Budaya Rasa Malu
Budaya rasa malu pada hakikatnya menghendaki setiap manusia menjadi pribadi yang memiliki perasaaan akan malu terhadap sesuatu yang tidak layak. Tidak layak disini bisa dalam berbagai bentuk, misalnya seperti tidak layak dalam berbicara, tidak layak dalam prilaku, tidak layak dalam perbuatan dan sebagainya. Budaya rasa malu yang lebih dikenal dengan shame culture di dunia barat sana sebenarnya harus dijaga dalam tata pergaulan masyarakat, namun yang menjadi pertanyaan apakah kemudian budaya rasa malu itu benar-benar dijaga? Untuk menjawab hal ini perlu melihat kepada tata pergaulan masyarakat sekarang. Jika tolak ukur rasa malu tersebut hanya dilihat pada layak atau tidak cara berpakaian seseorang, jelas masyarakat Indonesia masih memiliki budaya rasa malu. Tentu saja hal ini pun masih dapat diperdebatkan dengan fenomena fashion anak muda jaman sekarang yang memuja eksplorasi tubuh, tapi setidak-tidaknya jika patokannya adalah Negara-negara lain seperti di Eropa atau beberapa Negara di Asia jelas cara berpakaian orang Indonesia terasa lebih sopan sehingga tepat kiranya dikatakan layak.
Bagaimana jika tolak ukur budaya rasa malu itu adalah layak dalam berbuat atau berprilaku? Pertanyaan ini sungguh harus dijawab dengan memutar otak, mencari contoh orang-orang yang berbuat layak atau baik mungkin cukup mudah, namun mencari contoh orang-orang yang berprilaku tidak baik akan menjadi hal yang lebih mudah lagi. Lihat saja fenomena yang berkembang sekarang di Indonesia betapa banyaknya pemimpin-pemimpin yang melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji, para koruptor misalnya beserta para orang yang menjadi garda terdepan dalam membela para koruptor, profesi-profesi yang dianggap suci yang kemudian ternoda karena tidak sanggup menahan godaan tahta, harta dan wanita, atau praktik jual beli kasus diantara para penegak hukum. Melihat kepada hal-hal tersebut yang tentu saja diberitakan hampir setiap hari di media bahkan menjadi headline tidak salah kiranya jika pertanyaan di awal tadi digantikan, pertanyaannya bukan lagi apakah budaya rasa malu benar-benar dijaga? Menjadi apakah budaya rasa malu itu ada? Pada masyarakat sekarang ini, yang bergerak secara dinamis yang mana berbanding lurus dengan tergerusnya rasa malu.
Tentu tidak adil jika dikatakan semua masyarakat tidak memiliki budaya rasa malu, pada masyarakat menengah ke bawah budaya rasa malu masih tergolong tinggi, walau jelas masih ada kekurangan disana-sini, elemen budaya rasa malu masih dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari misalnya saja seseorang yang memberikan tempat duduknya kepada orang tua atau ibu hamil di dalam kendaraan umum yang penuh juga sesak atau dari hal yang paling kecil adalah memungut sampah yang ditemui di jalan yang dilalui. Hal-hal seperti ini menandakan bahwa masih ada orang-orang yang merasa kurang layak jika ia mengambil hak orang lain, atau kurang layak jika berlaku apatis terhadap lingkungan sekitar yang pada akhirnya bukan hanya berdampak pada diri sendiri namun pada orang banyak.
Apakah hal-hal ini cukup lumrah ditemui pada kalangan atas yang menguasai perekonomian Indonesia? Lebih dari 50 % kekayaan Indonesia hanya dikuasi oleh 1 % orang-orang terkaya Indonesia. Dengan angka-angka yang begitu besar yang beredar diantara kalangan-kalangan “borjuis” Indonesia, cukup sulit untuk melihat budaya rasa malu. Alat-alat produksi yang dikuasai mau tak mau membuat para golongan tak berdaya menggantungkan diri kepada golongan-golongan atas. Lalu apa hubungan nya dengan budaya rasa malu? Tentu saja hal ini menurunkan tolak ukur rasa malu, seharusnya para “borjuis” bukan hanya memikirkan kantong dan dirinya sendiri namun memberikan setidak-tidaknya peluang untuk para golongan-golongan lemah dapat lepas dari keadaan mereka yang setiap hari stagnan (berjalan di tempat). Lihat saja para koruptor yang memakan uang rakyat, seorang yang jelas-jelas memakan uang rakyat nya sendiri, uang dari rakyat biasa sampai yang mempunyai predikat “terhormat” yang membuat tak habis pikir adalah bagaimana mungkin seseorang dengan label seorang koruptor melemparkan senyum merekah dengan melambai-lambaikan tangan di depan kamera. Bahkan status tersangka tak melunturkan senyum di wajah mereka, dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi akan keluar kata-kata pembelaan yang suci yang dilontarkan orang yang tak suci “saya di fitnah”, “saya berani sumpah kalau saya korupsi saya akan…….”, atau kata-kata diplomatis semacam “kita tunggu saja putusan pengadilan” atau mungkin karena tak ada cara lain terpaksa menyeret para konco-konconya.
Jika dibandingkan dengan Negara lain yang menjadi bagian dari Benua Asia, di Jepang, Cina atau Korsel hal yang dibandingkan bahkan dapat digantikan dengan hal lain yang lebih kecil. Daripada membandingkan bagaimana cara bersikap seseorang yang terlibat korupsi atau pidana lain, lebih baik membandingkan bagaimana pejabat-pejabat yang berkuasa di Negara tersebut “hanya” sekedar lalai dalam melaksanakan tugasnya yang terkadang di luar kendali dirinya. Lihat saja bagaimana seorang Menteri di Jepang menundukkan kepala selama 20 menit yang diliput secara langsung dan disiarkan ke seluruh penjuru negeri Sakura hanya karena pemadaman listrik, jika standarnya diturunkan lagi dapat dilihat bagaimana seorang masinis kereta api menundukkan kepala meminta maaf ke setiap penumpang dalam kereta listrik ekspress yang terlambat “satu menit” dari jadwal tiba seharusnya, di tingkat pemimpin Negara dapat dilihat kepada orang-orang seperti Jose Mujica seorang yang pernah menjadi Presiden Uruguay yang terkenal dengan cap Presiden termiskin di dunia yang kehidupannya sungguh kurang lebih sama dengan rakyatnya dan seorang Mahmud Ahmadinejad yang jangankan berpakaian necis yang gonta-ganti tiap acara dan menebar wangi semerbak dari parfum yang luar biasa mahalnya, jas yang dipakai pun bahkan mungkin akan dipakai untuk tiga hari kedepan.