi murung terus.”
Pemulung itu tersadar dari lamunannya ketika beberapa mobil membawa karangan bunga yang cukup besar. Ada pesta... atau ada yang berduka? Di mana, ada banyak kerumunan orangnya tidak? Mudah-mudahan tidak jauh, ini adalah rezekiku. Pikirnya dalam hati.
Bergegas ia mendorong gerobaknya, seakan seribu cambuk menyemangatinya untuk dapat menemukan lokasi diturunnya karangan bunga itu. Semoga tak jauh. Ada kerumunan orang berarti ada rezeki. Benar saja, baru beberapa ratus meter berjalan, tampak beberapa karangan bunga berjajar di pinggir jalan. Tapi kok sepi. Lha itukan Balai Kota. Ada acara apa? Pelantikan, belum waktunya. Untuk pesta pernikahan atau persemayaman juga tidak mungkin.
Penasaran, ia terus mendorong gerobaknya mendekati Balai Kota. Dibacanya tulisan demi tulisan yang ada dalam karangan bunga itu. Kok aneh...Seumur-umur isi karangan bunga itu selalu ucapan selamat berbahagia atau turut berduka cita... Lha ini lebih tepat tulisan yel-yel untuk demo.” Selamatkan NKRI, Selamatkan Pancasila, Junjung Tinggi Bhinneka Tunggal Ika,”dan macam-macam lagi tulisan yang membuatnya bertanya-tanya, ada keadaan daruratkah, apa tujuannya?