“ As, kalau lulus dari madarasah aliyah, kau mau melanjutkan sekolah dimana ?” Tanya Zizah .
“ entahlah, Zah “ jawabku asal – asalan.
“ lah, kamu ini bagaimana, toh ? apakah kau tak punya rencana atas dunia akedemimu “ Zizah melanjutkan.
“ kau tau sendiri kan, bagaimana keadaan keluargaku saat ini ? mbok yo mikir, toh Zah - Zah !”. kataku sambil memainkan Semar.
“ apa salahnya ? kau ini gadis pintar. Sayang sekali jika ndak melanjutkan ke perguruan tinggi “
“ kata siapa aku pintar?” aku meliriknya dengan arah Sembilan puluh derajat.
“ lah, aku yang bilang barusan, gimana toh kamu itu ? kau ini masih muda, As. jangan mencoba jadi orang pikun “
“ kau salah, Zah. Kalau aku pintar, kenapa aku masih saja kalah dari Ahmad?”. Aku menerkanya. Ia tertawa terbahak – bahak.
“ hahahahah… weleh – weleh dasar bocah gemblung, kau kalah dari Ahmad bukan berarti kau tak pintar, As. Seberapa pentingnya sih nilai bagimu? mengukur kecerdasaan orang bukan dilihat dari nilainya, tapi dari segi pemahaman dan tindakan dia dalam memecahkan sebuah masalah, itu yang penting. Nilai hanya menjadi sebatas penghargaan sesaat saja, yang penting kau faham dan mengerti maksudnya “ kata Zizah panjang lebar. Aku mendengarnya dengan seksama. Semar pun jadi ikutan nimbrung dengan ocehan – ocehan panjangnya.
“ kau tau problem solving ? “ Zizah mulai kumat dengan gaya bahasanya. Aku diam sejenak. Namun, jika dilihat dari segi arti, aku tau apa yang di maksud oleh Zizah.
“ pemecahan masalah, iya toh ?” tanyaku memastikan.
“ seratus buatmu. Kau benar sekali, As. problem solving alias pemecahan masalah. Hanya orang – orang pintar dan cerdas saja yang sudah pasti menguasai apa itu pemecahan masalah, jika kau bisa menghadapi masalah dengan cara – cara yang seru dan unik, dapat dipastikan kau adalah salah satu golongan orang – orang pintar dan cerdas di muka bumi ini “ Zizah mengoceh panjang lebar.
“ lantas, kau ini ingin menjadi apa ? apakah kau ndak punya sedikit impian untuk meraih cita – citamu ? ayolah! Sebagai kaum muda, bersemangatlah!” lanjutnya untuk yang kesekian kalinya.
“ aku ingin menjadi bidan, Zah “ kataku pendek. Zizah menatapku dengan mata kecilnya. Dan kemudian menyipit.
“ bidan ?” Ia memastikan kembali perkataanku. Aku mengangguk pelan.
“ di dunia ini ndak ada yang tak mungkin, As. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan mimpi – mimpinya. Jika itu obsesimu, maka raihlah. Aku tahu kau pasti mampu memperjuangkannya “ Zizah menguatkanakan perkataanku tadi. Butir – butir semangatku mulai menapaki tangga permukaan. Namun, jika mengingat kondisi Emak dan juga aku. Semangatku kembali loyo dan nyaliku menciut seperti ban karet yang sehabis dibakar.
“ tapi… “ aku memotong pidatonya.
“ tapi apa, As? kau mengkhawatirkan soal Emakmu ? iya ? kau ini belum apa – apa kok sudah melempem. Nyalimu ciut, As. kau ndak berani menantang cadasnya batu kehidupan.” Zizah mencoba mengejekku dengan tujuan membangkitkan semangatku kembali.
“ jika kau mengaku golongan orang – orang yang pintar dan cerdas di muka bumiini, maka pecahkanlah masalahmu dengan cara yang seru dan seunik mungkin “ wejangan zizah padaku.
Semangatku terlecut kembali. Zizah benar, aku harus berani menantang kerasnya batu – batu kehidupan. Aku harus menjadi golongan orang – orang yang pintar dan cerdas di muka bumi ini. Memecahkan masalahku dengan cara yang seunik mungkin. Hidup ini berwarna karena ada berbagai tantangan. Tergantung level tantangan berapa yang akan kau pilih. Semakin tinggi pilihanmu maka semakin berwarna pula hidupmu.
“ kau sendiri, apa cita – citamu, Zah ?” aku membalik pertanyaannya tadi.
“ aku ?” ia tertawa kecil dan mencoba menggodaku. Aku mengangguk.
“ aku ini ndak sepintar dirimu, As. jadi tak mungkin jika aku ingin menjadi bidan “ Zizah mencoba menyindirku. Aku melirik dan dia tertawa kecil.
“ kau ndak usah memandangku sinis begitu, As. aku hanya bercanda. Mencoba mencairkan suasana. Karena sedari tadi ku lihat wajahmu begitu serius mendengarkan wejangan – wejanganku “
“ kau ndak kalah juga seriusnya. Ku lihat kau begitu mantap memberikan nasehat – nasehatmu tadi kepadaku, kau ini seperti juru bicara presiden saja, Zah “ ejekku membalasnya.
“ nah, apa katamu tadi ?”
“ juru bicara presiden “ ulangku.
“ ya itu !!!“
“ maksudmu, Zah ?” aku mulai kebingungan dengan sahutan – sahutan Zizah.
“ ya, yang kau katakan tadi “
“ memangnya ada apa toh dengan juru bicara presiden ?” aku masih kebingungan.
“ itu jawaban atas pertanyaan yang kau lontarkan kepadaku tadi “ jelasnya singkat.
“ oh, kau ingin menjadi juru bicara presiden ?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk.
“ lalu ? “ tanyaku kembali.
“ lalu apanya? “
“ apakah kau begitu menaruh minatmu untuk menjadi juru bicara presiden atau hanya sekedar angan - angan ?”
“ kalau aku ndak minat, mengapa aku memberi jawaban itu padamu, Asri sayang ?” jawabnya santai.
“ kau harus berusaha lebih keras lagi, Zah “ aku menambahkan.
“ maksudmu ? kau meragukanku untuk menjadi juru bicara presiden ? “ ia tampak sedikit tersungging, eh maksudku tersinggung.
“ aku tidak meragukanmu, ku akui kalau kau memang pandai bicara dan mengolah kata – kata. Kau tau sendiri kan, kalau Negara kita ini dipenuhi dengan aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika kau nfak mempunyai kenalan orang dalam yang bekerja di istana Negara. Maka, dapat dipastikan kau ndak akan mampu untuk menjadi juru bicara presiden. Percayalah padaku, Zah ! “.
“ benar apa katamu, As. tapi, aku akan membuktikan pada Bapak, Ibu, Kau, Emakmu, Semar, dan penduduk – penduduk Negara ini, kalau korupsi, kolusi, dan nepotisme ndak akan berlaku dalam karirku menjadi juru bicara presiden “ katanya optimis.
“ dan aku akan membuat gebrakan terbaru di dunia politik saat ini. Aku akan menjadi juru bicara presiden yang pertama dari golongan gender perempuan “ lanjutnya kembali. Aku salut dengan semangat Zizah. Suaranya yang kecil membuatku sedikit geli mendengarnya. Namun, dari pancaran sinar matanya dapat kulihat kesungguhan niatnya untuk menjadi seorang “Juru Bicara Presiden “. Yah, aku dan Zizah memiliki mimpinya masing – masing. Aku dan Zizah berhak memperjuangkan mimpi – mimpi kami. Kami juga ingin menjadi golongan orang – orang pintar dan cerdas di muka bumi ini. Memilih level tantangan tinggi agar hidup kami semakin berwarna. Satu pertanyaan lagi yang ingin ku lontarkan dan selama ini membuatku penasaran. “jika kau, Semar. Kau ingin menjadi apa ? “. Dia tersenyum memandangku sambil memamerkan pantat besarnya. Lucu sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H