Mohon tunggu...
Mirza Gemilang Gemilang
Mirza Gemilang Gemilang Mohon Tunggu... -

Berteman dengan pena dan kertas..

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bangun Industri Pertahanan Sesuai Kondisi Geografis Kita

20 Februari 2014   23:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

[caption id="attachment_313060" align="alignnone" width="640" caption="Kapal Selam TNI AL KRI Cakra 401"][/caption] Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau dan 6000 di antaranya tidak berpenghuni tetap.Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan dua rangkaian gunung berapi aktif (ring of fire) dan terdapat puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia.

Melihat kondisi tersebut, maka dalam membangun sistem pertahanan haruslah memperhitungkan bentuk geografi Indonesia. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan dan diantara sepertiganya adalah kumpulan daratan.Dengan luas 5 juta kilometer persegi dengan panjang pantai lebih dari 81.000 km2, Indonesia merupakan suatu area yang sangat luas dan besar sekali, dan bila ditarik garis ke utara, maka wilayah teritorial Indonesia hampir sama dengan garis yang ditarik dari Inggris sampai Rusia.

Dengan luas seperti itu kita harus memiliki kemampuan atau kekuatan yang cukup besar, apalagi Indonesia berada dipersimpangan jalan yang menghubungkan antara benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika. Indonesia juga berada dipersimpangan jalur pelayaran internasional dalam perdagangan dunia yang sangat vital dimana ada sembilan chuck point didunia ini, dimana lima chuck point itu ada di Indonesia, sehingga betapa strategisnya negara kita.

“Indonesia juga harus mampu mengelola Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, bila tak mampu mengelolanya, maka akan dikelola negara lain.Kalau kita tidak bisa apa-apa maka kita cuma bisa gigit jari,” ujar Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Laksamana TNI (Purn) Sumardjono.

Mantan Kepala Staf Angkatan Laut periode 2007-2008 ini mengatakan, Indonesia memerlukan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) yang mumpuni untuk melaksanakan pengamanan wilayah tersebut. Dalam pertahanan negara ada empat komponen pokok yang harus diperhatikan, yakni bagaimana doktrin dibuat, bagaimana strukturnya dibuat, bagaimana strateginya, dan bagaimana posturnya.

Namun dalam perkembangan teknologi keempat komponen tersebut bisa dipengaruhi oleh teknologi.Pada jaman kerajaan era 1800an, masih berperang menggunakan pedang dan tameng. Setelah ada perkembangan teknologi hal itu secara perlahan ditinggalkan.Amerika dalam membangun wilayah pertahanannya jauh diluar batas wilayahnya.Mereka menempatkan pasukan darat, laut dan udara diseluruh dunia.Dengan digunakannya teknologi satelit maka dunia itu bisa dilihat dengan sekali zoom, saat peristiwa terjadi. Dengan teknologi satelit, AS mengurangi penempatan pasukannya didunia, hanya beberapa negara saja pasukan AS ditempatkan.

Pasukan yang ditarik itu,digantikan dengan kontrol satelit. Amerika bisa meningkatkan doktrin, strategi dan mengurangi postur dan anggaran pengerahan armada dan pasukan.Artinya perkembangan teknologi sangat berpengaruh terhadap pertahanan suatu negara.

Bagaimana dengan negara kita? Selama ini kita membeli alutsista dari luar negeri yang sangat rawan akan embargo dan perubahan politik.Manakala kita mampu memproduksi sendiri, maka akan ada efisiensi biaya.Bila Indonesia mampu merebut teknologi itu sebagai pemasok postur pertahanan,maka kemampuan itulah yang akan diperhitungkan oleh negara-negara lain. Bila ada negara yang memiliki kemampuan memproduksi sendiri alutsistanya, maka negara tersebut akan mampu membuat peta politik dunia. Dalam perang dingin hanya ada dua blok, Rusia dan Amerika Serikat.Kedua negara inilah yang mampu menguasai teknologi pertahanan, yang belakangan disusul negara China, India, dan Brazil.

Tanpa teknologi pertahanan yang kuat China tak mungkin ingin menguasai Laut China Selatan. Karena China memiliki kemampuan pertahanan yang mumpuni, maka negara itu berani mengklaim Laut China Selatan adalah miliknya, sedangkan negara lain silahkan melakukan protes. Negara India, perkembangan teknologinya cukup bagus dan mereka sudah berani mengatakan bahwa mulai dari Laut Sekutra India sampai Laut Australia itu adalah Laut India dan India-lah pemiliknya.

