Mohon tunggu...
12 farra naqa althea
12 farra naqa althea Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa FKM Unair 2024

Sangat suka berorganisasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sedentary Lifestyle pada Remaja

29 Agustus 2024   20:46 Diperbarui: 29 Agustus 2024   20:46 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

"Sedentary Lifestyle Pada Remaja"
I. ABSTRAK
Gaya hidup sedentari, yang ditandai dengan aktivitas fisik yang minimal dan waktu lama yang dihabiskan untuk duduk atau berbaring, semakin menjadi perhatian utama dalam kesehatan masyarakat, terutama di kalangan remaja. Penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup ini dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental remaja.
Ii. PENDAHULUAN
Gaya hidup sedentari, yang merujuk pada aktivitas minimal dan waktu lama yang dihabiskan dalam posisi duduk atau berbaring, semakin menjadi isu penting dalam kesehatan masyarakat global, khususnya di kalangan remaja. Di era digital saat ini, remaja sering kali menghabiskan waktu mereka dengan aktivitas yang memerlukan sedikit atau tidak ada gerakan fisik, seperti menggunakan perangkat elektronik, menonton televisi, dan bermain video game. Perubahan pola hidup ini berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental mereka.
Penelitian menunjukkan bahwa waktu duduk yang berlebihan dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk obesitas, gangguan metabolik, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Selain itu, gaya hidup sedentari juga berhubungan dengan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi. Kurangnya aktivitas fisik dapat mengganggu keseimbangan energi dan memperburuk kualitas tidur, yang merupakan faktor penting dalam kesejahteraan umum remaja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup sedentari pada remaja meliputi aksesibilitas teknologi, pola makan yang tidak sehat, serta kurangnya dorongan atau kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik terstruktur. Terlebih lagi, lingkungan sosial dan budaya, seperti norma sosial yang mendukung penggunaan perangkat elektronik atau kurangnya fasilitas untuk olahraga, turut berperan dalam membentuk kebiasaan ini.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak dari gaya hidup sedentari serta faktor-faktor yang mempengaruhinya guna mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kesehatan remaja. Artikel ini akan mengeksplorasi pengaruh gaya hidup sedentari pada kesehatan fisik dan mental remaja, serta memberikan rekomendasi untuk intervensi yang dapat membantu mengatasi masalah ini.
III. KAJIAN LITERATUR
1. Remaja
Remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini memiliki arti luas yang mencakup kematangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Masa remaja dengan jelas menunjukkan sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak (Putri, Nurwati & Budiarti, 2016)
2.Tahap dan perkembangan remaja Berdasarkan proses penyesuaian menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja menurut Soetjiningsih (2010, dalam Firdaus, 2018), yaitu :
a) Remaja awal (early adolescent) usia 12-15 tahunPada tahap ini akan terjadi perubahan pada tubuh remaja dan disertai pengembangan pikiran-pikiran baru, sehingga cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Dengan hanya sentuhan pada bahu oleh lawan jenis, ia sudah akan berfantasi otak.
b) Remaja madya (middle adolescent) usia 15-18 tahunPada tahap ini remaja membutuhkan teman-teman, ia akan senang bila banyak teman yang mengakuinya Terdapat kecenderungan mencintai dirinya sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama pada dirinya, juga ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih mana yang peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealitas atau materialis, dan sebagainya.
c) Remaja akhir (late adolescent) usia 18-21 tahun Tahap ini adalah tahap dimana masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yakni
1.Minat makin yang akan mantap terhadap fungsi intelek
2 Egonya akan mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
3.Terbentuknya identitas seksual yang tidak berubah lagi
4.Egosentrisme (terlalu mencari perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan dan kepentingan diri sendiri dengan orang lain

3.Sedentary Lifestyle Kata sedentary berasal dari Bahasa latin “sedere” yang artinya “duduk” (Mandriyarini, 2016). Sedentary lifestylemerupakan gaya hidup dengan kurang aktivitas fisik di mana orang menghabiskan banyak waktu berbaring, duduk, membaca, menonton televisi, bermain mobile phone, melakukan sedikit atau tidak berolahraga (Desmawati, 2019). Seseorang dengan sedentary lifestyle lebih banyak mengabaikan aktivitas fisik atau melakukan kegiatan yang tidak membutuhkan banyak energi. Hal tersebut kini terlihat lebih banyak orang duduk di depan televisi dan komputer (Mar’ah, 2017)

4.Klasifikasi Sedentary Lifestyle
a) Sedentary lifestyle rendah
Tingkat sedentary lifestyle rendah yaitu perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama kurang dari 2 jam (Fajanah, 2018). Dilaporkan bahwa seseorang dengan aktivitas harian paling sedikit, dan menggantikan waktu duduk 30 menit dengan aktivitas ringan akan mengurangi risiko kematian sebesar 14%. Sedangkan bila digantikan dengan aktivitas fisik sedang hingga berat akan mengurangi risiko kematian sebesar 45%. Departemen Kesehatan Pemerintah Australia merekomendasikan untuk anak-anak usia 5-17 tahun, perilaku menetap di depan layar untuk hiburan (sedentary lifestyle) harus dibatasi hingga 2 jam sehari dan mereka disarankan untuk terlibat dalam interaksi serta pengalaman sosial yang positif (Park et al., 2020).
b) Sedentary lifestyle sedang
Pada tingkat ini, perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama 2-5 jam (Fajanah, 2018). Seseorang yang menonton televisi selama 4 jam sehari memiliki risiko kematian 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menonton televisi selama <2  jam sehari (Park et al., 2020).
c) Sedentary lifestyle tinggi
Perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama lebih dari 5 jam (Fajanah, 2018). Seseorang yang menonton televisi selama 6 jam sehari memiliki risiko kematian 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menonton televisi <2 jam sehari (Park et al., 2020). Selain itu,remaja dengan sedentary lifestyle lebih dari 6 jam per hari memiliki risiko 2,27 kali untuk mengalami hipertensi obesitik (Oematan & Oematan, 2021).

5.Perilaku Sedentary Lifestyle
Beberapa perilaku sedentary yang pada umumnya dilakukan oleh remaja adalah sebagai berikut (Amini, 2016).
a) Menonton televisi
Menonton televisi yang dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring memiliki nilai energi expenditure 1.0 METs. Energi expenditure akan semakin rendah apabila waktu yang digunakan untuk menonton televisi semakin lama. Menonton televisi juga akan berpengaruh pada perilaku makan yang akhirnya memicu terjadinya obesitas. Hubungan tersebut berkaitan dengan adanya  makanan dan minuman yang dikonsumsi selama menonton televisi. Menonton televisi yang diikuti dengan makan (snack) akan menunda rasa kenyang dan sinyal rasa kenyang berkurang, sehingga menyebabkan tingginya asupan makan selama menonton televisi. Pada umumnya, jenis makanan yang dikonsumsi remaja saat menonton televisi adalah makanan yang tinggi kalori, tinggi kolesterol, dan rendah serat. Perilaku tersebut terkombinasi dengan rendahnya energy expenditure saat menonton televisi yang akan menyebabkan obesitas.
b) Penggunaan kendaraan sebagai alat transportasi ke sekolahPenggunaan kendaraan untuk berangkat ke sekolah berasosiasi dengan tinggi rendahnya energi yang dikeluarkan. Berjalan atau mengayuh sepeda merupakan aktivitas fisik yang dapat dilakukan saat pergi sekolah. Saat ini remaja sudah difasilitasi alat transportasi, baik transportasi umum maupun pribadi. Penggunaan alat transportasi berasosiasi dengan rendahnya energy expenditure dan berkontribusi pada terjadinya obesitas (Amini, 2016). Dalam artikel Indonesia Sport Nutritionist Association menyebutkan bahwa seseorang yang menaik bus atau mobil memiliki energi expenditure sebesar 1.0 METs (Fajar, 2018).
c) Bermain video game
Tingginya Indeks Massa Tubuh dan rendahnya aktivitas fisik berhubungan
dengan bermain video game, karena membutuhkan pergerakan tubuh yang sangat minim. Bermain video game seringkali hanya membutuhkan gerakan satu tangan, kondisi itu mendukung remaja untuk makan camilan dan bermain game berbarengan. Pada umumnya waktu yang digunakan untuk bermain game tidak sebentar, lamanya waktu bermain game berasosiasi dengan lamanya waktu duduk dan dapat berpengaruh pada jumlah camilan yang masuk, yang mengakibatkan obesitas. Suatu penelitian mengungkapkan jika bermain video game sebagai pengganti aktivitas fisik, maka risiko obesitas akan meningkat, ditambah bila digunakan untuk menonton televisi atau beristirahat, akan mempengaruhi energi expenditure.d) Penggunaan internetKini handphone dan komputer sudah tidak asing di semua kalangan terutama remaja, serta saat ini mudah ditemukan tempat-tempat yang menyediakan jaringan internet yang dimana remaja lebih leluasa untuk berselancar di internet, berkomunikasi melalui media sosial, dan sebagainya. Remaja tidak bisa lepas dari gadget-nya, seperti halnya saat menunggu angkutan umum di halte mereka sibuk berselancar di internet dengan gadgetmasing-masing. Penggunaan internet itulah mempengaruhi rendahnya energi expenditure karena pada umumnya penggunaan internet dilakukan tanpa menggerakkan anggota tubuh selain jari. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa
penggunaan internet berhubungan dengan rendahnya aktivitas fisik (Zach & Lissitsa,
2016)
6. Faktor yang Mempengaruhi
Sedentary Lifestyle
a) Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan tentang sedentary lifestyle dan dampak yang
ditimbulkannya akan menyebabkan seseorang melakukan sedentary lifestyle
tanpa disadari (Huntington, 2019).
b) Sikap
Sikap merupakan tahap awal seseorang untuk melakukan sedentary lifestyle,
biasanya diawali dengan berbagai pengalaman, pendapat, atau prinsip.
Sehingga seseorang memilih untuk melakukan sedentary lifestyle atau
melakukan aktivitas yang aktif (Wardana, 2020).
c) Hobi atau kesenangan
Hobi seseorang berbeda-beda, mulai dari hobi yang membuat seseorang aktif
bergerak hingga hobi yang membuat seseorang tidak aktif bergerak. Hobi
seperti bermain game, menonton televisi, berbaring, duduk, bermain social media,
merupakan hobi yang berisiko untuk seseorang melakukan aktivitas yang
menetap lama (sedentary lifestyle) (Fajanah, 2018).
d) Jenis kelamin
Jenis kelamin menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku sedentary
lifestyle karena selama masa anak-anak hingga masa remaja perilaku sedentary
lifestyle meningkat. Selama masa kanak-kanak dan masa peralihan menjadi
remaja, umumnya baik perempuan ataupun laki-laki lebih banyak melakukan
kegiatan di depan televisi (menonton) dan penggunaan komputer, namun pada laki-
laki remaja biasanya menghabiskan waktulebih banyak dibandingkan perempuan
terutama dalam hal bermain game (Inyang & Stella, dalam Mar’ah, 2017). Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa dikalangan laki-laki lebih banyak
menggunakan waktunya untuk bermain game atau menonton video dibandingkan
dengan perempuan (Fajanah, 2018).Secara genetik, laki-laki lebih rentan
menjadi pecandu game dibandingkan dengan perempuan. Dalam penelitian Sun
Yewen (Dalam Febriansyah, 2018) menunjukan bahwa terdapat perubahan
fungsi otak di gyrus frontal superior pada laki-laki yang dimana gyrus frontal
merupakan area lobus yang mengendalikan kesadaran dan impuls.
Sedangkan pada perempuan pecandu game tidak menunjukan perubahan fungsi
otak apa pun (Febriansyah, 2018).
e) Fasilitas atau kemudahan
Fasilitas kemudahan di era revolusi industri 4.0 sudah ditunjang oleh
teknologi yang memudahkan seseorang untuk melakukan pekerjaan, misalnya
dalam transaksi jual beli. Transaksi jual beli saat ini dapat dilakukan secara online,
termasuk kebutuhan pokok serta gedung instansi sudah banyak menggunakan lift
sehingga membuat seseorang menjadi malas bergerak (sedentary lifestyle)
(Wardana, 2020). Adanya kemajuan teknologi yang semakin canggih,
menyebabkan kurangnya kegiatan yang dilakukan secara manual, yang
menjadikan aktivitas fisik remaja berkurang dan meningkatkan sedentary
lifestyle (Inyang & Stella, dalam Mar’ah, 2017).
f) Transportasi
Transportasi merupakan alat yang digunakan seseorang untuk bepergian ke
suatu tempat tujuan dengan menggunakan benda seperti, sepeda motor, mobil, bus,
kereta, pesawat, dan kendaraan lainnya. Untuk penggunaan alat transportasi
biasanya digunakan untuk menempuh jarak yang jauh, namun dengan semakin
maraknya alat transportasi, untuk menempuh jarak yang dekat seseorang
cenderung memilih menggunakan alat transportasi. Hal tersebut menyebabkan
seseorang melakukan sedentary lifestyle (Fajanah, 2018)
g) Pendapatan orang tua
Pendapatan orang tua berpengaruh terhadap sedentary lifestyle pada remaja.
Status sosial ekonomi yang tinggi
cenderung melakukan sedentary lifestyle karena memiliki banyak fasilitas seperti
televisi di rumah dan di dalam kamar. Adanya televisi di dalam kamar membuat
seseorang melakukan sedentary lifestyle (Fajanah, 2018). Saat berakhir pekan,
rata-rata anak menghabiskan waktu 4-5 jam untuk melakukan sedentary lifestyle
seperti duduk atau berbaring untuk menonton televisi, bermain game,
membaca, dan lain sebagainya. Semakin baik status sosial ekonomi suatu keluarga,
maka akan semakin mudah mendapatkan fasilitas-fasilitas yang mendorong
peningkatan sedentary lifestyle (Inyang & Stella, dalam Mar’ah, 2017).
h) Sosial geografis
Tempat tinggal dengan wilayah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) memiliki
perbedaan dari segi fasilitas dan kemudahan dimana hal itu berkontribusi
dalam sedentary lifestyle. Tempat tinggal dapat memainkan peran utama dalam
gaya hidup remaja. Remaja yang tinggal di daerah rural kurang terpapar dengan
sedentary lifestyle, karena remaja pedesaan lebih memilih waktu luangnya
untuk melakukan aktivitas fisik daripada dengan remaja di daerah perkotaan
(Wardana, 2020). Selain faktor-faktor di atas, menurut the
Mexican Ministry of Health, faktor yang mempengaruhi sedentary lifestyle
diantaranya kurangnya area hijau, sedikit
waktu luang, lalu lintas kendaraan dan polusi, serta perubahan teknologi seperti
penggunaan video game, lebih lama di depan TV atau computer (CE Noticias
Financieras, 2021).

