"Perdebatan yang tidak menghasilakan kesimpulan", inilah kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi antara Dosen Terbang (DT) dan Mahasiswa Terikat. Bagaimana bisa, seorang dosen yang memiliki kapasitas pemikiran lebih luas dan lebih matang di bandingkan Mahasiswa, pelajar atau masyarakat di luar sana, dengan semena-mena mempertahankan egonya. Dengan alasan memiliki tempat mengajar yang jaraknya cukup berjauhan, kemudian hal ini menjadi dasar untuk memindahkan jam mengajar, mengulur waktu mengajar, datang terlambat dan pulang cepat. Sedangkan Mahasiswa, yang mana tidak hanya menghabiskan waktunya demi menunggu sang raja dan ratu penyalur ilmu yang tak kunjung datang, harus rela menahan diri dan mengorbankan egonya.
Sungguh hal ini merupakan perdebatan batin antara Dosen dan Mahasiswa yang secara turun temurun telah berlanjut. Dosen yang seharusnya menjadi panutan kedisiplinan mahasiswa, kini justru menjadi motifasi untuk bermalas-malasan. Tanpa disadari, salah satu penyebap berkurangnya motifasi mahasiswa dalam mendalami ilmu yang di salurkan oleh Dosen adalah kurangnya disiplin waktu dosen yang bersangkutan.
Ini merupakan musibah bagi masyarakat pada umumnya, pelajar dan mahasiswa pada khususnya. Dengan harapan bahwa anak mereka sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, para orang tua wali mahasiswa rela mengorbankan materi, tenaga serta waktu mereka untuk memenuhi kebutuhan anakanya. Berapapun biaya untuk bisa menguliahkan anak mereka, mereka akan berusaha untuk menutupi biaya itu. Namun apa yang telah Mahasiswa terima hari ini. Menunggu Dosen yang akan mengajar.
Telah sering kita temukan dosen yang tidak memperdulikan pengorbanan orang tua wali mahasiswa serta pengorbanan mahasiswa itu sendiri. Sekalipun alasan-alasan yang di kemukakan sangat logis, akan tetapi tidaklah adil jikalau kemudian mahasiswa menjadi sasaran kepentingan pribadi Dosen. Beberapa alasan Dosen yang menjadi dasar untuk tidak menepati waktu, misalnyamengajar di 2 kampus, di tambah lagi jarak ke-2 kampus tersebut yang cukup lumayan jauh, sehingga waktu dosen tersita di perjalanan. Belum lagi rasa lelah dan letih dikarenakan perjalanan yang bisa mengakibatkan Mood mengajar telah berkurang.
Pada akhirnya, sambil menunggu kedatangan dosen, mahasiswa berpikir "kita masuk atau tidak, ini sudah lewat 10 menit. Coba suruh ketu tingkat untuk menelpon dosennya, biar jelas masuk atau tidak. Kalau tidak jadi masuk kita pulang saja." Karna tidak ada pemberitahuan dari dosen yang bersangkutan mahasiswa menunggu dosen dengan percuma. Bila hal ini dibiarkan terjadi dalam kurun waktu 2 atau 3 minggu saja, maka motifasi mahasiswa untuk datang ke kampus akan semakin berkurang. Beberapa Mahasiswa akan lebih cenderung menghabiskan waktunya untuk mencari biaya hidup, yang lainnya pun akan lebih cenderung pula untuk nongkrong.
Lebih tepatnya, mahasiswa akan memaklumi kesibukan Dosen. Namun disisi lain apakah dosen bisa memaklumi kesibukan mahasiswa. Dua perdebatan batin yang tak kunjung menghasilkan kesimpulan. Hal ini dikarenakan tidak adanya komunikasi yang berunsur orang tua dan anak diantara Dosen dan Mahasiswa. Dosen dengan cueknya datang dan pulang tanpa memperhatikan keluhan-keluhan Mahasiswanya. Sementara Mahasiswa dengan rasa malas tahunya juga datang dan pulang tanpa memperhatiakan kesibukan Dosennya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H