Mungkin hanya segelintir orang saja yang sadar, bahkan sekedar tahu saja tentang ada apa dengan dengan tanggal 24 September. Memang tanggal tersebut bukanlah hari kemerdekaan suatu negara seperti tanggal 17 Agustus yang setiap tahun dirayakan seantero rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke (hanya dirayakan, miris. Bagaimana dengan memaknai? Mengambil hikmah? Sudahkah?). Paling tidak, tanggal ini ‘pernah’ memberi harapan besarbagi rakyat tani kita. Pasalnya, tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani, hari kemenangan rakyat tani Indonesia dengan lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), dengan diletakkannya dasar-dasar bagi penyelenggaraan Landreform dalam lapangan pertanahan. UUPA ini memiliki tujuan besar agar rakyat tani kita merdeka dari imperialisme lahan dan tanah. Sejak Kemerdekaan, politik agraria telah dicanangkan Sang Founding Father, Bung Karno melalui pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta, 1948, yang merupakan langkah mendasar mengarah pada perumusan UUPA 1960.
Secara garis besar, UUPA ini megandung empat inti. Pertama, bahwa semangat ekonomi nasional sangat revolusioner dengan terbitnya UUPA sebagai upaya menangkal dan menghapuskan imperialisme pertanahan khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya. Kedua, secara teknis upaya ekonomi revolusioner ini dilaksanakan dengan Landreform, perbaikan struktur pemilikan lahan bagi rakyat Indonesia melalui redistribusi tanah atau lahan dengann harapan akan menjadi landasan pemilikan aset ekonomi paling mendasar yang dipastikan dimiliki oleh keluarga tani sebagai basis kehidupan dan kedaulatan ekonomi keluarga.Ketiga, peruntukan tanah sebagai alat ekonomi dan penangkal penghisapan darah manusia atas manusia. Catatan ini mengamanatkan kepada Reforma Agraria yang menempatkan makna ekonomis pemilikan tanah. Keempat, tuntutan pemilikan tanah sebagai alat ekonomi politik memandatkan kepada pengambil keputusan (Pemerintah RI) untuk senantiasa menyertai dan hadir setelah redistribusi tanah dengan pengembangan sistem pendukung yang dapat memberikan proteksi dan mengembangkan pertanian.
Sayangnya, negara ini tak pernah lepas dari namanya ‘wacana’. Lagi-lagi, keberadaan Hari Tani tersebut hanyalah sekedar wacana. Sekedar memberi harapan kosong bagi wong cilik yang dianggap tidak tahu dan boleh dibodohi. Evaluasi atas kinerja Program Pembaharuan Agraria Nasional sekadar sampai pada urusan sertifikasi tanah dan distribusi sejumlah lahan marjinal. Jangankan proteksi bagi peningkatan kekuatan ekonomi sektor pertanian, mempertahankan posisi ekonominya saja sudah sangat tidak mampu. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang tak bijak dan kontriversial seperti Persoalan Sumberdaya Air oleh UU 7/2004, UUPM, food estate, land gabbing, PMK 13/2011 tentang Bea Masuk, dsb yang tambah merobek-robek hati rakyat tani. Tampaknya reforma agraria hanya akan terus menjadi wacana selama para pengambil kebijakan di negeri ini belum bertobat menganaktirikan pertanian. Selain itu, selama importasi yang memanjakan masih membanjiri pasar domestik, reforma agraria dan pembangunan pertanian hanyalah imajinasi belaka. Menyedihkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H