Mohon tunggu...
RD. KEDUM
RD. KEDUM Mohon Tunggu... profesional -

Lahir dengan nama RD.Kedum, aktif di bidang seni-Teater, menulis cerpen, puisi, artikel, naskah drama, dan bahan ajar. Mengasuh sanggar seni KOASIS, Pengurus sanggar Seni KISLIRA, Ketua Forum Guru Bahasa Kota Lubuklinggau,Penasehat di FLP Lubuklinggau, Bersma Benny Arnas (penulis Nasional, Ferry Irawan AM, menggagas Forum Apresiasi Karya sastra kota Lubuklinggau.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan dalam Puisi Kedum

31 Agustus 2012   06:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SURATSAJAK UNTUK TUAN

(Cintaku Jauh di Pulau)

Selembar hati yang terdampar pagi ini

Kubiarkan kering merangggas sendiri

sebab telah terlalu lecah

untuk berdiri tegak menantang mentari yang baru tinggi

Selembar hati yang terdampar pagi ini

Kubiarkan kuyup dalam tangis

Sebab terlalu pahit tuk sekedar mengecap

Sebait cinta lindap yang datang merapat

Menjaring mimpi

pupus dan kembali pupus

Melesap di terik mentari yang mulai naik

“Aku tahu, ada yang meragu menyelinap diam di dadamu

tentang satu langkah getir yang bertengger pada hadirku”

Duhai Tuan,

untuk apa kau memburuku?

lalu kau bidik dengan sapa rindumu

mengusik tapaku yang bertahun bermenung di rimba hari?

kau memang tak pernah tahu

jika dalam bingkai hatiku

kuhias dikau dengan permata paling indah tanpa noda?

Saat aku terhentak gembira,

Menelisik derap langkah yang pernah kita jaga,

kau bungkam aku dengan kamuflase derai ombakmu.

Ingin aku berteriak;

pada angin,

langit,

gunung,

bukit, dan lembah

“Oiii…untuk apa kepak sayap yang kau kembangkan sejenak di hadapanku? Sementara tak kau beri aku kesempatan untuk sejenak saja berteduh…

Oiiii …untuk apa kau jelang aku, sebelum ku terjaga dan menyadari kenyataan hari ini. kau rentang laut, selat dan samudra, agar aku mejauh…dan tetap bersenda diam, gila dengan rasa, dan tak perlu bicara”

Ah…dalam setengah jaga kumaknai tapak dengan hitungan jari;

Angin darat di bulan Mei belum berganti

Masih kukuh getar itu mengguncang bumi dadaku, kala sebait namamu menyeretku jauh

Jauh sekali hingga ke pangkal waktu

Tak pernah lekang meski berhujan dan berpanas hingga dua dasa terlewati dengan diam

merapal rautmu yang tak teraut

pada akhirnya kutemukan di bingkai jendela

dan engku ada!!

Duhai Tuan,

Kau belai aku agar terus bermimpi;

Menjadikanmu sumur inspirasi,

tentang sepaut hati kanak yang tumbuh di tengah semak

merekah di petang hari?

sementara aku

ingin menggenggam jemarimuyang tak tergenggam

Memelukmu yang tak terpeluk

Tuan, jangan kau gores luka

Kau terlalu indah untuk kubalur dengan noda

Tetaplah dengan putihmu yang paling putih

“Meski kau datang sekedar mengetuk pintuku untuk berkabar jika kau tetap ada? Atau sekedar menyapa pada tingkap yang tak sempat kita buka? Atau sekedar berkabar jika kau telah bahagia pada pilihan hatimu, tempat kau berlabuh, menggarap sawah, dan melahirkan anak-anakmu..? atau iseng sekedar singgah agar aku terbakar api cemburu? Atau seperti kabarmu siang itu, agar aku tak berdiri di bibir curam, dan memaksaku menoleh ke belakang,memaknai dawai ombak yang menipu?”

Utuk apa aku kau jelang?

Aku tak pernah menafsirkan ombak sebagai penipu,

Kecuali buih yang menjilat dan lesap..

Ombak tetaplah gemuruh yang terus kuharap bernyanyi

Membawa angin dari pusar hatimu..

Oh tahulah aku Tuan,

Angin buritan tak pernah memberi hawa pasti

tak ada isarat jika kan datang badai malam, siang, atau petang hari

Tuan,

Meski kau usap dadaku dengan madu

Manis berdecap;

…duhai kasih,meski jauh,

aku selalu ada di sampingmu, mendampingimu,

dan kan selalu menyayangmu sepanjang waktu…

Menjadi untaian kata menghias langit

tak ubah seperti sejuta balau

membiarkan aku terkurung dalam sakit

Tuan,

Jangan kau tikamkan luka

tetaplah kau yang terindah

‘tukku sejenak berlabuh manjah

Atau berikan aku waktu

tuk maknai sebait perjalanan pagi ini

sebab jangankan berharap

sekedar bermimpi pun aku sudah tak berani

/Lubuklinggau, 30 Mei 2012

*berikan aku waktu untuk terjaga dari kantuk dan mimpiku, hingga aku sadar pada kesadaran yang benar sadar. Lalu kubiarkan engkau melenggang membawa kemenangan. Jangan lupa lemparkan secuil lambaian untukku sebagai salam perpisahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun