Oleh: Abdul Ghopur
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alamnya sangat melimpah dan beraneka ragam jenisnya, baik yang terkandung di dalam laut maupun perut bumi Indonesia. Mulai dari minyak, gas, batu bara, panas bumi (geothermal), sampai nuklir, kita punya. Belum lagi energi terbarukan lainnya seperti angin, air, matahari, biofuel, dan biogas. Semuanya tersebar merata di hampir seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tak sejengkalpun tanah di bumi nusantara ini yang tidak mengandung karunia tuhan. Semuanya dapat menghasilkan sesuatu bagi kebutuhan dan perkembangan manusia Indonesia, bahkan bagi kebutuhan umat di dunia!
Melimpahnya kekayaan alam Indonesia jika dikelola secara baik dan penuh tanggung jawab semestinya tidak membuat penduduk negeri ini menjadi miskin. Namun sayang, kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan bijak dan berkeadilan. Tak pelak kekayaanalam Indonesia ini pun tidak bisa dinikmati secara murah olehrakyatnya yang sebagian besar miskin. Tengok saja faktanya bahwa tidak semua masyarakat bisa mengakses secara mudah terhadap sumber-sumber energi. Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri sendiri, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi.
Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri, pemerintah dan pengusaha justru mengeksplorasi sumber-sumber energi dan mengeksploitasinya secara membabi-buta demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Alasannya sederhana, harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Padahal kita tahu banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan.
Krisis energi yang terjadi saat ini perlu segera ditangani secara serius oleh berbagai pihak di Indonesia. Langkah nyata yang bisa ditempuh adalah melakukan efisiensi energi khususnya untuk konsumsi bahan bakar minyak (BBM) serta listrik. Tugas besar tersebut berada di tangan pemerintah. Sebagai regulator pemerintah memiliki kewenangan besar untuk mengatur dan mengendalikan konsumsi energi secara nasional. Khususnya untuk mengeluarkan kebijakan dalam hal efisiensi energi.
Kebijakan pemerintah dalam menekan laju konsumsi energi seperti BBM dan listrik sejauh ini belum berdampak nyata. Di sisi lain, upaya melakukan efisiensi energi yang disuarakan sejumlah kalangan hanya sebatas wacana atau boleh dibilang lip service. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah langkah nyata agar semua pihak menyadari arti penting efisiensi energi. Namun, upaya efisiensi energi yang digalakkan pemerintah, bukan berarti pemerintah serta-merta menaikkan harga BBM.
Demi rakyat, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM. Presiden SBY berkali-kali menyatakan bahwa kenaikan BBM merupakan opsi terakhir setelah pemerintah gagal mengupayakan cara lain agar BBM tidak naik. Bahkan, Presiden SBY rela popularitasnya turun demi menyelamatkan ekonomi negara dan rakyat. Tapi, kenyataannya jauh pangang dari api. Meski banyak opsi lain, SBY tetap saja menaikkan harga BBM.
Sebenarnya masih banyak alternatif langkah lainnya yang bisa dilakukan peremerintah dalam menekan laju konsumsi BBM di dalam negeri. Misalnya, adanya pemetaan penyebaran dan pemanfaatan energi di seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini dapat memberikan gambaran jelas, tentang kondisi energi kita dan keseimbangan kebutuhan energi. Pengukurannya tidak hanya sebatas pada kondisi terkini tapi juga mencakup masa depan. Penggunaan energi terkini di setiap wilayah, perlu dihitung secara riil. Kemudian setiap wilayah harus mampu memberikan prediksi jelas mengenai kebutuhan energi 25 sampai 50 tahun kedepan.
Kerja keras untuk mengefisienkan konsumsi energi juga harus diikuti dengan pembenahan tata kelola BBM. Pada tahap inilah, pemerintah harus berani transparan memaparkan hasil produksi BBM, distribusi BBM, pemanfaatan hasil produksi BBM, termasuk jumlah BBM yang diekspor. Transparansi ini bisa dimulai dengan memetakan kebutuhan dan penyebaran BBM di tanah air. Pemetaan kebutuhan BBM bisa mengacu pada: 1) Wilayah, 2) Tingkat konsumsi, 3) Kawasan industri, 4) Komunitas khusus yang mengkonsumsi BBM dalam skala besar seperti nelayan, 5) Biaya distribusi, 6) Potensi produksi BBM dalam negeri, 7) Potensi pengembangan energi terbarukan.
Terkait gejolak kenaikan BBM, apakah benar rakyat sudah merasa terwakili dengan jargon-jargon pembelaan terhadapnya? Harus diakui, kenaikan harga BBM sedikit banyaknya telah membebani rakyat. Naiknya harga BBM tentu akan berimbas terhadap kenaikan harga-harga komoditi yang lain. Kenaikan demi kenaikan harga ini tentu membebani rakyat. Sebab, di saat bersamaan, ternyata penghasilan mereka tetap sama seperti sebelum kenaikan BBM.
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah pemerintah mempunyai strategi terpadu efisiensi dan tata-kelola energi nasional?Jika jawabannya adalah PENAIKAN HARGA BBM sebagai langkah terpadu efisiensi energi nasional, berarti pemerintah tidak serius dalam menangani krisis energi.
Padahal Undang-Undang Dasar (UUD) ’45 pasal 33 ayat 1-4 telah mengamanatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta denganmenjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam hal ini termasuk pengelolaan sumber-sumber energi dan sumber daya alam lainnya seperti beras dan lain-lain.
Semestinya manakala terjadi lonjakan harga minyak dunia akhir-akhir ini, menjadi berkah tersendiri bagi Indonesia. Namun, kenyataannya sungguh jauh panggang dari api. Bangsa ini justru terpuruk akibat lonjakan harga minyak dunia tersebut. Kerugian Indonesia akibat meroketnya harga minyak dunia ini ditengarai akibat salah kaprahnya pengelolaan energi nasional. Jika skenario/visi pengelolaan krisis energi SBY adalah menaikkan harga BBM, maka slogan dan jargon politik SBY saat Pilpres beberapa waktu lalu bisa menjadi pelesetan, dari ”BERSAMA KITA BISA” menjadi ”BERSAMA KITA RAWAN KRISIS ENERGI!!!”[]
Penulis adalah Intelektual Muda NU,
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) & Central Study 164
(Pemikir Masalah-masalah Kebangsaan dan Politik Kebijakan Energi Nasional)
Menulis Buku SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SALAH KELOLA! ”Kritik Terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial” 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H