Mohon tunggu...
Abdul Ghopur
Abdul Ghopur Mohon Tunggu... -

Nasionalis-Majemuk (suka bergaul dengan banyak orang dr kalangan apapun kecuali Koruptor & Penindas Rakyat Kecil..)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Kebudayaan dan Nalar Keindonesiaan

8 Januari 2013   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:23 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdul Ghopur

–tak ada penjajahan paling dahsyat di dunia selain penjajahan pikiran. Penjajahan paling fenomenal di abad 21 ini adalah penjajahan kebudayaan. Maka berpikirlah merdeka agar tak terjajah–[Bung Ghopur, 2001]

Apa sich sesungguhnya yang menjadi problem mendasar bangsa post-kolonial dewasa ini seperti Indonesia? Setelah pemilu 2009, kita memang kehadiran drama realis politikus bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan; kalah mengenaskan. Dari rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama kebangkitan kebudayaan dan moral bersih berputar tanpa skenario baru sehingga tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram, menguasai banyak medan pertempuran, tapi kalah telak di akhir perang; banyak di mana-mana, tetapi selalu tak mendapat apa-apa. Dari waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih kalah oleh lupa karena miskin kader dan agenda (kebudayaan). Meninggalkan ingatan untuk menjejer luka-luka baru yang luka lamanya tak tersembuhkan.

Dus, problem bangsa post-kolonial seperti Indonesia ini, kita kehadiran para pemimpin negeri yang berwatak dan bermental kolonial yang suka menajajah bangsanya sendiri. Problem lanjutan dari bangsa post-kolonial adalah dijangkitinya para pememinpin bangsa ini oleh dua virus ganas sekaligus yaitu; virus mitos state dan materialism state. Struktur serta tatanan kenegaraan dibuat sedemikian rupa sehingga menciptakan tatanan kekuasan yang absolut dan menindas. Menindas apa saja yang mengganggu kelanggengan kekuasaan yang lalim tak terkecuali kebudayaan.

Atas beberapa alasan itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus “politik kebudayaan” dalam kerangka strategi kebudayaan dalam bingkai keindonesiaan. Kita harus melihat dengan sangat kritis terhadap negara sekaligus agama yang dalam pergulatannya dengan kebudayaan rakyat cenderung hegemonis. Pergulatan negara dan agama dengan kebudayaan berlangsung tidak seimbang dan subordinatif. Kasus penyelenggaraan Kongres Kebudayaan yang disponsori Departemen Kebudayaan beberapa tahun silam, merupakan contoh paling nyata bagaimana negara mengintervensi kebudayaan. Dengan kongres semacam itu, negara menginginkan lahirnya suatu kebudayaan negara, sesuatu yang tak pernah ada di mana pun! Padahal, kebudayaan selalu lahir dari interaksi antar pribadi atau kelompok sembari menjamin kemerdekaan setiap pesertanya (Gus Dur, 2001). Oleh sebab itu, ia menjadi milik sah suatu masyarakat, bukan milik negara. Oleh karenanya Kongres Kebudayaan seperti selain meniadakan dirinya sendiri (akultural serta ahistoris) juga akan melahirkan kebudayaan semu.

Dalam bahasa Gus Dur, Kebudayaan adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu maupun kelompok. Kebudayaan, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau suatu masyarakat menuju ke arah yang lebih survive. Sebagai representasi dari emansipasi, kebudayaan harus memperoleh ruang terbuka dimana setiap peserta kebudayaan mampu bertindak secara kreatif dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, birokratisasi kebudayaan dengan menyeragamkan derap kehidupan masyarakat hanya akan mengubah kebudayaan ke arah kebalikan dari emansipasi, yakni pembekuan daya cipta masyarakat justru di tengah perubahan besar-besaran.

Dengan demikian keseimbangan kekuatan negara dan masyarakat untuk melahirkan bangsa yang berbudaya mutlak harus diupayakan, dan keseimbangan itu baru tercipta apabila negara telah benar-benar meletakkan tanggungjawab dan wewenang kebudayaan di atas pundak masyarakat sendiri. Pandangan ini mengingatkan kita akan demokrasi yang harus kita rumuskan sebagai keseimbangan negara-masyarakat. Kita tentu masih ingat bagaimana Gus Dur melikuidasi beberapa instansi pemerintahan justru di awal pengangkatannya sebagai presiden. Berkali-kali pula kita mendengar ia bersuara: ”itu kan urusan masyarakat sendiri.” Bahkan ketika menghadapi kenyataan konflik kekerasan di berbagai daerah akhir-akhir ini. Sebuah pertanyaan yang kemudian, ini anehnya, mendapatkan kritik keras sebagai “tidak tegas,” “tidak mampu mengelola konflik” dan sebagainya dari sebagian kalangan elit politik, karena hal itu dianggap cost yang terlalu mahal.

Benarkah bahwa penyerahan sepenuhnya kepada masyarakat itu dimaksudkan hanya untuk menciptakan keseimbangan kekuatan negara-masyarakat? Tidak mungkinkah sekadar berandai-andai, hal itu berkaitan dengan bangunan bangsa kita yang selama ini disusun dengan perekat politik, bukan dengan perekat budaya? Jika pertanyaan yang terakhir ini benar, bisa diduga bahwa, pertanyaan-pertanyaan di atas, kita perlu menwarkan kemungkinan redefinisi dan rekonstruksi keindonesiaan dan kebangsaan kepada masyarakat atas dasar budaya, bukan politik– apalagi ditambah militer!

Terlepas dari itu, desentralisasi kebudayaan mutlak harus diwujudkan. Negara tak lagi boleh mengklaim mempunyai wewenang mengatur kebudayaan, demikian pula agama-agama resmi yang untuk itu biasa mempergunakan otoritas kesuciannya serta kaum terpelajar kota [intelektual] yang suka berbangga akan konstruk-konstruk sepihaknya. Dari sini, terbaca betapakita semua sangat tidak menginginkan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan “berwatak” politik-ideologis dan tidak humanis seperti yang selama ini diupayakan oleh birokrasi, sejumlah kaum agama dan kaum intelektual picisan.

Akhir-akhir ini bergejolak di kalangan muda sebuah pertanyaan kritis, masih berfungsikah imaji kolektif kita sebagai Indonesia? Pertanyaan ini mengemuka karena bertubi-tubi prestasi buruk kita dapatkan di dunia; pemenang lomba korupsi, bangsa penghasil teroris, lamban dalam penanganan bencana alam dan negara tidak aman untuk investasi. Dengan sederet prestasi terburuk tersebut, layakkah kita berbangga menjadi bangsa Indonesia? Tentu saja jawabannya sangat tergantung dari “posisi apa” yang sedang kita jalani. Jika posisi kita adalah TKI atau pengangguran, maka jelas, Indonesia tidaklah berarti apa-apa. Sebaliknya jika posisi kita adalah koruptor, teroris dan pejabat pemerintah, maka jelas, Indonesia adalah negeri sorga.

Sesungguhnya kita tahu bahwa nalar, ego dan semangat keindonesiaan bukanlah sebuah warisan yang ditemukan ataupun datang tiba-tiba. Tidak pula merupakan kesadaran suci dan primordial. Dalam bahasa Edward Said (1994), sejarah manusia (Indonesia) adalah konstruksi ideologis yang didasarkan pada satu kombinasi yang ganjil antara “yang empiris” dan “yang imajinatif.” Yang empiris berupa manusia dan tanah, sedang yang imajinatif adalah pikiran dan cita-cita bersama. Nalar-rasa-karya sebagai bangsa Indonesia dengan demikian adalah hasil dari pergulatan emosional, intelektual dan ideologis yang diciptakan, dibangun, dan diperjuangkan bersama-sama bertahun-tahun. Sebab, sebelum tereja sebagai Indonesia, masyarakat Indonesia lahir dan tumbuh dalam komunitas lokal yang masing-masing memiliki identitas, tradisi, bahasa, ruh dan pemimpin yang berasal dari kalangan mereka. Mereka telah menyejarah sebagai produk budaya yang terkait dengan sistem kekuasaan yang bersifat eksternal maupun internal yang melalui “imaji” dan “empirisnya” berbicara dunia di sekitarnya. Baru setelah kemerdekaan maka daerah tadi dilabeli nama baru dengan tulisan “propinsi/kabupaten” dan diberi “jiwa dan ruh” baru yang bernama “jiwa-ruh keindonesiaan.” Persoalannya, apakah kehadiran jiwa-ruh keindonesiaan itu mengganti jiwa-ruh kedaerahan menjadi kenasionalan (from tribal to nation); apakah terjadi “perkawinan” atau “pelenyapan,” terjadi “pertikaian” yang tak kunjung selesai atau justru roman perkawanan yang harmonis?

Marry with Indonesia

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting sebab, salah satu fungsi dari kebangsaan “Indonesia” adalah untuk membantu kita membangun makna tentang diri; untuk menjelaskan dari mana kita berasal dan mengapa tradisi-tradisi kita begitu istimewa dan khas. Sedang secara politik, sejarah kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945 merupakan administrasi “akad nikah.” Satu perjanjian “suci” antar berbagai gugus menuju persatuan-kesatuan menjadi keluarga besar Indonesia. Dus, peristiwa itu adalah kontrak sosial dalam teori politik modern, dan kontrak historical bloc dalam teori perjuangan antara sosok bernama “negara republik” dengan sosok “putri daerah.”

Pernikahan agung antara republik dan putri daerah menjadi jembatan emas dan antara yang dijadikan pintu gerbang menuju “cita-cita kolektif” antara berbagai gugus yang berbeda. Terciptalah cita-cita substansi sebagaimana tercantum dalam mukadimah UUD’45; melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial.

Karena alasan persamaan senasib sepenanggungan tersebut maka, harta, harapan, cita-cita dan sumber daya yang dimiliki daerah telah diberikan sepenuhnya pada Republik Indonesia. Namun sangat disayangkan, kecintaan dan kesetiaan “putri daerah” tidak memperoleh balasan yang sepadan dari “sosok negara.” Sebaliknya yang terjadi adalah tindakan semena-mena. Kesehatannya tidak diperhatikan, jiwanya disakiti, kekayaan alamnya dikuras, pendidikan diterlantarkan, pendeknya nafkah lahir dan batin tidak dipenuhi sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya, sumpah setia dan kecintaan “putri daerah” pada sosok “negara bangsa” melemah, sakit hati, dan bahkan sebagian melawan dan minta cerai. Negara menjadi uncivil state dan disfungsi bahkan menajam jadi destroyer yang kejam pada pasangan hidupnya.

Lalu timbul pertanyaan, mengapa beragam suku, agama dan etnis yang sedemikian beragam dan tempat tinggal yang terpencar di berbagai pulau rela dan sepakat melebur diri dalam rumahtangga bernama bangsa dan negara Indonesia? Ada dua jawaban. Pertama, adanya agama dan ideologi yang dianut rakyat. Agama dan ideologi inilah yang menjelaskan pentingnya upaya mentransendenkan ego demi rasa yang lebih “agung.” Agama dan ideologi menjelaskan adanya “ego-rasa” kepemilikan sekaligus kejuangan mahluk hidup untuk memperolehnya; kemerdekaan, keadilan, keamanan, kebebasan dan kesejahteraan. Satu imaji yang dapat digapai dengan cara berbagi dalam bhineka tunggal ika dan subsidi silang. Kedua, adanya stimulasi dari luar berupa penjajahan (imperialism). Musuh luar ini telah berperan menjadi kekuatan pendorong bagi menguatnya rasa senasib sependeritaan sehingga melahirkan sebuah solidaritas untuk melawan (fight against) kekuatan asing yang pada urutannya mengantarkan lahirnya sebuah identitasbangsa bernama Indonesia.

Indonesia dengan demikian adalah sebuah lokus yang di dalamnya terdapat kekayaan nalar, ego, tradisi, budaya, sistim nilai, cita-cita luhur kemanusiaan, moralitas keagamaan, dan naluri sosial untuk membentuk sebuah negara bangsa yang di dalamnya kita semua bisa tumbuh dan tinggal secara nyaman dan beradab. Pertumbuhan inilah yang secara sosial-antropologis kita sepakati sebagai “kontrak sosial” dan “komitmen politik” untuk bersama-sama membangun, memiliki dan menjaga “rumah Indonesia” agar gagah, martabatif serta menjadi subyek yang ikut serta menjaga ketertiban dunia.

Indonesia adalah konsepsi kultural dan politik

Sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah “konsepsi kultural” tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari warisan teritoral jajahan Belanda.Sedangnegara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.

Persoalannya kemudian mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi Mei 98? Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena; Pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balikwarga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa “aman.” Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif. Kedua, kita belum siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, apa yang disebut Mohammad Hatta sebagai, “panitia kesejahteraan rakyat.”[]

Penulis adalah Intelektual Muda NU,

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) & Central Study 164

(Pemerhati masalah-masalah Sosial, Politik, Budaya & PolitikKebijakan Energi Nasional)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun