Tidak bisa dipungkiri lagi, kebutuhan manusia akanpangan adalah perihal paling mendasar berkaitan dengan upayanya agar tetap bertahan hidup. Bahkan Bung Karno secara tegas mengatakan bahwa pangan adalah soal hidup atau mati. Maka, krisis pangan tidak hanya menyangkut hajat hidup orang banyak tetapi sesuatu yang menyangkut kebutuhan dasar setiap manusia. Krisis pangan menjadi salah satu isu yang tak henti-hentinya diperbincangkan dalam forum-forum kenegaraan tingkat global. Dalam World Economic Forum 12 Juni lalu, orang nomor satu di Indonesia, Presiden SBY menyampaikan bahwaAsia perlu mengantisipasi ancaman akibat kelangkaan suplai pangan sebagai salah satu langkah mewujudkan Asia Pusat Globalisme Baru.
Krisis pangan menjadi ancaman besar bagi setiap negara saat ini, terlebih dengan adanya perubahan iklim yang mengakibatkan penurunan secara drastis produktivitas pangan dunia. Di sisi lain, kebutuhan pangan dunia terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi penduduk. Krisis pangan dapat memicu kenaikan inflasi yang dapat menyulut kerusuhan. Kini negara-negara di dunia lebih gencar memproteksi lagi pasokan pangan dalam negeri. Lantas, bagaimana dengan Indonesia yang mengaku negara agraris ini?
Konsumsi Indonesia saat ini sudah mencapai 139-140 kg/kapita/tahun. Padahal, enam tahun lalu, konsumsinya baru mencapai 135 kg/kapita/tahun. Bagi Indonesia, tanpa disadari deraan gejala global ini semakin bertubi-tubi karena mutu dan kinerja sistem ketahanan pangan selama ini diskenario sedemikian rupa agar semakin tergantung impor. Ketika pangan domestik langka, selalu impor yang menjadi pilihan pengambil kebijakan di negeri ini. Sebenarnya, sejak krisis tahun 1998 gejolak pangan di Indonesia sudah mulai terlihat. Lebih-lebih setelah Republik ini diamputasi IMF dan dibius harga dunia yang murah dan kredit tanpa bunga selama 1999-2002. Kenyataan yang sangat menyakitkan memang ketika negeri yang mengaku agraris ini memutuskan menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.
Kondisi kritis ini jelas tidak boleh dibiarkan. Seluruh elemen bangsa ini harus tersadar bahwa selama ini sistem ketahanan pangan yang dianut oleh para pengambil kebijakan telah salah kiblat dan tidak ada alasan untuk menolak kembali ke kiblat yang benar. Kiblat yang salah tadi adalah pelaksanaan sistem ketahanan pangan dengan mengandalkan pasokan pangan impor. Selama ini pemerintah tidak pernah memberikan proteksi yang powerfull terhadap kebijakan impor pangan dan tidak ada intensif bagi produsen pangan dalam negeri, khususnya petani-petani kecil. Hal ini terlihat ketika Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dibawah komando SBY mengeluarkan Undang-Undang PMK (Peraturan Menteri Keuangan) nomor 13/2011 yang mengamanatkan bebas bea masuk (BM)impor bagi 57 komoditas pangan, 24 Januari 2011. Tentu hal ini membuat hati petani lokal tersakiti karena hasil panen mereka kalah saing dengan produk impor. Bahkan petani seringkali menjadi pihak yang termarjinalkan dalam era pembangunan, karena sektor pertanian sering dijadikan bemper ketenagakerjaan dan menurunkan inflasi.
Maka, yang harus dilakukan bangsa ini tidak boleh sekedar menggaungkan ketahanan pangan atau kemandirian pangan semata. Kedaulatan pangan (yang tentunya berbasis domestik) harus direalisasikan sebaik-baiknya. Karena dengan melaksanakan kedaulatan pangan, sudah barang tentu terlaksana pula ketahanan pangan dan kemandirian pangan. Kedaulatan pangan harus dilaksanakan dengan kembali ke kiblat industrialisasi berbasis pertanian domestik (domestic agro based industry). Pertama, tentu langkah ini harus dibersamai dengan kebijakan dan proteksi pemerintah lebih pro petani, yang lebih menguntungkan petani dalam negeri, tidak hanya menguntungkan kaum minoritas yang mencari keuntungan pribadi. Kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup petani adalah indikasi keberhasilan kedaulatan pangan dan pembangunan pertanian. Kedua, sistem kedaulatan pangan harus melibatkan para akademisi atau kaum intelektual yang berkompeten dari perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Saat ini, peran dan kontribusi kaum intelektual masih kurang bisa dirasakan secara nyata. Kaum intelektual harus memebantu pembangunan pertanian yang berdaulat untuk menuju kedaulatan pangan. Kaum intelektual jangan hanya melaksanakan riset yang membuahkan profit bagi dirinya. Saat ini banyak kaum akademisi yang sibuk meloloskan proposal penelitian yang menguntungkandiri sendiri sehingga lupa bahwa di pundaknya ada tugas membangun negara yang seharusnya lebih diutamakan. Ketiga, selain peningkatan produktivitas petani, masyarakat secara keseluruhan juga harus mengurangi ketergantungan konsumsi beras dengan mengkonsumsi sumber energi domestik lain. Hal inimemang pendekatan yang tidak biasa. Namun, kita bisa mencontoh Jepang yang bisa menurunkan konsumsi berasnya dari 135 kg/kapita/tahun menjadi 60 kg/kapita/tahun. Keempat, peningkatan penggunaan teknologi pertanian. Dalam hal ini termasuk pula perbaikan infrastruktur pertanian. Agar dapat bersaing dalam era globalisasi, teknologi memang tidak boleh dilupakan. Seluruh elemen pelaku pertanian harus menguasai teknologi pertanian agar mampu survive di tengah gejolak pangan ini.
Better late than never. Mungkin republik yang mengaku agraris ini sudah terlambat dan salah kiblat. Namun, sangat tidak ada salahnya jika kembali menuju kiblat yang benar, menuju domestic agro based industry yang lebih pro growth, pro poor dan pro job. Bukankah ‘tiga pro’ tersebut yang disampaikan presiden dalam RAPBN 2010?!
Imroatul Mukhlishoh
10/302335/TP/09895
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H