Mohon tunggu...
Khazat Zikrullah
Khazat Zikrullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hi there!

Hanya seorang mahasiswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

I Am a Cat: Sebuah Buku Filsafat Berkedok Novel tentang Keseharian Kucing

24 Januari 2022   03:57 Diperbarui: 24 Januari 2022   05:09 3777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nicolasbookcluborg.files.wordpress.com

Belum lama ini Saya selesai membaca novel I Am a Cat. Dari awal membaca, novel ini langsung menjadi salah satu novel favorit yang ada di rak Saya. 

Novel ini adalah karya klasik yang ditulis pada tahun 1904 dan merupakan karya pertama seorang pria asal Jepang yaitu Natsume Kinnosuke, atau lebih dikenal dengan nama Natsume Soseki.

Mulanya, Soseki menulis I Am a Cat berupa cerita pendek yang diterbitkan dalam majalah. Namun kini, sepuluh bab cerita pendek yang ditulis telah menjadi bagian dari novel yang sangat panjang.

Novel ini merupakan sebuah satire yang bercerita tentang keseharian seekor kucing jantan tanpa nama yang mengamati makhluk bernama manusia. Novel ini menyajikan kisah kehidupan pada era Meiji di Jepang dari pandangan seekor kucing yang dipelihara oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris bernama Tuan Sneaze.

Dengan seekor kucing sebagai narator, novel ini memiliki daya tarik tersendiri. Namun tidak hanya bercerita tentang keseharian kucing, novel ini juga memberikan komentar menohok terhadap spesies manusia yang disampaikan oleh seekor kucing. 

Salah satu komentar Sang Kucing kepada spesies manusia yang Saya sukai yaitu, "Manusia itu tidak berguna: mereka menggunakan mulut mereka untuk menertawakan sesuatu yang tidak lucu, demi kesenangan yang tak menyenangkan." 

Semakin jauh Saya membaca buku ini, semakin Saya yakin bahwa sang narator adalah seorang filsuf yang terjebak dalam tubuh seekor kucing.

Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari novel ini, dari Sang Kucing dan juga dari teman-teman majikan Sang Kucing. Berikut akan Saya coba jabarkan beberapa poin yang mengajarkan tentang hidup sebagai makhluk yang tinggal di muka bumi.

  • Tidak perlu memperlakukan hal sederhana seolah masalah yang rumit

Sang Kucing menyampaikan rasa kasihannya kepada manusia yang selalu saja bersusah payah untuk suatu hal yang sederhana.  Padahal untuk masalah-masalah sederhana dalam hidup hanya perlu solusi yang juga sederhana, cukup dengan bertindak tanpa berpikir terlalu panjang.

Manusia punya lebih banyak waktu luang daripada kucing. Kita sering menganggap bahwa enak hidup sebagai kucing. Kalau mau hidup enak dan mudah, sebenarnya bisa saja. Tidak ada yang akan menghalangi. Salah sendiri manusia mengumbar terlalu banyak janji lalu tidak bisa menepatinya.

  • Ketidaktahuan itu membebaskan

Ketika kita masih anak-anak, kita hanya mengetahui sedikit tentang dunia. Kita merasa bebas karena belum mengetahui mana yang baik atau yang salah sehingga bisa bertindak seenaknya. Ketika beranjak dewasa dan mengetahui apa yang benar dan salah, kita mulai "mengurung diri" untuk tidak melakukan hal yang salah.

Bahkan ketika kita semakin dewasa dan mulai mengetahui kebenaran dunia yang kacau ini, semakin kita mudah dilanda rasa khawatir. 

  • Kekhawatiran tidak mengubah apa pun

Ketika menghadapi sesuatu, rasa khawatir tidak akan berguna. Biasanya rasa khawatir muncul atas hal-hal yang tidak pasti. Rasa khawatir hanya akan memperpanjang penderitaan. Tidakkah kita lelah memikirkan segala sesuatu tanpa ada jawabannya? Karena sudah pasti dalam diri tiap orang butuh ketenangan dalam menjalani hidup, maka lepaslah rasa khawatir.

  • Kebahagiaan berasal dari dalam diri

Dalam novel ini juga sedikit dijabarkan mengenai ajaran filosofi Stoikisme yang mengatakan bahwa kebahagiaan ada di dalam diri sendiri. Kita tidak bisa mengendalikan hal-hal yang ada di luar diri kita, oleh karena itu untuk menghadapi suatu masalah yang cukup berat kita dapat mengatur pikiran untuk menerima masalah tersebut alih-alih mendumel dan mengomel tanpa arah yang pasti.

Manusia seringkali menuntut kepuasan tanpa henti dan menginginkan kesempurnaan. Pokok persoalan yang sebenarnya ada dalam pikiran kita. Kita sibuk mencari kepuasan dengan mengubah orang lain bukannya mengubah diri sendiri.

Dalam hidup ini, kucing telah memberikan banyak pelajaran kepada manusia. Kucing mengajarkan kesabaran, kegigihan, keanggunan, keindahan, bahkan ketegaran. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita menaruh hormat oleh makhluk yang rela mendampingi hidup manusia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun