Mohon tunggu...
Harsya Adya Rafani
Harsya Adya Rafani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontroversi Kenaikan PPN 12%: Penolakan Masyarakat dan Pelajaran dari Pengalaman Internasional

27 Desember 2024   00:12 Diperbarui: 27 Desember 2024   00:12 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kenaikan PPN 12%

PPN 12% menjadi bahan berbincangan di seluruh media sosial dan masyarakat  beramai - ramai membahas tentang tolak PPN 12%, apa maksudnya? Secara umum, PPN adalah pajak yang dikenakan kepada pembeli atas setiap pembelian barang atau jasa. Mayarakat menanggapi kebijakan terbaru pemerintah Indonesia yang menaikkan PPN dengan berbagai reaksi. Salah satunya, banyak orang menggunakan tagar #TolakPPN12% untuk menyuarakan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Selain itu, Mayarakat melakukan demonstrasi, petisi dan perubahan gaya hidup untuk penolakan PPN 12%.

Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia sudah terlebih dahulu menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% sebagai bagian dari reformasi perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara. Masyarakat dan pelaku usaha yang berpendapat bahwa langkah tersebut tidak tepat mengingat kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya akibat pandemi COVID-19. Hal yang sama terjadi saat ini, yakni protes muncul di media sosial dan forum publik. Pemerintah menuai berbagai kritik terhadap perubahan kebijakan tersebut walaupun kebijakan tersebut tetap dijalankan.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan netizen, seperti demonstrasi, petisi, hingga perubahan gaya hidup, apakah akan berhasil membatalkan kebijakan kenaikan PPN ini? Memang, sejarah mencatat bahwa penolakan terhadap kebijakan pajak tidak selalu sia-sia. Ada beberapa contoh internasional yang menunjukkan bahwa penolakan masyarakat dapat mempengaruhi keputusan pemerintah terkait PPN.

Dalam skala internasional terdapat peristiwa yang berhasil membatalkan kebijakan pemerintah terhadap peningkatan PPN. Pada tahun 2006, Pemerintah Hong Kong mengusulkan penerapan PPN sebesar 5% untuk memperluas basis pajak dan mengurangi ketergantungan pada pendapatan dari pajak properti. Mayarakat dan pelaku bisnis menolak keras dan menganggap kenaikan PPN akan membebani ekonomi dan meningkatkan biaya hidup. Selain itu, kampanye besar -- besaran dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dan asosiasi perdagangan. Pada akhirnya, pemerintah Hong Kong membatalkan usulan PPN dan mengarahkan pemerintah mencari alternatif lain untuk sumber pendapatan. Pada saat ini, Hong Kong menjadi salah satu negara yang tidak memiliki kebijakan PPN.

Salah satu negara tetangga Indonesia, yakni Malaysia juga sebelumnya pernah mengalami peristiwa yang sama. Pada tahun 2015, pemerintah Malaysia memperkenalkan PPN sebesar 6% pada berbagai barang dan jasa, termasuk beberapa barang kebutuhan pokok. Masyrakat Malaysia menggelar protes besar-besaran, terutama karena pajak tersebut dinilai membebani kelompok berpenghasilan rendah. Selain itu, terdapat beberapa pihak politik juga memanfaatkan isu ini untuk mengkritik pemerintah. Pemerintah kemudian memberikan pengecualian pada barang kebutuhan pokok untuk meredamkan protes dan kritik.

Pada tahun 2018, setelah adanya perubahan pemerintahan, Malaysia mengganti sistem PPN dengan sistem baru yang dikenal dengan nama Sales and Services Tax (SST). Meskipun mirip dengan PPN, SST tidak berlaku untuk semua barang dan jasa. Sistem ini lebih selektif, dengan pajak hanya dikenakan pada barang atau jasa tertentu. SST juga dapat dikenakan secara bertahap yang memungkinkan pemerintah untuk mengurangi dampak pada beberapa sektor tertentu. Saat ini, Malaysia juga menaikkan tarif pajak layanan dari 6% menjadi 8%, tetapi beberapa sektor, seperti layanan makanan & minuman, telekomunikasi, parkir, dan logistik, tidak terpengaruh oleh kenaikan tersebut.

Mengacu pada contoh-contoh internasional ini, dapat dilihat bahwa penolakan masyarakat terhadap kebijakan pajak dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Namun, keberhasilan upaya tersebut sangat bergantung pada tingkat kekuatan gerakan masyarakat, dinamika politik yang ada, dan kemauan pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Di Indonesia, meskipun protes terhadap kenaikan PPN telah dimulai, masih diperlukan tekanan yang lebih besar dan keberhasilan dalam menciptakan konsensus nasional untuk benar-benar membatalkan kebijakan tersebut.

Sementara itu, pemerintah Indonesia mungkin akan tetap mempertahankan kebijakan PPN 12% sebagai salah satu cara untuk memperbaiki perekonomian negara dalam jangka panjang. Namun, seperti yang terjadi di Malaysia, pemerintah Indonesia juga bisa mempertimbangkan alternatif lain atau melakukan penyesuaian lebih lanjut, seperti pengecualian terhadap barang-barang tertentu, untuk meredakan dampak dari kebijakan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun