Pendahuluan
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan kebijakan yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Perubahan ini dilakukan secara bertahap, dimulai dengan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. Saat itu, meskipun ada reaksi dari berbagai pihak, termasuk pelaku usaha yang merasa terbebani, respons publik masih relatif dapat dikendalikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemahaman masyarakat terhadap kondisi keuangan negara yang terdampak pandemi serta masih banyaknya kebijakan bantuan sosial dan subsidi yang diberikan pemerintah. Namun, situasi berubah drastis ketika rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang akan berlaku per 1 Januari 2025 semakin mendekati realisasi.
Gelombang penolakan terhadap kebijakan ini merebak di berbagai media massa dan media sosial, dengan banyak masyarakat yang mengungkapkan kekhawatiran bahwa kenaikan tarif ini akan semakin memperberat kondisi ekonomi mereka. Berbagai penelitian pun mengindikasikan bahwa kebijakan ini berpotensi membawa dampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Menurut penulis, fenomena ini tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi semata, tetapi juga berkaitan dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Isu-isu politik, mulai dari dinamika pemilu hingga viralnya pernyataan "PERINGATAN DARURAT," semakin memperkuat efek bola salju (snowball effect) yang berkontribusi terhadap trust issue masyarakat terhadap pemerintahan yang baru. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam merespons kritik serta menyesuaikan kebijakan sebagai bentuk kompromi terhadap tuntutan publik.
Dinamika Kebijakan PPN 12% dan Respons Publik
Dalam struktur penerimaan negara, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memegang peranan yang sangat signifikan. Selama tiga tahun terakhir (2022--2024), kontribusi PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap total penerimaan dalam negeri mencapai rata-rata 27,76%, menjadikannya sumber pendapatan terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh) yang menyumbang rata-rata 39,38%. Secara teori, pajak memiliki empat fungsi utama, yaitu fungsi anggaran (budgetair), pengaturan (regulerend), stabilisasi, dan distribusi pendapatan. Dalam konteks PPN, fungsinya lebih ditekankan pada tiga aspek utama: pertama, sebagai sumber pendanaan utama untuk membiayai program pemerintah; kedua, sebagai instrumen regulasi yang mengatur perilaku bisnis dan konsumsi masyarakat; dan ketiga, sebagai alat untuk menstabilkan serta mengendalikan kondisi perekonomian. Oleh karena itu, PPN merupakan instrumen fiskal yang vital bagi negara. Namun, karena sifatnya yang dikenakan langsung pada konsumsi masyarakat, perubahan tarif PPN harus dilakukan dengan cermat agar tidak menciptakan dampak berantai (multiplier effect) yang dapat merugikan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah menghadapi dilema dalam menentukan sumber pembiayaan negara, yang pada dasarnya berasal dari dua opsi utama: pendapatan dari pajak atau pembiayaan melalui utang. Setiap pilihan memiliki konsekuensi tersendiri. Jika pemerintah memilih untuk meningkatkan pajak, beban akan meningkat bagi masyarakat dan pelaku usaha, yang berpotensi menekan konsumsi dan investasi. Namun, jika pemerintah lebih mengandalkan utang, maka beban bunga dan kewajiban pembayaran kembali akan membengkak, yang pada akhirnya juga membebani keuangan negara dalam jangka panjang. Dalam kasus kebijakan PPN 12%, pemerintah harus menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal dan kondisi ekonomi nasional. Menentukan tarif PPN yang optimal menjadi tantangan tersendiri---jika tarif terlalu tinggi, masyarakat dan pelaku usaha cenderung menghindari pembayaran pajak atau mengurangi konsumsi, sedangkan jika tarif terlalu rendah, pemerintah tidak akan memiliki cukup dana untuk membiayai program pembangunan dan kesejahteraan sosial dengan maksimal. Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus dirancang secara hati-hati agar tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga memperhitungkan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat luas. Salah satu kekhawatiran utama adalah dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik di Indonesia. Kenaikan tarif ini dipandang akan menambah beban ekonomi kelompok rentan, memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan, serta semakin menggerus kesejahteraan rakyat. Selain itu, lonjakan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN juga dikhawatirkan akan meningkatkan ongkos produksi bagi pelaku usaha, terutama sektor yang bergantung pada bahan baku impor atau memiliki rantai produksi panjang. Efek domino ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi karena daya beli yang melemah dapat mengurangi konsumsi, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari perspektif ekonomi mikro, kenaikan tarif PPN berimplikasi langsung terhadap peningkatan harga barang dan jasa. Berdasarkan hukum permintaan, kenaikan harga barang akan menurunkan permintaan konsumen, yang pada akhirnya dapat menghambat aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan PPN juga dapat memicu inflasi yang sulit dikendalikan, terutama jika produsen harus menaikkan harga untuk menutupi beban pajak yang lebih besar. Para pelaku usaha khawatir bahwa inflasi yang tinggi dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan menekan profitabilitas bisnis mereka. Sementara itu, bagi konsumen, kenaikan harga barang akan berdampak pada penurunan daya beli yang signifikan, memperburuk kondisi kelompok ekonomi menengah ke bawah yang selama ini sudah berjuang menghadapi tekanan ekonomi. Jika inflasi tidak dikelola dengan baik, maka bukan hanya konsumsi yang menurun, tetapi juga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang akan semakin tergerus.
Adaptasi Kebijakan: Apakah Efektif atau Sekadar Kompromi?