Indonesia terlahir sebagai negara agraris dan memiliki beberapa keuntungan salah satunya adalah tata letak wilayah yang persis terletak pada garis katulistiwa dan memiliki iklim tropis dengan dua musim, sehingga berbagai jenis tanaman dapat dengan mudah di budidayakan di Indonesia, selain itu berbagai jenis ternakpun akan sangat mudah dikembangbiakan karena cukupnya ketersediaan makanan ternak. Selain letak geografis, masyarakat Indonesia sejak dulu sebagian besar memilih usaha tani sebagai mata pencaharian utamanya.
Meskipun sumber daya alam sangat mendukung dan mata pencaharian masyarakatnya adalah bertani, namun Indonesia hingga saat ini masih belum mampu memakmurkan dan mensejahterakan penduduknya. Bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan kedaulatan pangan bagi seluruh rakyatnya, padahal jika dilihat dari segi pendukungnya, Indonesia sudah mampu menjadi negara yang mampu memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi pangan secara mandiri, namun hal ini belum dapat terwujud dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Kendala Produksi Pangan
Wujud kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat kita lihat dari sejauhmana tingkat kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya, sehingga dapat disebut sebagai negara yang berdaulat dalam sektor pangan. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mewujudkan sebuah kedaulatan pangan bagi sebuah negara, karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik dari dalam negeri itu sendiri maupun luar negeri.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan kedaulatan pangan serta ketahanan pangan yaitu faktor produksi karena ketersediaan produksi pangan yang cukup bagi seluruh rakyat merupakan syarat mutlak pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Petani Indonesia belum mampu memberikan hasil produksi pertanian secara maksimal karena beberapa sebab diantaranya hama tanaman, ketersediaan benih unggulan, ketersediaan kebutuhan pertanian seperti pupuk dan obat obatan, ketersediaan air irigasi yang cukup.
Sebagai contoh, petani padi di daerah Jawa kurang bergairah dalam meningkatkan hasil produksi pertanian terutama beras, hal ini terjadi karena ketika bercocok tanam, padi pada usia 30 hari (setelah mengalami pembiakan tunas) berubah warna menjadi merah kemudian menjadi kuning dan amblas, penyebab utamanya adalah hama ulat yang berada di dalam tubuh padi muda. Berbagai langkah untuk mengatasi hama ulat ini kerap dilakukan petani, namun tindakan yang dilakukan masih bersifat manual, seperti pengeringan lahan beberapa waktu kemudian diolah kembali dengan harapan tanaman berikutnya akan lebih baik. Namun, kenyataan yang dialami petani adalah mengalami hal serupa seperti pada periode tanaman sebelumnya.
Masalah yang dihadapi petani selain hama ulat yang belum terselesaikan ternyata permasalahan lain penyebab menurunnya gairah petani dalam meningkatkan produksi pangan yaitu benih varietas unggulan yang sesuai dengan lokasi tanam dari tanaman padi, hal ini penting karena untuk satu jenis benih unggulan tidak akan diperoleh hasil yang sama jika ditanam pada lahan yang berbeda, hal ini disebabkan unsur hara dalam tanah berbeda beda. Sebagai contoh, untuk jenis padi IR 64 hasilnya akan berbeda jika ditanam di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selain, jenis benih yang tidak disesuaikan dengan kondisi lahan ternyata harga benih unggulan terhitung mahal, sehingga petani enggan membeli benih unggulan melainkan membuat benih sendiri yang berasal dari hasil panen sebelumnya.
Masalah berikutnya yang selalu muncul adalah kurangnya ketersediaan pupuk dan obat obatan, kelangkaan pupuk menjadi indikasi naiknya harga pupuk di tingkat petani dan hal ini dimanfaatkan oleh pelaku bisnis. Keterbatasan jenis obat obatan yang diperlukan dalam bercocok tanam dan harganya mahal serta jenis hama yang sulit dibasmi dengan obat yang ada membuat petani semakin berkurang semangat meningkatkan hasil produksi beras. Selain masalah keterbatasan persediaan pupuk dan obat obatan, masalah lain yang dihadapi petani terutama pada musim kemarau yaitu kurangnya ketersediaan air irigasi yang cukup.
Permasalahan air irigasi muncul karena perilaku petani dan kondisi musim yang mempengaruhi sehingga ketersediaan air kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sejatinya, air secara alami akan tersedia sepanjang tahun yang membedakan adalah kuantitasnya, dimana pada musim penghujan jumlah air akan sangat melimpah karena selain air dari dalam tanah, volume air di tambah dari hujan, sedangkan pada musim kemarau,intensitas hujan berkurang sehingga air hanya berasal dari air dalam tanah. Jika dalam pengunaan air irigasi pada musim kemarau, perilaku petani dalam mengiri lahan/sawah mengikuti hukum gravitasi, maka lahan/sawah akan terairi secara merata, namun jika petani saling berebut memperoleh air, maka yang terjadi adalah hilangnya air sebelum lahan terairi.
Begitu pelik dan berliku permasalahan yang dialami petani dan akan lebih kurang bergairah lagi ketika panen tiba harga gabah yang dihasilkan tidak sesuai dengan total dana yang dikeluarkan, hal inilah yang menjadi salah satu pemicu petani lebih memilih untuk urbanisasi. Dengan bekerja di kota, petani tidak terbebani oleh berbagai masalah pertanian yang ujung ujungnya kurang menguntungkan dari segi pendapatan. Beralih menjadi pekerja dikota menyebabkan pola piker orang berubah, apalagi dengan adanya impor beras murah mengakibatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap impor beras.
Ketergantungan terhadap beras impor inilah yang ahirnya merubah konsep agriculture menjadi agribusiness, sehingga bukan kemakmuran dan kemerataan pangan bagi rakyat Indonesia melainkan usaha mencari keuntungan sebesar besarnya yang dilakukan oleh pelaku bisnis. Rasa ketergantungan ini tidak lepas dari kebiasaan orang Indonesia yang berprinsip “belum makan kalau belum makan nasi”, hal inilah yang ahirnya memaksa Negara harus mampu memenuhi kebutuhan beras bagi rakyatnya. Jika prinsip ini mulai dikikis dan beralih ke jenis makanan pengganti nasi mungkin beban Negara akan berkurang.
Kedaulatan Pangan
Jika melihat kondisi yang terjadi pada petani dalam meningkatkan produksi pangan semakin kurang bergairah, maka cita cita Jokowi - JK mewujudkan kedaulatan pangan akan sangat berat, kecuali jika Jokowi – JK berani mengambil langkah perubahan bagi dunia pertanian Indonesia. Beberapa langkah awal yang mungkin bisa diambil dalam kepemimpinan Jokowi – JK untuk dunia pertanian antara lain;
Pertama, meningkatkan sistem budidaya ekofarming yang ramah lingkungan dan terintegrasi dengan kearifan lokal pada msing masing daerah di Indonesia, dengan kata lain pemerintah mendatang harus bisa melibatkan ilmuwan ilmuwan muda bidang pertanian untuk menggali permasalahan yang terjadi dibidang pertanian dan kondisi lokasi setempat serta member solusi masalah yang ditemukan. Ilmuwan ilmuwan ini bertugas meneliti untuk menciptakan benih jenis varietas unggulan sesuai lokasi bercocok tanam dengan memperhatikan unsur hara, derajat keasaman tanah pada daerah yang berbeda, sehingga hasil yang akan diperoleh hanya mengalami kegagalan dengan prosentasi sangat kecil dan petani tidak mengalami kerugian besar, sehingga animo petani semakin besemangat dalam mengolah lahannya.
Selain benih unggulan, ilmuwan ilmuwan ini juga meneliti tentang jenis hama yang menyerang tanaman padi, sehingga akan bekerjasama dengan produsen obat obatan pertanian untuk menciptakan jenis obat baru yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan jenis hama yang menyerang tanaman. Selain obat obatan, ilmuwan ilmuwan ini juga harus mampu menciptakan jenis pupuk baru yang sesuai dengan karakter serta kondisi tanah, sehingga kesuburan tanah akan tetap terjaga.
Kedua, ketegasan pemerintah dalam distribusi pupuk. Untuk masalah kebijakan distribusi pupuk, langkah yang mungkin ditempuh adalah petani harus mampu mengkalkulasi kebutuhan pupuk untuk kebutuhan tanamnya per hektare selama satu tahun, sehingga ketika akan mulai stok pupuk telah tersedia. Kemampuan mengkalkulasi ini akan sangat efektif untuk mengantisipasi tingginya pembelian pupuk, artinya seorang petani harus faham akan kebutuhan pupuk untuk lahan per hektare. Kebiasaan petani rata rata membeli pupuk adalah ketika tanaman padi mulai bertunas (usia padi 50 hari), hal inilah yang mengakibatkan petani saling berebut. Oleh karena itu, tindakan nyata yang perlu dilakukan pemerintah mendatang adalah mengetahui jumlah total lahan tanam, total produksi pupuk yang dihasilkan untuk satu tahun masa tanam, jumlah total petani dan luas lahan yang digarap sehingga pemerintah akan bisa mengendalikan penggunaan pupuk untuk setiap petani, selain itu menghindari tindakan penimbunan pupuk yang dilakukan oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk distribusi pupuk, pemerintah harus fokus pada satu lembaga formal yang ditunjuk oleh negara, misalnya KUD.
Penunjukan lemabaga formal ini harus terintegrasi dan selalu dipantau, karena dalam prakteknya ada beberapa pelaku bisnis yang menggunakan kesempatan ini, sehingga ketika petani hendak membeli pupuk di KUD, stok pupuk telah habis terjual sehingga memaksa petani membeli pupuk pada tengkulak dengan harga sedikit mahal.
Ketiga, alternatif solusi masalah irigasi. Keterlibatan ilmuwan ilmuwan muda sangat bagus untuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global secara berkelanjutan, sehingga akan menciptakan sebuah ekosistem “hulu – hilir” di wilayah daerah aliran sungai (DAS) sampai ke pesisir laut dangkal. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan volume air, sehingga air tidak hanya di buang langsung ke sungai jika lahan selesai di airi. Metode ini bisa dilakukan dengan membuat system irigasi genangan dengan metode mengikuti hokum air yaitu sesuai gaya gravitasi, sehingga akan tercipta sebuah genangan yang tersusun seperti rantai ekosistem yang berkesinambungan dari daerah daratan tinggi (pegunungan) hingga daerah pesisir laut dangkal.
Keempat, perubahan paradigm piker akan ketergantungan pada beras, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa prinsip belum makan kalao belum makan nasi ini sudah mendarah daging pada rakyat Indonesia, saat ini, orang yang peduli akan cara mengurangi konsumsi nasi masih sedikit itupun karena alasan takut gemuk atau demi kesehatan. Namun, untuk sebagian besar penduduk Indonesia masih berfikir bahwa nasi adalah sumber utama untuk makan.
Kenyataan inilah yang harus perlu disikapi oleh pemerintah mendatang dengan cara sosialisasi pola konsumsi yang tepat bagi masyarakat dengan beragam sumber pangannya, sehingga tidak terfokus pada beras serta bahan bakunya mudah diakses secara lokal. Hasil pertanian lahan kebun beragam, mulai dari ubi jalar, ubi kayu dan berbagai umbi umbian serta beraneka ragam sayur sayuran, namun, masyarakat belum melihat hal tersebut sebagai hal yang pokok. Jika sosialisasi ini secara intens dan dengan pendekatan demi kemakmuran rakyat, kemungkinan berhasil akan besar. Kebiasaan masyarakat mengolah makanan yang berasal dari non beras menjadi makanan jajanan harus mulai dirubah menjadi olahan makanan pokok sehingga secara perlahan masyarakat akan berfikir ternyata makanan pokok bukan hanya beras, hal ini perlu karena masyarakat sebagian besar beranggapan jika sudah berhadapan dengan jajanan, maka akan berfikir bukan sebuah kebutuhan pokok bagi hidupnya.
Jika pola pikir masyarakat tentang makanan pokok tidak harus tergantung pada beras, maka secara berlahan namun pasti mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi jumlah beras yang berbanding lurus dengan populasi, sehingga dapat memperkecil ketergantungan terhadap impor beras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H