Mohon tunggu...
Abdul Ghopur
Abdul Ghopur Mohon Tunggu... -

Nasionalis-Majemuk (suka bergaul dengan banyak orang dr kalangan apapun kecuali Koruptor & Penindas Rakyat Kecil..)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada yang Salah dengan Pengelolaan Energi!

10 Januari 2013   05:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:20 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Abdul Ghopur

Negeri ini sebetulnya tidak kekurangan energi sama sekali. Indonesia memiliki banyak sumber-sumber energi yang beragam jenisnya. Mulai dari minyak, gas, batu bara, panas bumi (geothermal), sampai nuklir, kita punya. Belum lagi energi terbarukan lainnya seperti angin, air, matahari, biofuel, dan biogas. Semuanya tersebar merata di hampir seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tak sejengkalpun tanah di bumi nusantara ini yang tidak mengandung karunia tuhan. Semuanya dapat menghasilkan sesuatu bagi kebutuhan dan perkembangan manusia Indonesia, bahkan bagi kebutuhan umat di dunia!

Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Ataupun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik. Mengapa begitu? Jawabannya, adalah karena sumber persediaan dan hasil energi di dalam negeri ini dijual ke luar negeri secara masif. Hasil energi Indonesia dijual dengan murahnya tanpa memedulikan kebutuhan dan kemanan pasokan energi di dalam negeri. Padahal kita tahu bahwa di dalam negeri sedang terjadi kelangkaan pasokan BBM dan krisis listrik. Selain itu harganya pun sangat mahal begi rakyat miskin.

Ketika rakyat kesulitan mendapat hasil energi baik minyak, gas, batu bara, maupun listrik, pemerintah dan pengusaha malah seenaknya mengekspor bahan-bahan tersebut ke luar negeri. Alasannya, karena harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Pemerintah lebih memilih menjualnya ke luar negeri, ketimbang di dalam negeri yang harganya jauh di bawah pasar internasional. Padahal kita tahu, kalau banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan.

Inilah yang membuat kita semua jadi prihatin dan sekaligus bingung! Mengapa bingung? Sebab, sepertinya kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa ada tindakan konkret dari pemerintah untuk memperbaiki nasib rakyat. Sebagai pemegang monopoli tata kenegaraan, khususnya di bidang energi, pemerintah sesungguhnya wajib untuk memperbaiki nasib rakyat yang lebih baik. Pemerintah seharusnya menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti minyak, gas, maupun listrik. Masih banyak masyarakat di daerah-daerah terpencil yang kesulitan dalam mengakses listrik. Bahkan di sejumlah wilayah tertentu sama sekali belum teraliri listrik, karena baik alat pembangkit maupun transmisi untuk mengaliri listrik belum ada.

Sejauh ini masyarakat di wilayah-wilayah terpencil menggunakan cara-cara konvensional untuk menciptakan energi baik listrik maupun untuk memasak dan keperluan lainnya. Beruntung bagi masyarakat yang di daerahnya terdapat sumber air yang banyak seperti air terjun dan sungai. Karena mereka bisa menciptakan energi yang berasal dari air / mikrohidro. Namun, bagi masyarkat yang di daerahnya krisis sumber energi atau bahkan sama sekali tidak ada, mereka harus mencari ke tempat lain yang terdapat sumber energi.

Kebijakan energi nasional yang serabutan menyebabkan krisis energi hampir di banyak wilayah di Nusantara. Begitu ngawurnya kebijakan energi oleh pemerintah, sampai-sampai Indonesia harus mengimpor minyak dari luar negeri karena di dalam negeri sendiri kekurangan minyak! Bahkan kita telah menjadi net importir komoditi tersebut. Dan, yang lebih mencengankan lagi bahwa pemerintah tidak langsung membelinya ke produsen minyak, melainkan pemerintah membelinya melalui pasar spot (calo minyak) seperti membelinya ke Singapura.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pengelolaan energi nasional begitu lemah dan bodoh? Mengapa pemerintah melakukan semua ini? Apakah ada intervensi asing yang mendorong pemerintah melakukan ini? Apakah ada kekuatan-kekuatan di dalam negeri seperti para pengusaha tambang dan batu bara yang menekan pemerintah, yang menginginkan untung besar tanpa harus membayar pajak? Ataukah ada aksi para spekulan seperti yang selama ini di wacanakan oleh pemerintah, para pakar, dan juga para produsen besar minyak dunia? Ataukah pemerintah yang tidak tahu cara mengelola energi yang benar?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas menggugah kita bahwa sesungguhnya memang ada yang salah dalam pengelolaan energi nasional selama ini. Namun, pertanyaan yang paling akhir di atas merupakan faktor yang paling kuat dalam menyumbang krisis energi di dalam negeri. Apa sesungguhnya yang salah dalam pengelolaan energi kita? Baik, kita bedah letak kesalahan tersebut satu persatu.

Pertama, kebijakan energi oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan amanat dan cita-cita proklamasi maupun UUD 45.

Kedua, pemerintah terlalu mengistimewakan investor maupun pengusaha asing melalui UU PMA hasil amandemen UUD yang ke empat.

Ketiga, terkait dengan sistem kontrak karya eksplorasi dan pengolahan sumber energi yang kurang menguntungkan bagi kepentingan nasional.

Keempat, adanya oknum pemerintah sendiri yang menjadi komprador kepentingan asing yang sering menghubungkan kepentingan pengusaha baik lokal maupun asing yang merugikan kepentingan nasional.

Kelima, aksi menimbun BBM maupun gas dan menyelundukannya secara ilegal ke luar negeri baik yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah.

Pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-3, secara umum ditegaskan bahwa segala sesuatu yang berhubugan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, dalam hal ini adalah pemerintah wajib memakmurkan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Pada pasal ini sesungguhnya pemerintah telah melanggar UUD. Yaitu, sumber energi kita sebagian tidak lagi dikuasai oleh pemerintah, melainkan berada dalam penguasaan asing. Kendati banyak juga pengusaha lokal yang bergerak di bidang-bidang tertentu di energi, namun secara kuantitas dan kualitas tidak terlalu berpengaruh signifikan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing. Seluruh kekayaan alam kita digerus dan dibawa oleh pihak asing. Pemerintah tidak menjamin ketersediaan energi bagi kebutuhan di dalam negeri sendiri. Sehingga ketahanan energi nasional menjadi sangat lemah. Sehinggakita tidak memiliki daya tawar di dunia internasional.

Melalui UU Penanaman Modal Asing yang baru, pihak asing dapat lebih leluasa dan lebih lama mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia, tanpa harus dipusingkan dengan retribusi atau kompensasi yang berarti bila terjadi kerusakan alam. Padahal, ketika awal-awal republik ini berdiri, pihak asing hanya boleh mengelola sumber daya alam Indonesia tidak lebih dari 35 tahun. Namun dengan UU PMA yang baru ini pihak asing dapat mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia hingga 95-100 tahun lamanya. Itupun belum jelas tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) nya terhadap masyarakat sekitar yang di daerahnya terdapat kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi. Selama ini paling-paling perusahaan hanya mengeluarkan 2% dari CSR dari jumlah keuntungan yang sangat besar, yang diperoleh perusahaan atas eksplorasi dan eksploitasi SDA kita.

Sistem Kontrak Kerjasama antara pemerintah dengan para pengusahaa lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri. Penyelewengan itu terkait masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing. Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas seharusnya menjadi tanggungan masing-masing pengusaha kontraktor migas, malah dibebankan dan menjadi tanggunganpemerintah.

Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun, tetapi produksi dan lifting minyak dalam negeri justru berbalik arah mengalami penurunan. Masalahnya, sejumlah kontraktor cenderung menggelembungkan cost recovey, atau banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya operasional migas tapi dikleimkan ke pemerintah. Beberapa kerugian dari cost recovery yang dikleim ke pemerintah diantaranya ialah, biaya pelatihan ekspatriat, biaya konsultan pajak, biaya merger, biaya-biaya yang terkait dengan pemasaran, pengembangan masyarakat, maupun kegiatan kehumasan.

Carut marutnya masalah cost recovery ini ditenggarai oleh keterlibatan oknum pejabat pemerintah sendiri, yang juga berkolaborasi dengan pemain-pemain asing dan lokal. Dalam hal ini oknum tersebut juga merupakan bagian dari para Kontraktor Kontrak Kerjasama, yang tentunya tak ingin rugi dan hanya mau untung besar. Oleh sebab itu sampai saat ini belum ada tindakan pembenahan di sektor tersebut.

Bobroknya pengelolaan energi nasional seakan diperparah lagi oleh aksi liar penyelundupan Migas ke luar negeri melalui saluran-saluran resmi maupun yang tidak resmi. Ada beberapa pulau terluar Indonesia yang menjadi jalur penyelundupan BBM melalui pipa-pipa yang terpasang di bawahnya, yang disalurkan ke kapal-kapal tanker untuk kemudian di bawa lari ke luar negeri. Tindakan ini bukan tanpa diketahui oleh pemerintah, melainkan secara legal hasil energi tersebut dijual dengan harga yang murah. Sementara hasil keuntungan tidak masuk ke kas negara yang kemudian bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.

Berangkat dari paparan tersebut di atas, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan energi nasional. Energi dikelola secara tidak benar dan asal-asalan. Persoalan energi bukan persoalaan biasa. Melainkan persoalan hidup matinya rakyat ![]

Penulis adalah Intelektual Muda NU,

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) & Central Study 164

(Pemikir masalah-masalah kebangsaan dan politik kebijakan pengelolaan energi nasional)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun