Dia tidak menyimpan suka, Atau sebuah duka untuk melupakan hidup sejenak dari kekhawatiran. Jika dia tidak punya keduanya, Dia tidak pernah khawatir, Yang kukhwatirkan adalah dia tak peduli pada bintang-bintang (siapa yang peduli), pada banyaknya pohon yang tertebang (memangnya menteri kehutanan yah?? :p), atau pada perasaanku saja. Aku banyak dilupakan, Oleh retorika dan romansa pengabaian. Hari ini tak ada jadwal kuliah, yang seharusnya kami mengikuti English Training. Tapi jurusan sedang mengadakan inisiasi mahasiswa baru diSibolangit dan aku harus tinggal dirumah untuk beberapa hari. Kuliah ditiadakan. Dari bangun aku merencanakan untuk mengerjakan tugas asas manajemenku yang tak ku mengerti (tak ada yang mengerti), tapi yang kulakukan hanya berdiam diri ditempat tidur tanpa melakukan apapun. Dengan segelas teh hangat dan roti gandum kumulai kegiatanku menghabistandaskan film Patch Adam. Memakan waktu 2jam kurang. Yang kulanjut dengan memeriksa akun facebook-ku yang tak ada apa-apanya. Mengagumi foto sendiri, melihat profil oranglain dan mencari sebuah nama. Waktu semakin larut kurasa. Tapi tak kudapati aku mengerjakan atau membahas sedikit mengenai asas manajemenku. Tugas yang krusial dengan nilai yang waw-was. Aku tak berniat mengerjakannya. Lalu untuk apa aku sekolah sampai sejauh ini? Semua terasa berat. Lalu kenapa tiba-tiba aku mengeluh? Ada bara, tersimpan dalam waktu yang aku sendiri juga belum tahu kapan api itu muncul dan membakar seluruh kehidupanku. Lalu, apa aku siap dengan semua itu? Entahlah, aku bahkan tak ingin terlihat memikirkannya. Hhmmm...... aku ingin membaca pikiran, aku ingin membaca pikiranku sendiri yang berantakan. Aku ingin tahu apa yang ia rencanakan untuk bertahan sebentar saja dari paksaan waktu. Atau aku hanya ingin lebih bercanda pada kesempatan yang tak juga tersenyum padaku. Tapi yang kupunya hanya salju-salju kering dihatiku. Semua terlihat berguguran dan kering. Ini perjalanan mencari jati diri yang melelahkan. Menunggu. Menunggu. Menunggu dengan tidak pasti. Aku tidak suka dengan perasaan menunggu. Aku tidak membencinya. Untuk apa manusia berdoa? Aku menanyakan ini pada beberapa temanku, dan mereka bilang berdoa adalah jembatan antara pribadi dengan hatinya, berdoa adalah berdamai dengan keadaan, berdoa adalah cara mensugesti diri untuk lebih menyabarkan atau menanyakan sesuatu, berdoa ajang curhat untuk segala sesuatu, berdoa itu berbicara dengan Tuhan. Aku tentu tidak lupa bagaimana caranya berdoa. Tapi aku jarang melakukannya lagi sekarang. Semenjak aku masuk perguruan tinggi, Aku tidak lagi berbicara dengan diriku sendiri, tidak berbicara dengan alam, tidak berdamai dengan keadaan, lebih mensugesti diri dengan cara lain untuk lebih memahami bahwa manusia bukan mahluk penepat janji atau manusia tidak baik secara utuh, aku lebih sering curhat pada media massa dan tehnologi atau kertas dan aku tidak lagi berbicara pada Tuhan. Apa aku melupakanNya? Atau Dia tak sadar bahwa Dia meninggalkanku jauh dibelakang diperjalanan kehidupan kami. Atau Dia menungguku disuatu tempat untuk kembali mengatakan bahwa aku bisa melewati tanpaNya. Berdomisili dikota tentu lebih menantang dan sama jemunya dengan hidup ditempat aku lahir. Disini semua tampak berlebihan. Berlebihan cara hidupnya, berlebihan cara bersosialisasinya, berlebihan kebosanannya. Karena terlalu berebihan, tak jarang aku lupa hakikat kedatanganku sendiri dikota ini. Aku lupa pada orang-orang yang dulu selalu ada disampingku, aku lupa bahwa aku memiliki keterbatasan yang menggariskan batas padaku tentang siapa aku jika berada dilingkungan dan situasi yang menuntutku bertindak berlebihan, aku lupa pada mamak yang tentu selalu mengingatku dan membayangkan-ku membaca buku dan menyelesaikan sekolah sementara aku hanya berganti tempat berleha dari rumah disana kesini. Jika aku kemudian mengingatnya, maka tiba-tiba saja aku ingin hilang ditelan bumi. Itu bukan dosa terbesar, atau bukan hanya aku saja satu-satunya mahluk bergelar "mahasiswa" yang lupa pada jati diri sendiri. Sungguh menyedihkan, karena aku pun tak punya tujuan kemana aku harus melangkah setelah ini. Elsa Sariska Manik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H