7. Dampak Sedentary Lifestyle
Seseorang yang kurang gerak (sedentary lifestyle) akan mengalami perubahan
dalam metabolisme, tubuh mengalami kesulitan memetabolisme lemak dan gula
yang menyebabkannya masuk ke sistem kekebalan tubuh, memiliki sirkulasi darah
yang buruk, mengobarkan tubuh dan mengembangkan ketidakseimbangan
hormon. Sedentary lifestyle menyebabkan risiko kesehatan yang signifikan dan
merupakan faktor kunci dalam perkembangan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, osteoporosis, dan kanker (CE Noticias Financieras,
2021). Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa dampak fisik pada
kesehatan akibat sedentary lifestyle pada remaja, yaitu

a) Obesitas
Obesitas merupakan ketidakseimbangan antara asupan energi (energy intake)
dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu yang lama,
yang berakhir dengan penumpukan lemak berlebih (WHO dalam P2PTM Kemenkes
RI, 2018). Obesitas, terjadi karena jumlah konsumsi kalori lebih tinggi dibandingkan
dengan pengeluaran kebutuhan energi. Obesitas berhubungan dengan lemak di
dalam tubuh yang dibutuhkan untuk menyimpan energi sebagai penyekat
panas, penyerap guncangan, dan lain-lain.
Wanita lebih banyak memiliki lemak di dalam tubuh dibandingkan dengan pria
(Fajanah, 2018). Social Health Security(EsHealth) memperingatkan bahwa
sedentary lifestyle masa kanak-kanak di masa pandemi akan meningkatkan risiko
kelebihan berat badan atau obesitas yang mengarah pada tekanan darah tinggi dan
masalah kesehatan lainnya (CE Noticias Financieras, 2020). Medline Plus juga
mengatakan, sedentary lifestyle memiliki konsekuensi yang serius seperti kalori
yang terbakar lebih sedikit, sehingga lebih mungkin untuk menambah berat badan
(CE Noticias Financieras, 2021). Jumlah kalori yang diserap melalui makanan,
aktivitas fisik, dan metabolisme tubuh akan mempengaruhi pada pemeliharan
berat badan (Fajanah, 2018). Hasil penelitian menyarankan sedentary
lifestyle pada remaja tidak akan membuat kegemukan apabila remaja melakukan
aktifitas fisik (Mann et al., 2017). Dalam penelitian Al Rahmad (2019),
menyebutkan bahwa sedentary lifestyle mempunyai risiko sebesar 4,6 kali
terhadap kejadian obesitas.

b) Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia dan
gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein serta kekurangan sekresi
insulin (diabetes tipe 1) atau resistensi insulin (diabetes tipe 2). Gejalanya berupa
polidipsi, poliuria, polifagia, penurunan berat badan dan kesemutan (Fajanah,
2018). Kondisi yang menyebabkan obesitas diantaranya, kelebihan berat
badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurangnya aktivitas fisik dan
olahraga, serta faktor genetik (Wardana, 2020). Sedentary lifestyle memiliki
kontribusi penting dalam terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2.
Seseorang dengan sedentary lifestyleseperti membaca, duduk, menonton
televisi dapat meningkatkan pola makan dan berat badan yang dapat menyebabkan
diabetes melitus, karena tubuh akan kelebihan energi yang dimana seharusnya
energi diubah menjadi glikogen. Ketika otot tidak bekerja, kelebihan energi akan
diubah menjadi lemak, kemudian disimpan di rongga perut menjadi lemak
fiseral, selanjutnya kelebihan lemak tubuh dapat menyebabkan peradangan yang
memicu resistensi insulin. Insulin yang bermasalah menyebabkan tubuh tidak
dapat mengolah glukosa, sehingga terjadi peningkatan glukosa dalam darah di atas
rata-rata. Hal tersebut membuat pankreas rentan mengalami kerusakan karena
semakin cepat kerja pankreas untuk memproduksi insulin agar kadar gula
darah seimbang yang akhirnya menyebabkan diabetes (Wardana, 2020).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bertoglia et al. (2017), pada populasi di
Chile menunjukkan bahwa sedentary lifestyle menjadi faktor risiko (54%)
diabetes melitus tipe 2, dan pada laki-laki yang berperilaku sedentary lifestyle
memiliki peluang lebih besar mengalami
diabetes melitus tipe 2.

c) Hiperkolesterolemia (Kolesterol tinggi
dalam darah)
Hiperkolesterolemia merupakan keadaan dimana tubuh mengalami kelebihan
kolesterol di dalam darah, dikatakan tidak normal apabila jumlah kolesterol
mencapai 200mg/dl atau lebih. Kolesterol berfungsi untuk mensintesis beberapa zat-
zat metabolic yang memiliki peranan seperti air empedu dan beberapa hormon.
Hepar dapat menghasilkan kolesterol yang dibawa oleh lipoprotein melalui
darah berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Kolesterol dapat mengendap
pada dinding pembuluh darah arteri, yang dimana hal tersebut merupakan penyebab
terjadinya stroke dan serangan jantung. Penyebab terjadinya hiperkolesterolemia
adalah banyaknya konsumsi makanan yang berlemak, kurang aktivitas fisik,
stress, terlalu banyak makan (Irianto, 2018 dalam Wardana, 2020). Seseorang
dengan sedentary lifestyle akan meningkatkan kadar kolesterol di dalam
tubuh. Pembentukan energi berupa Adenosin TriPhosphate (ATP) pada
makanan yang dikonsumsi terjadi ketika seseorang melakukan aktivitas fisik
Fajanah, 2018). Sebagian makanan yang dikonsumsi dapat diubah secara langsung
menjadi Adenosin TriPhosphate (ATP) dan sebagian disimpan dalam bentuk
kolesterol. Seseorang yang rutin melakukan aktivitas fisik, maka
kebutuhan Adenosin TriPhosphate (ATP) semakin banyak dan mengakibatkan
sedikitnya pembentukan kolesterol jenuh dan kolesterol jahat atau Low Denaity
Lipoprotein (LDL) dan meningkatnya kolesterol baik atau High Denaity
Lipoprotein (HDL). Sebaliknya bila seseorang melakukan sedentary lifestyle,
akan menyebabkan kolesterol tubuh meningkat (Wardana, 2020).

d) Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan diasloik
lebih dari 90 mmHg pada waktu 2 kali pengukuran dengan jeda waktu 5 menit
dalam keadaan tenang dan istirahat yang cukup. Tekanan darah mengalami
peningkatan dalam jangka waktu yang
lama (persisten) akan menyebabkan kerusakan ginjal (gagal ginjal), penyakit
jantung, dan stroke (Kemenkes RI, 2014 dalam Wardana, 2020). Sedentary
lifestyle merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. Apabila seseorang
melakukan aktivitas fisik secara rutin, maka akan dapat menurunkan tahanan
perifer yang dimana hal tersebut menurunkan tekanan darah. Remaja
dengan sedentary lifestyle yang tinggi (>6
jam/hari) akan berisiko 2,27 kali mengalami hipertensi obesitik (Oematan
& Oematan, 2021).

e) Osteoporosis dan penyakit
muskuloskeletal
Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh berkurangnya massa
tulang dan kerusakan mikroarsitektur tulang yang menyebabkan tulang menjadi
rapuh dan meningkatkan risiko cedera atau patah tulang (Hamijoyo, 2021).
Faktor terjadinya osteoporosis dibagi
menjadi faktor yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor yang dapat
diubah adalah kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, kurang gizi, kurang
aktivitas dan olahraga, jatuh berulang, sedangkan faktor yang tidak dapat diubah
adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, menopause, penggunaan obat
kortikosteroid, dan rheumatoid arthritis (Wardana, 2020). Akibat dari
osteoporosis adalah timbulnya rasa nyeri, berubahnya bentuk tubuh, dan
kemampuan fisik berkurang (Fajanah, 2018). Sedentary lifestyle berkaitan
dengan defisiensi vitamin B dan D yang dapat menyebabkan seseorang mengalami
osteoporosis. Vitamin D berfungsi sebagai sarana pembentukan tulang yang
dimana vitamin tersebut didapat salah satunya dari sinar ultraviolet (Wardana,
2020). Sedentary lifestyle >10 jam sehari berpengaruh terhadap nyeri lutut kronis
dan wanita dengan melakukan >10 jam waktu sedentari yang dibarengi aktivitas
tinggi akan sangat memungkinkan mengalami nyeri lutut kronis (Park et al., 2020).

f) Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah penyakit degeneratif yang disebabkan karena
penyumbatan pada pembuluh darah arteri oleh lipid yang mengakibatkan kekakuan
pada vena dan peredaran darah terganggu,
sehingga aliran darah ke jantung terhambat, kerja jantung mengalami
gangguan, aliran darah ke seluruh tubuh berkurang yang akhirnya oksigen di
dalam tubuh berkurang dan dapat menyebabkan terjadinya henti jantung
secara tiba-tiba. Penyebab terjadinya penyakit jantung koroner adalah
hipertensi, diabetes melitus, stress, pola
makan, gaya hidup, fraksi lemak (TG,HDL, LDL), kurangnya aktivitas fisik dan
olahraga, riwayat penyakit jantung, obesitas, dan kebiasaan merokok (Irianto,
2018 dalam Wardana, 2020). Sedentary lifestyle merupakan faktor
risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Otot kerja jantung menurun saat
seseorang berperilaku sedentari yang dimana hal tersebut mengakibatkan
penyakit jantung koroner (Fajanah, 2018).
Dalam penelitian Yurni (2018)menyebutkan bahwa risiko
cardiovaskular disease (CVD) akan meningkat sebesar 1.68 kali ketika duduk
terlalu lama, juga saat menatap layar monitor terlalu lama meningkatkan risiko
CVD sebesar 2.25 kali, yang dimana perilaku tersebut termasuk sedentary
lifestyle.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun