Mohon tunggu...
Lasmiyati
Lasmiyati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemulung dan Karangan Bunga

10 Mei 2017   10:00 Diperbarui: 10 Mei 2017   10:15 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Orang kalau kebayakan uang, memang ada-ada saja cara untuk membuangnya. Tak lagi dipikirkan tindakannya itu bermanfaat atau tidak, berpengaruh atau tidak, atau hanya sekadar membuat sensasi?” membatin lelaki pemulung

Karena kelelahan, lelaki pemulung itu memutuskan untuk beristirahat di kursi taman di seberang Balai Kota, mudah-mudahan Kamtib tidak mengadakan operasi hari ini. Dia berharap sebentar lagi ada yang demo. Sambil mengipas-ngipaskan topi lakennya, dia memperhatikan dan menghitung karangan bunga yang ada di seberang jalan sana. Lebih dari dua puluh. Sebagian ada yang ukuran sedang tapi lebih banyak yang ukuran besar. Ada yang dari pribadi dan ada yang mengatasnamakan nama organisasi atau komunitas tertentu. Bahkan ada yang dari perusahaan skala paus.

Lelaki itu coba mengkalkulasi sendiri, berapa rupiah uang yang dibuang percuma. Seandainya harganya kisaran Rp300 000 sampai Rp500 000. Sudah berapa juta. Seandainya saja uang untuk order karangan bunga itu diberikan padanya dua papan saja...Pasti saat ini ia tak jadi seperti orang linglung , bengong duduk di taman ini, istrinya yang tabah bisa tersenyum, dan anaknya bisa langsung bayar tanpa harus malu ke sekolah...Seandainya saja mereka tahu, saat ini banyak orang seperti dirinya, yang tengah begitu berharap mendapat rezeki untuk menopang periuknya agar tetap berisi, menyisihkan uangnya agar tetap dapat sekolah, dan menyisihkan serupih demi serupiah untuk simpanan. Yaa seandainya saja...

“Hayo bersihkan! kita bakar saja... Apa-apaan ini bikin sampah saja.” Teriak seorang yang bertubuh tegap dan berkumis,”tuntutan gak jelas, provokatif .”

“Apa sebaiknya kita hubungi jasa pengirim bunganya, untuk segera mengambil ini semua Pak?”

“ Halah kelamaan sebenarnya dari awal sudah dilarang, jangan ada karangan bunga di tempat pelayanan umum seperti ini. Cepat kumpulkan!”

Dalam sekejap karangan bunga itu sudah dikumpulkan dan ditumpuk lalu dibakar. Beberapa Satpol PP yang melihat hal itu mencoba memadamkannya, dibantu oleh Dinas Kebersihan yang datang kemudian.

Si Pemulung terpana menyaksikan pemusnahan papan-papan karangan bunga itu. Nilai uang jutaan rupiah dalam sekejap musnah. Jumlah uang yang menurut ukurannya sangat berharga hanya di pajang sebentar lalu dibakar. Lesu si Pemulung menghampiri gerobaknya yang masih kosong. Matahari sudah mulai lelah menemani manusia seharian ini, ia sudah condong ke Barat hendak masuk ke peraduannya. Tapi si Pemulung justru tak berani pulang, ia takut menatap wajah istrinya yang sabar, ia tak berani memandang Budi anaknya yang sudah mulai mogok makan, dan ia tak kuat mendorong gerobaknya yang kosong. Karena seharian ini, ia telah menghabiskan tenaganya hanya untuk menghitung karangan bunga yang tak mau memberikan nilai padanya. Seandainya saja papan-papan bunga itu buatku, akan kujual, lalu aku akan pulang dengan bangga. Si pemulung terus berjalan dengan gerobak kosong menuju senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun