Oleh Tim Redaksi
Pasien skizofrenia dengan gejala isolasi sosial menjadi perhatian utama dalam dunia rehabilitasi sosial. Dari data yang diperoleh, terdapat 183 pasien skizofrenia di sebuah unit rehabilitasi sosial, dengan sekitar 25% di antaranya (45 pasien) mengalami gejala isolasi sosial. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga menambah beban bagi keluarga dan tenaga perawat.
Dr. Sri Widowati, seorang dosen sekaligus praktisi kesehatan mental, menjelaskan dampak buruk dari isolasi sosial terhadap pasien skizofrenia. "Pasien dengan gejala isolasi sosial cenderung mengalami penurunan aktivitas yang signifikan. Akibatnya, mereka menjadi tidak produktif, kualitas hidupnya menurun, dan prognosis skizofrenia menjadi semakin buruk," ujarnya. Beban ini juga dirasakan oleh keluarga dan tenaga perawat, di mana penurunan kualitas perawatan menjadi salah satu risiko utamanya.
Untuk mengatasi tantangan ini, inovasi dalam terapi psikologis menjadi sebuah kebutuhan. Salah satu pendekatan yang tengah dikembangkan adalah terapi gerak, mencakup terapi gerak tari (dance movement therapy) dan terapi aerobik. Muhammad Rosyidul 'Ibad, seorang peneliti yang terlibat dalam program ini, mengungkapkan bahwa terapi gerak memiliki potensi besar untuk membantu pasien. "Melalui terapi ini, kami ingin memberikan kesempatan bagi pasien untuk terlibat aktif dalam kegiatan fisik yang tidak hanya membantu secara fisik, tetapi juga emosional," katanya.
Program terapi ini melibatkan 20 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok terapi gerak tari dan kelompok terapi aerobik, masing-masing berisi 10 pasien. Hasilnya sangat menggembirakan. Muhammad Ari Arfianto, seorang ahli terapi gerak, memaparkan temuan dari kegiatan tersebut. "Pasien yang menjalani terapi gerak tari menunjukkan penurunan skala kesepian yang signifikan, sementara mereka yang mengikuti terapi aerobik mengalami peningkatan fungsi kognitif sebesar 1-3 poin," jelasnya.
Manfaat dari terapi ini tidak hanya dirasakan secara langsung, tetapi juga menawarkan solusi jangka panjang yang praktis. "Terapi ini dapat dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk audio-visual, sehingga pasien bisa melakukannya secara mandiri tanpa perlu didampingi langsung oleh terapis. Hal ini tentu akan meringankan beban perawatan di masa mendatang," tambah Muhammad Rosyidul 'Ibad.
Pentingnya pengembangan terapi ini juga ditekankan oleh Dr. Sri Widowati. "Inovasi seperti ini menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Selain itu, ini bisa menjadi pelengkap terapi utama bagi pasien skizofrenia dengan isolasi sosial," tuturnya.
Meski terapi gerak menunjukkan hasil yang menjanjikan, penerapannya membutuhkan dukungan lebih luas, baik dari pihak rumah sakit, keluarga, maupun masyarakat. Kesuksesan terapi ini bisa menjadi contoh bahwa pendekatan holistik dalam menangani skizofrenia dapat menghasilkan dampak yang signifikan, tidak hanya untuk pasien tetapi juga bagi lingkungannya.
Dengan langkah-langkah seperti ini, diharapkan beban perawatan dapat diminimalisir, dan pasien dengan skizofrenia dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan produktif. Terapi gerak tidak hanya memberikan harapan baru, tetapi juga menjadi simbol bahwa inovasi dalam bidang kesehatan mental terus berkembang untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H