PENDIDIKAN ITU MEMERDEKAAN, adalah kalimat yang dilontarkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara. Pernyataan ini menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk membebaskan individu dari kebodohan dan keterbelakangan, memberi mereka kekuatan untuk berpikir dan bertindak secara mandiri. Pendidikan seharusnya membuka akses dan kesempatan bagi semua orang, tanpa pengecualian. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat, Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945, dan Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia. Tujuan dari pasal-pasal ini adalah untuk memastikan bahwa semua warga negara, tanpa terkecuali, memiliki akses terhadap pendidikan yang layak. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan, hanya 10,15% warga negara yang berhasil menempuh pendidikan tinggi. Disparitas ini mencerminkan paradoks dalam sistem pendidikan, di satu sisi, pendidikan dianggap sebagai kewajiban dan hak asasi, namun di sisi lain, hanya segelintir orang yang mampu mengaksesnya. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa kuliah masih sulit untuk digapai?
Ivan Illich, seorang filsuf sosial, menawarkan pandangan yang tajam dalam menganalisis fenomena ini. Menurut Illich, kita hidup di bawah tirani disiplin pasar, di mana pendidikan tidak lagi dilihat sebagai proses pembelajaran yang holistik, melainkan sebagai komoditas yang harus dibeli. Dalam pandangan ini, mahasiswa bukan lagi dianggap sebagai peserta didik, tetapi sebagai konsumen pendidikan yang harus memenuhi standar-standar pasar. Akibatnya, pendidikan tinggi menjadi sebuah 'barang mewah' yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial. Illich juga berargumen bahwa sistem pendidikan saat ini cenderung memperkuat stratifikasi sosial. Alih-alih menjadi sarana untuk meningkatkan mobilitas sosial, pendidikan justru mempertegas perbedaan kelas. Mereka yang mampu membayar biaya kuliah yang tinggi mendapatkan akses ke institusi pendidikan yang lebih baik, sementara mereka yang kurang mampu harus puas dengan pilihan yang terbatas.
Pandangan ini relevan dalam konteks Indonesia di mana biaya kuliah yang tinggi, ditambah dengan biaya hidup yang tidak sedikit, membuat banyak orang ragu untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Meski berbagai skema beasiswa dan bantuan pendidikan telah digulirkan, faktanya masih banyak yang belum terjangkau oleh program-program tersebut. Pandangan ini relevan dalam konteks Indonesia, di mana biaya kuliah yang tinggi, ditambah dengan biaya hidup yang tidak sedikit, membuat banyak orang ragu untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Meskipun berbagai skema beasiswa dan bantuan pendidikan telah digulirkan, faktanya masih banyak yang belum terjangkau oleh program-program tersebut. Akses terhadap pendidikan tinggi masih menjadi tantangan serius, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Polemik tersebut menciptakan hambatan struktural yang sulit diatasi, meskipun pendidikan adalah hak yang dijamin oleh konstitusi.
Permasalahan ini tidak hanya sekadar tentang biaya, tetapi juga mencakup isu-isu yang lebih kompleks seperti kesenjangan geografis, kualitas pendidikan, dan kurangnya informasi yang tersedia bagi calon mahasiswa. Di daerah-daerah terpencil, misalnya, akses ke institusi pendidikan tinggi sangat terbatas. Selain itu, kualitas sekolah di berbagai wilayah Indonesia juga tidak merata, sehingga banyak siswa dari daerah tertentu tidak memiliki bekal yang cukup untuk bersaing di perguruan tinggi ternama. Program beasiswa dan bantuan pendidikan yang ada sering kali memiliki kriteria yang ketat dan prosedur yang rumit, yang justru menjadi penghalang bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Banyak dari mereka yang gagal mendapatkan beasiswa bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena tidak memenuhi persyaratan administrasi atau kurangnya akses terhadap informasi tentang peluang tersebut. Ini menunjukkan bahwa solusi yang ada masih belum cukup inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas.
Selain itu, terdapat masalah struktural dalam sistem pendidikan itu sendiri, mulai dari kurikulum yang cenderung berorientasi pada pencapaian akademik, tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial dan ekonomi siswa. Hal tersebut membuat banyak dari mereka yang kurang beruntung secara ekonomi merasa tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Paradigma pendidikan yang terlalu menekankan pada prestasi akademik dan sertifikasi formal juga menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Kondisi ini semakin diperparah oleh meningkatnya komersialisasi pendidikan tinggi, di mana perguruan tinggi berlomba-lomba menawarkan program-program yang mahal dan berorientasi pasar, tetapi sering kali tidak memberikan jaminan kualitas yang setara. Hal ini membuat pendidikan tinggi semakin elit dan sulit dijangkau oleh masyarakat luas.
"Educatio est omnium efficacissima arma mutationem in mundo"
(Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.)
Implikasi dari problematika akses pendidikan ini sangat mendalam. Kesulitan dalam mengakses pendidikan tinggi tidak hanya menghambat mobilitas sosial, tetapi juga memperkuat siklus kemiskinan. Tanpa pendidikan tinggi, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan pendapatan yang lebih baik menjadi sangat terbatas. Hal ini justru mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan generasi berikutnya, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Dalam konteks yang lebih luas, ketidakadilan dalam akses pendidikan juga berdampak pada kualitas demokrasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan yang inklusif dan merata adalah fondasi bagi terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur. Ketika hanya segelintir orang yang dapat mengakses pendidikan tinggi, maka kesempatan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya saing dan inovatif menjadi terhambat.
Paradigma pendidikan sebagai kewajiban negara juga perlu dievaluasi. Apakah negara sudah menjalankan kewajibannya dengan optimal? Apakah program-program yang ada sudah cukup efektif dalam memperluas akses pendidikan tinggi? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab jika kita ingin mewujudkan pendidikan yang inklusif dan merata. Pada akhirnya, tantangan ini mengharuskan kita untuk berpikir ulang mengenai orientasi pendidikan kita. Apakah pendidikan hanya untuk mereka yang mampu, ataukah memang harus dijamin untuk semua orang? Dan lebih jauh lagi, bagaimana kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada penyediaan akses, tetapi juga pada penciptaan kualitas yang merata? Tanpa jawaban yang jelas, pendidikan akan terus menjadi sebuah paradoks, diakui sebagai hak namun sulit untuk dijangkau oleh banyak orang, bukti abai negara akan kewajibanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H