Artikel ini dikutip dari Ustadz Abu Bassam Oemar Mita
Kualitas diri kita akan dinilai baik ketika kita mampu mengubah sesuatu yang negatif menjadi sebuah kebaikan di dalam kehidupan, tanpa perlu menyalahkan keadaan di sekitar kita.
Allah berfirman" Bukankah kami telah memlapangkan dadamu (Muhammad)?" (QS. Al-Insyirah:1) jadi, Allah ingin kita mengubah setiap keburukan menjadi kekuatan di dalam kehidupan kita. Supaya kita selalu berprasangka baik kepada apapun yang kita terima.
Kita bisa belajar dari kisah Imam Ibnu Hazim, beliau merupakan seorang yang menjadi ulama di usia yang tidak lagi muda. Beliau yang lahir di Cordoba dan tinggal bersama keluarga pejabat, karena ayahnya merupakan salah satu menteri pada khilafahan saat itu. Diceritakan bahwa di umur 25 tahun beliau belum bisa melaksanakan dengan benar. Maka ada satu peristiwa yang akhirnya mengubah jalur kehidupan beliau. Saat menunggu waktu untuk menshalati jenazah kerabat ayahnya yang meninggal dunia pada waktu sebelum duduk. Kemudian ada orang yang mengomentari bahwa beliau bodoh karena tidak melaksanakan sholat tahiyatul masjid.
Imam ibnu hazim pun bertanya kepada gurunya tentang sholat tahiyatul masjid, dan gurunya punmenjelaskan dengan sabar. Akhirnya beliau berdiri untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid setelah itu jenazah datang, dishalatkan, dan diantar ke perkuburan, Imam Ibnu Hazim pun ikut dalam prosesi pemakaman. Maka setekah pengukuran pada waktu setelah ashar, beliau ingin melaksanankan sholat ashar. Ketika masuk masjid dan akan melakukan sholat tahiyatul masjid, ada orang berkomentar bahwa tidak ada sholat tahiyatul masjid setelah ashar menurut fiqih yang dianut mereka.
Imam Ibnu Hazim pun bingung dan berfikir keras, akhirnya beliau memutuskan untuk belajar fiqih dan syari'at yang selama ini tidak beliau pelajari dengan sungguh-sungguh. Dari situlah Imam Ibnu Hazim mampu menjadi seorang ulama yang madzabnya cukup banyak tersebar di muka bumi ini.Â
Sebelum menjadi seorang ulama, beliau memilikikekuatan besar untuk mengubah setiap perasaan negatif menjadi sesuatu yang positif, maka inilah yang dinamakan filterisasi pemikiran. Â Sehingga kualitas kehidupan Imam ibnu Hazim menjadi semakin baik hingga beliau bisa menjadi seorang ulama besar.
Banyak diantara kita yang belum punya filterisasi untuk menyaring ucapan, sehingga masih rawan terombang-ambing  dengan ucapan orang lain. Padahal diri kita tidak bisa memaksa orang lain untuk terus berprasangka baik atau buruk kepada kita setiap waktu. Sejatinya kehidupan kita tidak akan bisa lepas dari prasangka. Tapi kita harus memperhatikan kemampuan filterisasi untuk memngubah setiap prasangka menjadi kebaikan dalam kehidupan. Karena kita berhak menentukan value diri kita berdasarkan apa yang kita yakini, bukan berdasarkan perkataan orang lain. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, seperti filterisasi pada kehidupan, jangan memaksakan apa yang tidak bisa kita lakukan seperti mengontrol ucapan dan prasangka orang lain.
Tanyakan kembali pada diri kita masing-masing, "Apakah selama ini kita telah menerapkan filterisasi pada hati dan pikiran kita?" Jika sudah, maka bersyukurlah kepada Allah, karena tidak ada lagi yang membuat kita bersedih dan bersombong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H