Sekitar dua Minggu yang lalu tepatnya malam Kamis, 22-08 -2019. saya dan beberapa Kawan-kawan mahasiswa yang berjuang bersama masyarakat Haltim, berdiskusi untuk menentukan sikap pasti untuk tetap berjuang bersama masyarakat WASILE yang berada di kabupaten Halmahera Timur. Pertemuan itu kami awali dengan Nobar film Chiko Mendes, Seorang lelaki petani karet asal Brazil yang memperjuangan Tanah dan hutan dari Para pengusaha yang datang menebang pohon-pohon disana.
Singkat cerita kami akhirnya melanjutkan dengan diskusi mengenai "Perampasan Ruang Hidup dan Pemerintah WASILE pro Perusahan" saya sebagai putra daerah begitu sangat prihatin dengan kondisi yang menimpah masyarakat wasile ketika salah satu kawan kami yang sempat di diploit kewasile menjelaskan Kronologi dari peristiwa pembabatan hutan disana yang sudah sangat besar dan menggila.
Kawan kami yang biasa disapa Armas menguraikan segala informasi yang ditemukan selama berada di tanah wasile mulai dari cekcoknya pemerintah kecamatan dengan masyarakat, pemerintah desa dengan masyarakat dan masyarat desa yang satu dengan yang lainnya. Parahnya lagi ada beberapa oknum pemerintah yang seharusnya mengawal agenda keumatan ini bergabung dan bersahabat dengan orang perusahan.
Kami berdiskusi hampir dua jam lebih karna sebagian anak-anak tidak ikut serta dalam diskusi yang telah kami agendakan walaupun kami sudah memasukan surat kepada organisasi-organisasi mahasiswa Maluku Utara di kota manado tapi tetap saja tidak ada yang mau bergerak.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kehadiran sebuah perusahan disalah satu kabupaten,propinsi dan kota tentu akan memiliki dampak besar terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Kabupaten Halmahera timur sejak pertama kali melepaskan diri dari halteng dan Tidore pada tahun 2003 membuat banyak lirikan dari perusahan Asing maupun luar negri karna memiliki hasil kekakyaan yang amat sangat melimpa.
Pada tahun 2015 sebuah perusahan kayu masuk dan melakukan pertemuan dengan masyarakat wasile,perusahan itu bergerak di bindang pengelolaan kayu nomor satu dan dua untuk diekpor atau dijual diluar negri, tak ayal banyak masyarakat yang datang untuk melamar setelah mendapatkan ijin tuk beroprasi ditanah wasile, sayangnya masyarakat yang sangat tertinggal dan tak memiliki landasan pendidikan mengiyakan hal itu tanpa berfikir dampak apa yang akan mereka terima nantinya jika perusahan tersebut telah aktif. Pembabatan hutan dimana-mana sesuai hasil kesepakatan lahan dengan warga yang berkisar antara 30.000 hektar lebih.Â
Ketika awal beroperasi pada tahun 2017 bulan November adalah juga sebagai langka awal masyarakat mulai terancam untuk mendapatkan akses air bersih, pembabatan hutan yang besar membuat air tercemar melalui air sungai di sekitaran desa di halaitator kecamatan wasile.
Sampai hari ini perusahan masih terus beroprasi dengan menebang pohon setiap hari, sehingga warga mulai resah dengan keberadaan perusahan, karna air minum dari kali atau sungai besar lolobata yang mengalir hingga kedesa hatetabako,nyaoulako, kakarino ,puso dan silalayang dan biasa di manfaatkan iarnya untuk mencuci ,memasak dan bertani akan segera tercemar cepat atau lambat.
Karna alat berat yang biasa melintasi kali fis yang berada di desa halaitator sering beroprasi, kini air yang berada dihalaitatorpun ikut berubah warna menjadi coklat, dan kemerahan. Hal ini mungkin dikarenakan akibat dari pembabatan hutan yang sudah terlalu luas dan besar. Padahal menurut beberapa warga sekitar kali Fis memilih air yang sangat jernih dan dingin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H