Politik Menjadi Raja
Bangsa kita terlalu bangga dengan demokrasi, bangsa kita terlalu antusias dengan apa yang dinamakan politik demokrasi atau demokrasi politik. Kebanggan itu kadang menjadi berlebihan, sehingga apa saja dalam kehidupan bangsa ini dipolitisir, akibatnya segala sesuatunya bernuansa politik. Kekuatan politik mungkin saja dapat disebut salah satu simbol kekuatan Indonesia. Namun, yang jadi pertanyaan adalah apakah itu kekuatan politik membangun atau malah kekuatan politik menghancurkan.
Dinegeri kita ini, politik dijadikan alat untuk mencapai keinginan, politik kadang menjadi raja dari segala raja yang menjajah sesamanya. Apakah ini merupakan bibit kehidupan bangsa kita pasca berakhirnya kekuasaan kolonial belanda, atau memang tabiat bangsa kita ingin tampil namun bertindak keliru?.
Fenomena bangsa kita adalah, gagal. Gagal dalam mendidik moral anak bangsa, gagal mengawasi pengurus negara yang bertindak sesuka hati gagal dalam segala hal. Dimana keberanian kita menetapkan kebenaran? Dimana kemampuan kita untuk merdeka dari ketidakadilan ?, Dimana wibawa kita sebagai negara yang berdaulat ?, memiliki hukum dan undang-undang, nyatanya kedaulatan tidak lagi dihargai oleh pendaulatanya, hukum dan undang-undang direvisi untuk menguatkan kepentingan.
Bila raja berpolitik, tentu itu merupakan kemajuan. Artinya, raja membuka dirinya untuk kehidupan politik, namun bila politik menjadi raja, tentu hal ini sebuah kemunduran. Lihatlah negara-negara damai yang digempur kekuatan politik, hancur berkeping-keping menyisakan reruntuhan moral, apakah hal seperti pantas dinegeri kita?
Coba kita perhatikan kembali teks Pancasila, apakah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi dasar bangsa kita bahwa saat ini kita adalah bangsa yang bertuhan? Nyatanya kita menuhankan politik, sehingga hukum diangap aturan Tuhan Politik. Apakah Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mencerminkan bahwa kita adalah negara yang beradab? Nyatanya dinegeri kita lahir kelompok -kelompok biadab yang suka meneror, menguras, memeras, menindas, memeras, memperkosa hak, dan lain sebagainya.
Apakah sila ketiga Persatuan Indonesia merupakan kekuatan bangsa kita ? , sehingga bangsa ini kuat, makmur dan sejahtera? Nyatanya, dinegeri ini masih banyak kekuatan-kekuatan yang yang merobohkan semangat NKRI. Banyak elit politik tidak menunjukkan bagian dari sila ketiga ini, masing-masing bertahan pada idealis masing-masing yang dianggap maha benar dan segala yang benar, sementara kelompok oportunis bertebaran dan terus tumbuh dan menggerogoti sendi-sendi bangsa.
Apkah sila ke empat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksaan Dalam Permusyawarat Perwakilan adalah landasan bahwa kita tumbuh dalam organisasi negara yang teratur? Siapa yang memipin rakyat, dan kebijakan apa yang diterpakan dinegeri ini, apa juga yang dimusyawarahkan oleh para wakil rakyat? Apakah hanya karena ketenaran atau popularitas, sekalian saja menjadi artis. Kebijakan dinegeri sudah tepat namun cacatnya terletak ada pelaku kebijakan. Suara sumbang mengatakan, pelaku kebijakan juga manusia, tetapi bukankah manusia itu mahkluk yang cukup pandai? sayangnya segala sesuatunya dinilai di meja politik.
Apakah sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia  sudah menyempurnakan kekurangan dinegeri ini? Nyatanya keadilan masih merupakan produk jual dinegeri ini, kehidupan sosial makin sulit, karena terbentang jarak antara kaya dan miskin, atasan dan bawahan, pemimpin dan rakyat, pejabat dan jelata. Pemeritaan keadilan masih merupakan mimpi disiang bolong bagi anak bangsa ini. Pemerataan sosial masih sebatas slogan usang, sementara jiwa-jiwa oportunis terus tumbuh bagai parasit dinegeri ini. Bila politik menjadi raja, maka bersiaplah kita benar-benar hancur lebur dan bangkrut moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H