Riuh murka diserta ketukan keras yang berasal dari daun pintu terdengar kentara memekakkan telinga, memecahkan keheningan. Belasan obor yang menyala pada bambu-bambu kuning menambah kegaduhan malam. Belum lagi dengan kentungan yang dipukul begitu nyaring. Para warga yang berkumpul pada gubuk rumah tua merasa geram terus-menerus berteriak, tanpa kenal waktu. Urat-urat leher terlihat kentara dan juga bola mata yang melotot seperti akan loncat keluar ketika wajah mereka mengeras. Namun, bagai di ujung tanduk. Kobaran amarah membabi buta, membutakan mata di antara peluh yang mengucur tiada habisnya.
"Abah!" Mata bening membelalak tak percaya melihat pemandangan di depannya. Wajah yang dipenuhi oleh luka dan juga lebam membuat isak tangis terdengar dari bibir manisnya. Namun, umpatan demi umpatan memenuhi gendang telinganya. Gadis kecil itu berusaha memberontak melepaskan genggaman tangan sang ibu. Penglihatannya yang buram dipenuhi cairan bening itu melihat senyum manis yang terbit dari bibir ayahnya. Ya, sunggingan senyum untuk yang terakhir kalinya.
"Hentikan! Jangan sakiti abah, Bayyinah mohon." Bayyinah berteriak di sisa tenaga yang ada, berharap bahwa semuanya akan kembali normal. Namun, nihil. Tangan yang mengepal kuat berulang kali mendarat di wajah dan sebagian tubuh pria yang meringkuk tak berdaya. Tiada perlawanan yang diberikan. Ia hanya meringis kesakitan seraya melindungi wajahnya dengan lengan tangan dari pukulan yang bertubi-tubi mendarat. Cairan merah mengalir deras sama seperti hujan yang mengguyur tubuhnya.
Tiba-tiba, semuanya mendadak berubah menjadi gelap. Telinganya berdengung kencang memekakkan pendengaran. Seakan tersesat dalam lorong yang berporos tanpa kenal batas. Tangannya ditarik paksa bersamaan dengan langkah yang terseret menuju jalanan lenggang di perbatasan. Segumpalan kabut tebal mempertipis jarak pandang penglihatan, hanya lampu kecil remang-remang di ujung jalan yang menjadi penerangan. Sosok itu menatap rahim kehidupannya dengan segudang kerapuhan. Entah ke mana wanita itu akan membawanya pergi.
"Bayyinah maunya sama Abah. Umi jahat!" Bocah kecil itu menarik lengannya, berusaha memberontak. Setelah itu ia berlari membelah jalanan. Tangisannya semakin kencang, tapi beningnya seolah tersamarkan dengan derasnya air hujan. Ia benar-benar tidak ingin berpisah dengan perisai pelindungnya.
"Tunggu, Bayyinah. Dia bukan ayahmu lagi. Ayahmu sudah mati, Nak!" Teriakan penuh murka dari sang ibu, wanita itu mengejar putri sulungnya. Bersamaan dengan tangis yang mengabur dari bayi di gendongannya, ia berlari tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Hingga kejadian tidak terduga tertangkap oleh sepasang netranya, di antara alas jalanan yang berubah memerah.
"Umi!" Teriakan itu kembali terdengar bersamaan dengan gemuruh petir yang saling bersahutan. Gadis dengan baju sebahu dan celana jeans sepaha itu terbangun dari tidurnya. Berulang kali tiada henti ia menjambak keras rambutnya bersamaan dengan desisan yang keluar dari bibirnya. Deru napasnya tidak beraturan di antara keringat dingin yang mengucur deras. Jauh di dalam sana, salah satu organnya berdetak melebihi batas normalnya.
Selalu saja sama seperti itu. Dua belas tahun sudah terlewati, tapi mimpi buruk itu tidak pernah hirap dalam dunianya. Dulu di usianya yang baru menginjak sembilan tahun, ia tak pernah tahu apa-apa. Namun, sekarang semua seakan sudah jelas dalam bayangannya. Di tengah temarahnya baskara yang hanya menyisakan sepintas cahaya dan gemuruh. Gadis itu bangkit, mencari sesuatu dalam lemari cokelat tuanya. Diobrak-abrik dengan kasar, tapi benda itu tak kunjung ditemukan. Waktu bergulir semakin membuatnya kelimpungan, hingga benda itu ditemukan dekat guci di pojok ruangan.
Dengan cepat, ia mengambilnya. Manik matanya berbinar, seperti menemukan harta karun. Setengah botol wine diteguknya sampai tandas. Meskipun kadar alkohol dalam minuman itu terbilang lumayan besar, sekitar 9-16% ABV. Namun, tenggorokannya masih merasakan haus dan pusing belum juga membuatnya kehilangan kesadaran. Rasanya masih saja kurang.
Gadis itu beranjak, menutup pintu dengan kasar. Pergi ke tempat dimana ia bisa menghilangkan trauma. Mimpi buruk harus lenyap dari tidurnya karena jika tidak, ia bisa gila. Tesla abu-abu dikendarainya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan lenggang kota yang dijuluki Jerusalem van Java. Malam ini, bayangan tentang masa lalunya muncul di permukaan. Bersamaan dengan kilat yang berpendar di antara langit-langit hitam. Cakrawala dibuat gaduh dan juga seperti bercahaya.
Di tengah kesadaran yang mulai terkikis, manik tajam itu menatap tidak percaya. Hingga hantaman keras menyentuh mobil depannya membuat detik seketika terhenti. Cairan merah perlahan mengalir dari hidung dan juga pelipisnya. Kepalanya berdenyut nyeri, penglihatannya mulai buram. Hanya kepulan asap tebal yang dengan jelas dilihat olehnya. Setelah itu ia benar-benar kehilangan kesadaran.
"Astagfirullahalazim. Mbak, kamu tidak apa-apa?" Pria itu berulang kali mengetuk kaca mobil, berharap sosok yang ada di dalam sana mendengarnya. Namun, ketika ia menajamkan penglihatannya, netranya membelalak tak percaya tatkala melihat keadaan gadis itu sudah tidak sadarkan diri. Segala cara telah ia lakukan supaya bisa mengeluarkannya dari dalam mobil. Qodarullah, setelah setengah jam berada di bawah guyuran air hujan akhirnya ia bisa mengeluarkan Bayyinah. Ia segera memindahkan Bayyinah ke mobilnya dan membawa gadis itu ke rumah sakit.
Setelah tiga puluh menit berlalu, beberapa meter dari kejauhan, pria itu melihat bangunan tua yang menjulang tinggi. Ia merapal hamdalah. Sedikit lagi ia akan sampai pada tujuan. Pria itu kembali melirik keadaan Bayyinah. Kali ini kelopak matanya benar-benar tertutup rapat, bahkan gadis itu tak lagi merintih kesakitan. Ditambah cairan merah itu seolah tak ingin berhenti mengalir. Tidak. Seharusnya ia memperbanyak husnudzon kepada Allah. Serahkan semuanya kepada Allah, biidznillah. Semua akan baik-baik saja.
Kemeja putih yang dipenuhi bercak merah itu menggendong tubuh Bayyinah memasuki ruangan. Dengan sigap beberapa suster yang melihatnya segera membawakan brangkar. Tanpa berpikir panjang, pria itu yang bernama Abil itu membaringkan tubuh Bayyinah di atasnya. Suara derap langkah terdengar ganjil beriringan, saling bersahutan dengan roda brangkar yang bergesekan dengan lantai. Di menit selanjutnya, pria itu hanya mampu berdiri di ambang pintu UGD, menatap Bayyinah yang perlahan menghilang dari penglihatan.
Abil mendudukkan diri di kursi yang telah tersedia. Pria itu mengusap wajahnya frustasi. Namun, jauh di dalam hatinya pria itu merapalkan banyak-banyak istigfar. Tidak sepatutnya ia merasa gusar seperti ini. Yakinlah bahwa setiap kesulitan, selalu ada kemudahan.
"Keluarga pasien?" Beberapa menit menunggu, Abil yang memilih menunduk dalam itu mendongak tatkala suara bariton dari pria paruh baya berjas putih itu menbuyarkan lamunanan singkatnya.
 "Saya--saudaranya, Dokter. Bagaimana kondisi pasien?" ucapnya sedikit gelagapan.
"Terdapat benturan keras di kepala pasien sehingga menyebabkan pendarahan yang cukup hebat. Sampai saat ini pasien belum sadarkan diri."
"Lakukan apa pun demi kesembuhan pasien, Dokter." Pria itu mengucapkannya penuh harap. Bahkan, cairan bening di pelupuknya mengantri untuk menetes. Hanya dengan sekali kedipan mata, bening itu akan luruh.
"Sebelumnya kami akan melakukan beberapa tes laboratorium kepada pasien. Oleh karena itu kami membutuhkan persetujuan dari keluarga pasien." Pria itu mengangguk secepat kilat. Setelahnya, Abil pergi mengikuti dokter di belakang dengan jarak yang lumayan jauh.
Kini, malam telah memasuki lebih dari separuhnya. Hawa dingin berkeliaran membuat Abil kembali mengeratkan jaket yang dikenakannya. Setelah melaksanakan salat isya', seperti biasanya Abil membuka mushafnya untuk melanjutkan muraja'ah dengan menggunakan lagam nahwand. Lagam yang selalu mengingatkannya pada seseorang. Sosok yang begitu ia rindukan.
Suara itu terdengar parau dan tercekat di tenggorokan, tetapi sebisa mungkin Abil berusaha tegar sampai ayatnya habis. Tetesan demi tetes membasahi Qur'an kecil pemberian mendiang adik perempuannya. Tanpa Abil sadari, gadis yang terbaring dengan alat medis yang melekat di sebagian tubuhnya perlahan menggerakkan jemarinya. Netranya sedikit mengerjap, dari ujung matanya cairan bening itu luruh. Setelahnya, Bayyinah membuka kelopak mata. Menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya di ruangan. Mendengar suara itu, Bayyinah kembali memejamkan matanya, menikmati lantunan yang berhasil membuatnya tersadar dari komanya. Selain itu lantunan yang dibacakan Abil mampu membuat dadanya terasa sesak.
Semakin Bayyinah mendengarkannya, hatinya semakin bergemuruh. Dulu, ketika semuanya masih baik-baik saja ia juga sangat hapal dengan surat yang dibaca oleh gadis itu. Bahkan tidak hanya ayatnya saja, melainkan arti dari surat tersebut. Namun, berbeda dengan sekarang. Semuanya seolah hirap bersama dengan segudang kebencian yang menguap.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar." Abil yang menyadari bahwa Bayyinah telah sadarkan diri itu menutup mushafnya.
"Apakah perlu saya panggilkan dokter supaya bisa memeriksa keadaan kamu?" Bayyinah menggeleng secepat kilat.
"Apa kamu sering membacanya?" tanyanya terdengar sedikit ambigu. Bayyinah menatap ke arah gadis itu, pun sebaliknya. Sepertinya gadis itu paham ke mana arah pembicaraan ini.
"Biidznillah. Saya selalu membacanya selepas salat." Pria itu menjawab sekenanya.
"Mengapa?" Abil menatap sekilas wajah lugu itu. Seperti ada yang ingin gadis itu tanyakan dari raut wajahnya.
"Bukan tentang mengapa, tapi bagaimana. Bagaimana caranya supaya saya selalu istiqomah, menjadikannya sebagai teman bukan hanya sekedar kewajiban." Entah mengapa Abil bisa melontarkan kalimat sepanjang itu. Seperti ada teman yang pas untuk berbagi cerita.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" Benar dugaan Abil. Ada sesuatu yang ingin gadis itu ketahui.
"Saya hanya tidak ingin membuatnya menunggu. Al-Quran itu tidak menuntut, ia hanya menunggu. Menunggu seorang teman yang akan membacanya dengan keikhlasan bukan paksaan." Bayyinah tersenyum tipis mendengar kalimat yang diucapkan oleh pria itu. Entah mengapa hatinya selalu merasa tenang jika berada di dekat Abil. Kalimat pertama yang berhasil memohok relung hati Bayyinah.
"Kamu beruntung sekali mempunyai Abi." Tanpa sadar bibir itu mengucapkannya.
"Kamu juga pasti memiliki ayah yang sangat sayang padamu." Kalimat itu seperti tombak yang siap momohok relung hatinya. Senyumnya mulai mengendur ketika mendengar penuturan Abil.
"Ayah?" Abil mengangguk cepat. Sementara gadis itu menatapnya begitu dalam, seolah siap untuk menyelaminya.
"Tapi sayangnya saya tidak seberuntung kamu. Sampai detik ini seseorang yang saya jadikan panutan memang ada di sini, tapi raganya telah tiada." Gadis itu mengucapkannya seraya mendekatkan tangannya di dada. Abil terdiam, otaknya bekerja dua kali lebih keras dari biasanya. Beberapa detik membisu, ia paham dan langsung menunduk dalam, pandangannya mengabur.
"Ah, Maaf." Bayyinah menggeleng mendengar permintaan maaf itu. Kemudian mengusap jejak bening yang sempat jatuh membasahi pipinya.
"Tidak apa-apa. Bukankah kematian memang berita yang benar adanya?" Jedanya sejenak. Berusaha untuk mengumpulkan keberanian dalam mengatakan rangkaian kata yang telah disusun rapi kepada gadis yang berada di hadapannya.
"Seperti yang ada dalam surah Ali-Imran ayat 185. Bahwa tiap--"
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan Abilukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." Abil menatap tidak percaya. Bagaimana mungkin gadis itu tahu, itulah yang dipikirkannya sekarang. Dia berbeda. Sepertinya gadis itu paham agama, tapi ada sejuta trauma yang membuatnya melepas keyakinannya.
"Saya tidak tahu bagaimana latar belakangmu dan masa kelam apa yang telah menimpamu. Namun, sepertinya kembali bersujud pada Sang Pencipta adalah jalan terbaik." Gadis itu terdiam. Binar matanya berkaca-kaca. Entah karena hawa dingin sehingga membuat netranya terasa perih atau memang hatinya benar-benar tersayat akan kalimat itu. Ah, lagipula entah mendapatkan keberanian dari mana, tiba-tiba Abil mengatakannya.
"Benarkah?" Setelah sekian lama membisu, Bayyinah berhasil merangkai kata demi kata, gadis itu akhirnya mengatakan seraya menoleh. Bayyinah sedikit mengucek iris matanya yang berair. Sementara pria itu hanya mengangguk kepala pelan.
"Saya rasa kamu salah. Saya bukan yang terbaik." Pernyataan itu membuat Abil merasakan sesuatu yang berbeda, seperti bukan gadis pemabuk yang pertama kali ia temui.
"Hanya Allah yang tahu mana yang terbaik. Setiap manusia itu bisa berubah. Bukankah Allah sebaik-baiknya Sang Pembolak-balik hati manusia?"
"Apakah saya bisa berubah?" Sekali lagi Abil menyelami manik hitam gadis yang terbaring di sampingnya.
"Mengapa tidak? Orang yang buruk di masa lalu, bisa jadi lebih baik di masa depan. Begitu pula sebaliknya. Bukankah Allah adalah sebaik-baiknya Sang Perencana?" Beberapa detik kemudian, obsidian itu menghipnotis, membuatnya seolah berada di dimensi lain. Hatinya terketuk. Apa yang dikatakan pria itu benar. Setiap orang bisa berubah.
Satu minggu telah berlalu setelah peristiwa nahas itu dan kini kondisi Bayyinah berangsur-angsur membaik. Cuaca hari ini cukup terik. Ditambah lagi dengan lalu-lalang kendaraan yang telah tercemari oleh knalpotnya semakin membuat bumi kehilangan wajahnya saja. Bahkan beberapa kali mereka terhenti dengan ungkapan umpatan. Inilah ibu kota, yang memang terkenal dengan kemacetannya. Berbeda jauh dengan kampung halaman tempatnya tinggal yang masih asri, tenang, serta jauh dari hiruk pikuknya kerusuhan. Pohon besar di dekat danau merupakan tempat favoritnya. Terlebih lagi perahu tua yang sering kali ia naiki dengan mending abinya. Mengingat semua itu hanya membuat kerinduannya semakin menggunung, memintanya untuk kembali
Tak berselang lama mobil hitam itu terhenti, tetapi bukan di rumahnya melainkan di jalan raya. Bayyinah menyandarkan tubuh dengan atensinya yang menatap nanar ke luar jendela. Tak sengaja netranya menangkap sosok anak kecil yang tengah menggendong adik perempuannya seraya menawarkan tisu pada setiap deretan mobil yang terjebak kemacetan. Hatinya tersayat, sesaat ketika anak laki-laki itu berhenti tepat di samping mobil milik Abil. Menjajakan tisunya kepada mobil sebelah. Namun, hanya tolakan yang ia dapatkan. Wajahnya berubah sendu dan layu. Terlebih lagi ketika seorang pria paruh baya yang dengan kasar mendorong sosok laki-laki kecil itu hingga tersungkur ke aspalan membuat sebagian dari tisunya berserakan.
"Aku lapar, Mas. Sudah tidak tahan lagi, perutku lerih." Gadis kecil dengan kuncir kuda itu merengek. Tangannya meremas pelan perutnya yang mulai berbunyi.
"Nanti kalau mas sudah dapat uang, mas belikan nasi ya, Dek." Bayyinah bangkit dan mendekat ke arah jendela. Ketika ia akan membuka jendela mobil, pria di depannya lebih dahulu memanggil sosok kecil yang mau tidak mau harus menjadi tulang punggung itu.
"Sudah laku berapa biji tisunya, Nak?" Ia menoleh seraya mengucek irisnya yang berair. Anak laki-laki itu mendekat dengan sedikit keraguan. Tidak ada jawaban, hanya gelengan kepala seraya menatap barang dagangannya.
Abil tersenyum seraya mengelus puncak kepala anak laki itu. Ia kembali pada posisi semula, tangannya meraba saku celana dan mengambil benda berwarna hitam yang berisikan lembaran uang dan beberapa kartu penting miliknya.
"Apakah saya boleh membeli tisu itu?" Pria itu kembali bertanya. Anak laki-laki itu hanya bisa mengangguk lemah seraya menyodorkan tisu ke arah Abil. Sesaat kemudian, pria itu melakukan hal serupa. Menyodorkan tangan, memberikan sejumlah uang kertas berwarna biru kepada anak laki-laki itu. Di detik yang sama ia mendongak, menatap tak percaya ke arah Abil kemudian kembali menjatuhkan pandangan pada nominal uang tersebut.
"Ambil, Nak. Ini rezeki untuk kamu dan adikmu. Beli makanan yang enak ya buat Adek. Semangat mencari uangnya, semoga rezekinya lancar." Dengan tangan yang gemetar, sosok rapuh itu mengambil alih lembaran kertas dari tangan Abil. Segurat senyum simpul terbit dari bibir manisnya. Senyum tulus yang menenangkan. Bayyinah tersentuh, tanpa sadar ia mulai meneteskan air mata.
Bayyinah mengelas sebagian wajahnya yang dibasahi oleh air mata. Ia kembali seperti posisi semula, punggung yang tersadar dengan kelopak mata Bayyinah menutup sempurna. Beberapa menit kemudian, kesadarannya menghilang.
"Bayyinah." Suara bariton terdengar begitu sangat pelan, perlahan gadis itu membuka matanya. Namun, seketika sekujur badannya membeku ketika tatapan elang itu tengah menatapnya. Gadis lugu itu hanya bisa menahan napas sejenak. Bagaimana tidak terkejut, ini adalah kali pertama mereka saling beradu pandang.
"Astagfirullahalazim. Maaf, Mas. Bayyinah ketiduran." Pria itu tersenyum membuat Bayyinah benar-benar malu. Apa benar pria itu melihatnya ketika tertidur? Sedetik kemudian, gadis itu menatap ke sekitar penjuru, tanpa ia sadari, mereka sudah berada di depan gerbang rumahnya.
Gadis itu membuka pintu mobil dengan cepat, berjalan menjauh. Pria itu juga turun dari mobilnya dan membawakan beberapa barang milik Bayyinah. Pria itu tidak masuk, melainkan hanya berdiri di ambang pintu saja. Bayyinah menatap tajam wajah pria itu sehingga ia melupakan suatu hal. Adakah kalian yang bisa menebaknya?
"Syukron, Mas Abil. Jazakallahu khairan katsiran." Langkah gadis itu mundur secara perlahan dan berbalik. Ia hampir saja lupa untuk mengucapkan terima kasih.
"Wa iyyaki, Bayyinah," jawabnya sebelum berlalu pergi. Pria itu mendongak, menatap di mana Bayyinah masih diam mematung.
"Ma'assalamah wa anti, Bayyinah." Abil tersenyum simpul sesaat setelah menjawab penuturan Bayyinah. Setelahnya pria itu masuk ke dalam mobilnya. Tak berselang lama mobil itu benar-benar menghilang dari pandangan yang hanya menyisakan Bayyinah dengan wajah tiba-tiba seperti kepiting rebus.
"Ada lagi?" Gadis itu tersenyum, menampilkan deretan gigi putih yang berjajar rapi. Setelah sekian lama sama-sama membisu, pria itu memulai percakapan terlebih dahulu.Â
"Fii amanillah, Mas." Pria itu hanya mengangguk. Sedetik kemudian sorot lampu mobil menyala. Sementara gadis itu membalikkam badan dan melangkah masuk. Namun, belum setengah dari langkahnya suara bariton dari belakang membuat aktivitasnya terhenti.Â
"Pertahankan, Bayyinah. Kamu terlihat cantik jika memakai jilbab panjang itu." Telak. Lengkungan manis dari bibir mungilnya terbit membuat Bayyinah tak dapat lagi menyembunyikannya. Merona. Warna merah menjalar begitu cepat ke sekujur wajahnya. Oh Allah, bolehkah ia mengartikan kalimat itu sebagai perhatian kecil? Sungguh, sekarang ia ingin sekali terbang menembus awan. Kupu-kupu seakan beterbangan di perutnya dan menggelitiki.Â
Sesaat setelahnya, mobil itu melaju dan dalam seperkian setik saja mobil itu menghilang dari pandangannya.Â
Pria itu? Berkat pria itu, inilah Bayyinah sekarang. Seorang gadis yang berhasil menemukan jati dirinya kembali. Sesosok pria yang berhasil membawa Bayyinah keliar dari belenggu poros yang hitam. Pria yang berhasil meyakinkannya bahwa takdir Allah adalah yang terbaik.
Hidup ini seperti mangkuk. Semua orang mendapatkan posisinya masing-masing dari Ilahi. Pun tidak semua suapan terakhir dalam kehidupan akan berakhir tawa maupun air mata. Kecuali hidup itu adalah mimpi. Memangnya kenapa jika tidak ada kisah yang happy maupun sad ending? Kenyataannya ending sebuah kisah dalam kehidupan ini adalah kematian. Ketika roh dan raga yang terpisah dari kuku yang tercabut dari jarinya.
Jika kita tidak mendapatkan kebahagiaan, bukan karena Allah tidak adil. Namun, di sanalah letak keadilannya. Bukankah Allah tidak akan menguji seseorang di luar batas kesanggupannya? Semakin besar Allah mengujimu, semakin besar pula cintanya Allah kepadamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H