Bagaimana dengan Indonesia? Negara kita jelas bukan negara agresor, namun kita perlu juga memperkuat pertahanan dan alutsista kita dan sudah waktunya Industri Pertahanan kita dipertahankan dan dikembangkan.

Menurut Staf Ahli Bidang Kerjasama dan Hubungan Kelembagaan KKIP, Silmy Karim, saat ini PT PAL ikut dalam penyertaan modal negara sebesar US $ 250 juta tahun 2014 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka mewujudkan kemandirian Industri Pertahanan.

Kapal selam yang dibangun Indonesia memiliki daya gentar yang cukup signifikan dan Indonesia perlu untuk melakukan penguasaan teknologi kapal selam itu. Indonesia membutuhkan 12 kapal selam dari dua kapal selam yang ada saat ini. Kemudian, pesawat tempur generasi 4,5 KFX/IFX hasil kerjasama Indonesia-Korea Selatan sudah dilakukan riset, desain, sampai pembangunan prototipe yang dilanjutkan dengan produksi.

Dalam pembangunan pesawat tempur itu Indonesia ikut 20 persen dari 100 persen yang diambil Korea Selatan.Korea Selatan melanjutkan program tersebut dengan Indonesia setelah sempat terhenti karena ada perubahan politik dinegara ginseng itu.

Selain kapal selam dan jet tempur, ada juga rudal.Indonesia sudah melakukan kerjasama dengan salah satu negara yang bersedia memberikan transfer of technology (ToT).Kemudian medium tank, yang harus bisa menjawab karakteristik wilayah Indonesia, dimana karakteristik itu merupakan bagian dari proses rancang bangun dan juga kemampuan.

Pandangan di medium tank, akan dikembangkan dengan bobot yang relatif lebih ringan tapi mempunyai kemampuan daya hancur yang siginifikan. Lalu panser amfibi, dengan adanya wilayah perairan Indonesia yang lebih besar dari wilayah daratan, maka pengembangan dari panser amfibi merupakan salah satu perhatian KKIP.

Selanjutnya, propellant yang merupakan bahan baku dari amunisi atau roket juga rudal, saat ini sedangdalam proses penjajakan dengan suatu negara yang mana dalam waktu dekat akan ditandatangani. Perjanjiannya sudah ditingkat Bisnis to Bisnis (B to B) yang kemudian Government to Government (G to G). Informasi terakhir negara tersebut sudah menyetujui untuk bekerjasama dalam pembangunan industri propellant di Indonesia.

“Sekarang sedang proses, kita tidak mau lagi, ketika B to B nya jalan pemerintahnya tidak mendukung,” ujar Silmy, di Kantor Kemhan, 19 Februari.

Selanjutnya adalah tentang enam pesawat tanpa awak (UAV) yang menjadi tulang punggung dalam percaturan industri pertahanan juga akan melengkapi alutsista TNI.Untuk tahun ini, fokus dari KKIP dalam rangka mewujudkan kemandirian sesuai Undang-Undang No 16 Tahun 2012 yakni kapal selam, propellant, pesawat tempur KFX/IFX, medium tank, rudal, radar dan alat komunikasi. Itupun belum bisa menghasilkan dalam waktu dekat, seperti KFX/IFX yang membutuhkan waktu sepuluh tahun.Untuk kapal selam, PT PAL akan mulai memproduksi pada Januari 2015 dan akan menghasilkan kapal selam produksi Indonesia pada 2018.

KKIP yang semula berdasarkan Perpres No 42 tahun 2010 dipimpin oleh Ketua KKIP yakni Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, maka dengan UU No 16 Tahun 2012 Ketua KKIP dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan Ketua Harian Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Ketua Tim Pelaksana Laksamana TNI (Purn) Sumardjono. Keanggotaan KKIP terdiri dari Kementerian Pertahanan,Kementerian Perindustrian,Kementerian Perdagangan,Kementerian Ristek, Panglima TNI,Kapolri,Kementerian Negara BUMN,Kementerian Keuangan, Kementerian Luar negari, Kementerian Kominfo, dan Bapennas.

“Jadi UU yang baru (UU No 16 Tahun 2012) ada sembilan menteri, Panglima TNI plus Kapolri, yang semula hanya ada empat menteri,” kata Silmy.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun