Mohon tunggu...
Idrus Bin Harun
Idrus Bin Harun Mohon Tunggu... lainnya -

Jama'ah Komunitas Kanot Bu.numpang di Bivak Emperom Banda Aceh\r\n\r\n\r\n\r\nhttp://www.idrusbinharun.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggambar Tubuh dan Ketabuan Alat Reproduksi

8 April 2011   17:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00 5713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya tak akan menceritakan orang lain dalam cerita ini, tapi apa yang saya rasakan semasa kanak-kanak dahulu. Keluarga adalah keluarga petani yang kesehariannya ibu dan ayah saya menyibukkan diri di sawah dari pagi sampai sore. Sementara kami anak-anaknya dibebaskan untuk membantu atau tidak. Tapi kami lebih banyak menghabiskan waktu di sawah dengan bermain lumpur atau mandi jika sawah sedang banjir.benar-benar merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Begini kisahnya, saat ibu saya masih produktif melahirkan adik saya hingga dua lagi di bawah saya. Jarak kelahiran saya dengan adik saya yang pertama sekita 5 tahun. Sedangkan yang kedua sekira 10 tahun. Sesudah itu ibu saya total berhenti mereproduksi manusia (istilah kasarnya seperti itu).

Karena mempunyai seorang abang di atas saya, maka ibu selalu memberi kasih sayang kepada kami berdua dengan keadilan yang menurut saya sangat proporsional. Ditopang kondisi keluaraga yang sedikit terbuka untuk kelas keluarga petani seperti keluarga kami, saya bebas berbicara apa saja mengekspresikan diri, baik itu saat makan bersama atau saat ibu menidurkan saya dan abang saya. Ibu selalu menyanyikan lagu Qasidah kesukaannya, yang masih saya ingat sampai sekarang penyanyi itu Hajjah Nur Asiah Jamil (penggemar Qasidah tak asing dengan nama ini).

Ibu membiarkan saya anak keduanya berbicara atau menyanyi dengan berteriak, padahal ibu tidak pernah membaca buku atau majalah mom and kiddie yang selalu mengupas tentang bagaimana berkomunikasi dua arah dengan anak di bawah umur seperti saya. Tapi karena kesabarannya sebagai ibu, maka ia biarkan saya berekspresi sesuai jatidiri.

Suatu hari, ketika sedang menganyam tikar di teras rumah, sambil tengkurap tak jauh dari tempat ia menganyam tikar, saya asyik menggambar di kulit buku, ibu selalu melarang saya menggambar di situ, karena katanya bisa kena hukuman dari ibu guru kalau diperiksa buku catatan itu. Tapi karena saya memang suka menggambar, saya acuhkan saja larangan ibu. Toh pikirku kalau nanti bukunya disobek-sobek bu guru, saya akan meminta ibu membeli yang lain lagi sebagai ganti. Maka saya teruskan saja kegemaran itu. Hingga sesudah berkali-kali ibu melarangnya, ibu tak tahan lagi dan mengambil paksa buku itu untuk disimpan dalam tas sekolahku, namun sebelumnya kebetulan ibu sempat membuka isi buku untuk memastikan apa yang saya gambar. Lama benar ia terpaku dengan gambar tersebut, setelah lama ia perhatikan gambar yang saya buat itu, tiba-tiba muka ibu berubah dari biasanya, saya tenang-tenang saja mengganti posisi tidur dari tengkurap tadi, ibu bangun dan berdiri seraya  berujar:  “apa sekolah mengajarkan anak-anak untuk menggambar gambar yang tidak pantas untuk usianya??”. Sambil beranjak ke dapur ibu memanggil ayah, kemudian ia kembali ke teras bersama ayah, setelah memperlihatkan gambar itu pada ayah, ibu seperti tidak bisa diam, ia katakan pada saya, jika begini gambar yang saya buat, ia yakin saya tidak pernah serius dalam bersekolah, tak becus dalam menyimak penjelasan guru. Karena asyik menggambar.

Ayah diam saja, lalu mengambil tas saya dan membukanya, satu persatu buku saya ia periksa lapik dalamnya. Dengan wajah memerah ia banting buku ke lantai. Dan sambil jongkok tepat di depan saya, ia berkata, “kalau begini kerjaanmu disekolah, lebih baik besok kau keluar saja dan bantu ibu di sawah”.

Saya diam saja dan pura-pura tidak mengerti (untuk hal begini, anak-anak terkadang lebih licik dari seorang koruptor). Ibu yang sedari tadi diam memegang buku, berkata ketus, “ kalau semua gambar perempuan telanjang itu tak kau hapus, nanti malam kau tidur di luar!”. Menangislah saya tiba-tiba karena takut akan hukuman.

Sambil menghapus gambar-gambar mesum itu (wah saya jadi tidak enak). Abang saya yang sedari tadi duduk sambil makan, mengejek saya sebagai seorang yang suka pamer sama ayah dan ibu, padahal gambarnya jelek. Dia yang memang pintar menggambar saja tidak sok pamer. Bertambah-tambahlah rasa gusar saya hingga tambah keras lagi menangis. Sungguh penderitaan yang dahsyat di sore hari.

Dengan wajah memendam malu teramat sangat, malamnya saya beranjak ke meja makan setelah ibu memanggilnya. Saya berusaha agar tak bertatap lansung dengan wajah ayah, wajah saya tundukkan terus selama makan itu, dan dengan kecepatan lebih dari biasanya, saya kelarkan makan malam dan pergi masuk kamar. Ayah yang dari tadi diam saja memanggil saya dan disuruh kembali ke meja makan. Maka dimulailah persidangan saya yang sesungguhnya.

Pertama ayah menanyakan dari mana saya belajar menggambar, saya jawab tidak belajar di mana-mana, toh sekedar suka saja kok. Karena belum puas dengan jawaban saya, ayah melemparkan pertanyaan lain, “dari mana dapat gambar sebegitu rupa, sampai tanpa sehelai benang pun tubuh perempuan kau gambar?”. Ini pertanyaan yang membuat saya tak dapat konsentrasi untuk mengarang-ngarang jawaban biar ayah menjadi puas, dan mengakhiri interograsi. Ayah kembali menanyakan kembali pertanyaan tadi, saya belum mendapat jawaban, maka saya jawab sekena saja, bahwa gambar itu tidak saya dapatkan dari mana pun. Tapi saya hayal-hayalkan sendiri.

Duaaaaarr..! Ayah memukul meja. Mulailah ia mengata-ngatai saya, ia katakan saya sebagai anak tak berguna yang menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang tidak berguna, ia gunakan telunjuknya menunjuk saya sebagai anak yang berotak kotor. Anak tak bermoral samasekali, banyak yang ia katakan sesudah itu, saya hanya diam saja bergeming, pasrah saja karena sadar ini kesalahan saya yang terlalu bebas menggunakan pikiran untuk menggambar tubuh perempuan telanjang (walau tak mirip sama sekali), padahal anak seumur saya tidak tepat menggambar hal semacam itu. Saya merasa benar-benar berdosa. Dalam hati saya berdoa supaya Allah mengampuni dosa saya untuk kali ini saja. Agar ayah dapat mengakhiri amarahnya.

Akhirnya ibu datang dari dapur dan membelai tengkuk saya seraya berkata, “ sudahlah yah, besok ia tidak akan mengulang lagi menggambar perempuan semacam itu, kamu pergi tidur sana!”. Alhamdulillah ibu datang, dan akhirnya ayah meredakan amarahnya sendiri dan saya pun membawa kejadian itu ke alam mimpi dengan pikiran tak menentu.

Sampai hari ini saya berpikir kenapa orang yang lebih tua tidak dari kita, selalu saja asal marah dengan kesalahan yang diperbuat anak-anak, tanpa membuka ruang dialog yang sehat dan dalam komunikasi dua arah, sehingga anak-anak dapat mengemukakan apa saja yang ia rasakan setelah melakukan kesalahan, dan siapa tahu dengan melakukan komunikasi persuasif seperti itu akan menumbuhkan kesadaran, setidaknya kesadaran diri untuk selalu waspada pada hal-hal negatif.

Namun sesudah saya menginjak dewasa dan mulai pergi dari rumah ( istilah lain untuk kuliah ke luar daerah), ibu mengatakan kenapa ia tak mau membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan perkara alat reproduksi dan soal anatomi tubuh lawan jenis, katanya itu merupakan hal tabu yang pantang diceritakan sama anak-anak. Saya paham akan hal ini. Baginya urusan demikian adalah urusan orang dewasa dan sudah menikah. Untuk anak-anak, mohon maaf.

Lain ibu lain pula seorang guru saya. Ini terjadi ketika saya baru menginjak usia SMP kelas II, sekolah kami terletak di ibukota kecamatan, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari kampung saya. Dimana kami selalu menggunakan sepeda untuk alat transportasi ke sekolah. Walau keadaan cuaca sedang bagaimana pun. Kami setia mendayung sepeda masing-masing. Mengingat sekolah adalah kewajiban dan mendapatkan uang jajan tentunya.

Suatu hari yang sudah tidak saya ingat lagi, sehabis menikmati makanan kecil di kantin, bel di kantor dewan guru berbunyi panjang pertanda jam istirahat sudah habis. Kami murid kelas dua bergegas masuk ke kelas, karena jam tersebut  adalah jam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diasuh oleh seorang guru berperawakan pendek dan menggunakan kacamata, Nurani nama guru tersebut, namun kami dibelakangnya sering menyebut ‘ibu sex’. Mungkin yang saya tahu nama itu sudah berbilang tahun menjadi nama favorit diantara murid yang pernah sekolah di SMP itu.

Singkat kata, diantara banyak kelebihannya yang paling saya ingat adalah; keahliannya membuat siswa terhipnotis mendengar anekdot-anekdot yang sering dikeluarkannya taatkala siswa sedang jenuh mengikuti mata pelajaran yang diasuhnya. Ia kadang menceritakan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang belum pernah kami dengar sebelumnya sehingga kami mendapat pengalaman lain. Tapi tak jarang ia menceritakan cerita yang nyerempet-nyerempet alat vital. Maka tak heran ia dipanggil ‘bu sex’

Masalahnya, pada hari itu setelah jam istirahat. Saya yang duduk di deretan paling belakang dengan seorang teman sebut saja namanya Bardi, keasyikan menggambar, sayangnya media yang kami gunakan kala itu bukan buku gambar atawa kanvas, tapi baju Nas. Baju Nas di bagian dada saya gambar terus tanpa mempedulikan ibu Nuraini menjelaskan materi pelajaran. Terus saja bagian dada baju Nas saya gambari gambar berbentuk hati ditusuk anak panah yang lazim digunakan untuk mengungkapakan rasa sayang pada lawan jenis.

Karena keasyikan menggambar kami lupa menyimak penjelasan guru yang ternyata dari tadi sudah memperhatikan tingkah kami di belakang. Hingga gambar selesai ibu  Nuraini tidak mengganggu aktifitas yang membuat kami ladat (istilah bahasa Aceh untuk sesuatu yang dilakukan dengan konsentrasi).

Akhirnya, karena sudah beberapa lama lewat namun kami belum memperhatikan penjelasannya, ibu Nuraini memutuskan menegur kami, terkagetlah kami berdua dan ibu Nuraini sudah berada di hadapan kami. Tak bisa mangkir dan beralasan apapun, digiringlah kami ke depan kelas untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah kami lakukan.

Di depan kelas yang berjumlah 45 murid, kami diinterograsi dengan pertanyaan lazim dilakukan oleh  seorang guru, ya sudah kami mengaku saja memang dari tadi sedikit pun tidak mendengar apa yang dijelaskannya.

Tiba-tiba setelah melihat gambar di dada Nas, ibu Nuraini tersenyum. Ia tidak marah. Saya jadi bingung sendiri dengan sikapnya yang tersenyum, apa maksud dia dengan tersenyum?.  Entahlah, yang jelas ia tidak memarahi kami seperti yang saya bayangkan ketika kepergok menggambar.

Akhirnya ia menanyakan apa maksud kami menggambarkan bentuk hati ditusuk anak panah, Nas tanpa menunggu disuruh lansung menjawab sebagai bentuk lambang perasaan cinta kepada orang yang kita cintai. Saya tidak menjawab lagi, karena merasa sependapat dengan Nas. Ibu Nuraini melemparkan pertanyaan itu ke teman-teman lain, namun tak satu pun yang menjawab.

Ibu Nuraini masih menunggu barangkali ada yang masih mau menjawab pertanyaannya, tunggu ditunggu, dijawabnya sendiri.

Dia bilang, gambar tersebut mempunyai makna sendiri. Makna yang menurut dia belum pantas kami ketahui, sebab hal itu hanya untuk merka yang sudah berkeluarga seperti guru-guru kami. Kami tidak membantah dan menerima itu sebagai bentuk keterbatasan kami. Namun katanya, antara bentuk hati dan anak panah itu mempunyai arti dan symbol masing-masing, maka ditanyakanlah pada saya, apa arti dari bentuk hati itu?, saya tak dapat menjawab karena saya memang belum tahu, Nas juga demikian. Kami diam saja. Sambil memperhatikan ke atas muka saya, ia katakan bahwa bentuk hati itu adalah ‘kepunyaan’ ibu kami, dan gambar anak panah itu merupakan lambang dari ‘kepunyaan’ ayah kami, dan dia tanyakan lagi pada Nas, kenapa kami ada dalam dunia ini?. Sebab ‘punya’ ayah dimasukkan ke dalam ‘punya’ ibu, maka lahirlah kita ke dunia ini.

Jadi menurutnya, jangan sembarangan kalau mau menggambar gambar demikian itu kalau tidak paham maksudnya. Saya secara pribadi selain malu juga mendapat pengetahuan tentang asal proses terjadinya manusia, tentu saja pengetahuan yang masih sangat kecil, belum sedetil ilmu Biologi.

Dengan muka tertunduk kami dipersilahkan kembali ke tempat duduk, disambut sorakan teman-teman sekelas. Duh malunya kami hari itu.

Hari itu walau sudah sudah dijelaskan sedemikian rupa tentang ‘kepunyaan’ ayah dan ibu, saya sendiri masih belum bisa membayangkan sejauh yang bu guru jelaskan. Saya hanya terlihat dungu dengan simbol-simbol seksual. Mau bertanya rasanya takut dibilang sebagai orang berpikiran kotor. Ya sudah,  diam adalah jalan terbaik.

Sesudah melewati tahun demi tahun, dan sampailah saya pada kedewasaan seperti sekarang, mengertilah saya tentang apa yang dimaksud hal-hal yang berhubungan dengan seksual.

Begitulah, tanpa tuntunan dalam menggunakan pikiran bisa-bisa terjadi penyalahgunaan. Butuh kebijaksanaan dari orang dewasa dalam menyikapi sikap anak-anak yang mulai terlihat berbeda dari teman seusianya. Pastilah sesuatu terjadi atau bergolak dalam benak dan pikirannya. Jika penanganannya menggunakan metode refresif, atau tak mengajak si anak untuk menuturkan apa yang sedang ia rasa dan bergejolak dalam pikiran kanak-kanaknya. Bisa dipastikan yang terjadi kemudian adalah timbulnya rasa penasaran. Seseorang yang diliputi rasa penasaran akan mati-matian mencari tahu ihwal objek yang menimbulkan rasa penasaran itu. Dalam hal ini adalah hal ihwal tentang anatomi tubuh lawan jenis dan alat reproduksi. Sesuatu yang jika salah penafsiran pada anak usia pra baliqh akan timbul persepsi salah terhadap tubuh dan alat reproduksi. Mereka cenderung berpikir bahwa tubuh dan alat reproduksi adalah bebas untuk digunakan walau untuk hal yang dilarang  oleh agama sekalipun.

Peran orang tua dengan segala kebijaksanaannya sangat dibutuhkan. Yang bertindak sebagai tempat curhat layaknya teman. Bukan malah memvonis dengan kata-kata yang menyudutkan posisi si anak yang memang samasekali tidak punya alasan kuat terhadap apa yang telah dikerjakannya.

Bahkan orang tua cenderung lansung memasukkan nilai religi tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu tentang sebab dan akibat dari alat reproduksi dan tubuh jika salah digunakan.

Orang tua selalu terbentur beban ketabuan dalam membicarakan perihal seks. Karena penanaman konsep yang salah tentang alat reproduksi. Alat reproduksi dianggap sebagai hal yang sangat rahasia dan hanya orang-orang tertentu dan sudah bekeluarga boleh tahu kegunaannya. Tragis memang, sebagian orangtua malah tak terlalu peduli masalah penyalahgunaan alat reproduksi. Dan ketika terjadi kehamilan pra nikah, lansung mengklaim si anak sebagai penzina yang kadar imannya nihil. Padahal jika ditilik lebih dalam, orangtua berperan besar menjerumuskan anak-anak mereka. Bagaimana tidak, untuk membicarakan apa yang dilakukan anak di luar rumah saja enggan, apalagi pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih detil semisal, siapa teman laki-lakinya yang paling dekat dengannya, di mana saja mereka nongkrong, siapa-siapa saja teman laki-lakinya yang merokok (untuk anak perempuan). Mungkin untuk anak laki-laki orang tua punya strategi tersendiri yang lebih mujarab.

Pada akhirnya, di zaman yang serba digital ini, benteng moral terakhir jangan sampai jebol oleh serbuan pasukan budaya pop yang kapitalistik dan serba mesum ini. Jalinan komunikasi antar warga rumah mestilah lebih intens. Kita malah abai untuk makan bersama dalam satu meja dengan keluarga inti dan membicarakan sesuatu kepentingan dengan lebih santai. Pengabaian ini berakibat buruk bagi perkembangan anak. Bukan ibu dan bapak. Mereka hanya menagguk penyesalan.

Juli 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun