Mohon tunggu...
Diah Noor Intan Sari
Diah Noor Intan Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahsiswa

Semangat menulis!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Praktik Prostitusi Anak di Indonesia

18 April 2021   10:33 Diperbarui: 18 April 2021   11:46 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Praktik prostitusi anak di bawah umur semakin marak terjadi di Indonesia. Seperti kasus beberapa waktu lalu dimana seorang artis bernama Cynthiara Alona yang diduga menyediakan tempat praktik prostitusi dan ternyata ditemukan 15 pekerja seks komersial (PSK) yang masih di bawah umur[1]. Prostitusi anak merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Prostitusi Anak menurut ECPAT Internasional (2008:6) sebagaimana dikutip oleh Supriyadi,dkk (2017:6) "merupakan tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain." Praktik prostitusi anak di bawah umur dilakukan secara gelap, bahkan diperkirakan sudah tersebar luas di Indonesia. Bukan hanya orang biasa saja, namun beberapa publik figur juga kedapatan berkecimpung dalam kegiatan ini. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini Indonesia menghadapi bahaya prostitusi tidak hanya yang dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga praktik prostitusi pada anak di bawah umur. Oleh karena itu, pelaku yang membuka praktik prostitusi untuk anak di bawah umur harus dijatuhi hukuman yang pantas dan praktik jenis ini harus diberantas habis hingga ke akar-akarnya sehingga anak-anak Indonesia terjamin keselamatannya dari kejahatan tersebut.

            Untuk menghasilkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat, membuka tempat praktik prostitusi mungkin merupakan salah satu caranya. Akan tetapi, menurut pandangan islam seorang muslim wajib mencari nafkah yang halal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara atau jalan yang halal juga. Prostitusi sendiri dicap haram oleh agama islam karena islam melarang perzinahan jika seseorang tersebut tidak terikat dalam suatu hubungan yaitu pernikahan. Jadi, seseorang yang mencari nafkah melalui jalan yang haram maka Allah Swt. akan menimpakan kemurkaannya kepada orang tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya :

 "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."

Kemudian Allah Swt. juga berfirman dalam surah Thaha ayat 81 yang artinya:

 "Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia."

Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt. akan menimpakan kemurkaannya kepada manusia jika mencari nafkah melalui jalan yang salah dan Allah Swt. memerintahkan untuk memakan rezeki yang baik lagi halal. Apabila melihat hal ini, sudah jelas bahwa orang yang mencari nafkah dengan membuka tempat protitusi apalagi praktik prostitusi anak akan mendapatkan kemurkaan dari Alah Swt. baik di dunia maupun di akhirat. Bukan hanya mendapatkan kemurkaan Allah Swt., tetapi sel tahanan juga akan menunggunya karena perbuatan ini merupakan pelanggaran hukum di Indonesia.

            Praktik prostitusi anak di bawah umur tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Di Indonesia pelaku prostitusi anak akan diadili sesuai dengan regulasi yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Ratifkasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Protitusi Anak, dan Pornografi Anak, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU No. 10 Tahun 2012 ini mengajak dilakukannya pembaruan hukum sehingga melarang dan memidanakan kegiatan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak. Kemudian di dalam UU No. 35 tahun 2014 pasal 76I dan pasal 88 dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak demi dirinya sendiri atau untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, termasuk mucikari akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.

 Sementara itu, KUHP melarang aktivitas yang dengan terencana menyebabkan atau menyediakan kegiatan pencabulan terhadap anak oleh orang lain serta didalamnya terdapat ketetapan yang bisa dipakai untuk memidanakan pelacuran anak. Dalam pasal 296 KUHP yang berbunyi :

Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

R. Soesilo (2013:217) menjelaskan bahwa "pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya." Selanjutnya pasal 506 menyebutkan bahwa " Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun." Hukuman juga dapat dijatuhkan kepada orang dewasa yang bersetubuh dengan seorang wanita yang umurnya belum 15 tahun di luar perkawinan, hal ini berdasarkan pasal 287 KUHP yang berbunyi :

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganyan bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

Adanya regulasi ini bertujuan untuk menghukum pelaku, melindungi korban, serta memberi peringatan kepada orang lain agar tidak menjalankan praktik prostitusi maupun prostitusi anak di bawah umur sebagai pencahariannya karena praktik ini dapat menyebabkan dampak lain seperti penularan penyakit HIV/AIDS pada orang dewasa maupun anak-anak.

            Salah satu cara penularan penyakit HIV/AIDS adalah hubungan seksual. Praktik prostitusi merupakan tempat yang dapat penularan virus HIV. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4, sedangkan AIDS merupakan tahap akhir dari HIV yang saat awal terinveksi virus ini tidak segera diobati. Menurut laporan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, 9 November 2020[2], bahwa jumlah kumulatif penemuan kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan September 2020 sebanyak 409.857 orang, sedangkan kasus AIDS yang dilaporkan hingga September 2020 sebanyak 127.873 orang. 

            Dari laporan yang sama, diketahui bahwa jumlah penemuan kasus HIV Triwulan III (Juli-September) ditemukan sebanyak 9.165 kasus HIV. Jika dikelompokkan menurut kelompok umur (Juli-September), sebagian besar ditemukan pada kelompok umur 25-49 tahun yakni sebesar 69%, diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,1%), kelompok umur 50 tahun (8,2%), dan kelompok umur 15-19 tahun (3,4%). Kemudian jika dikelompokkan menurut kelompok populasi, diketahui bahwa pada kelompok populasi WPS ( Wanita Pekerja Seks) sebesar 3,9%.

            Selanjutnya jumlah kasus AIDS yang ditemukan pada triwulan III (Juli-September) 2020 sebanyak 2.286 kasus. Jika dikelompokkan berdasarkan kelompok umur, diketahui bahwa kelompok umur 30-39 tahun merupakan kelompok dengan persentase AIDS tertinggi (33,2%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (31,6%), kelompok umur 40-49 tahun (18,2%), serta pada kelompok umur 15-19 tahun (3,9%). Lalu faktor resiko tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (74,8%). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa walaupun sebagian besar diderita oleh orang dewasa, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak pun dapat tertular penyakit HIV/AIDS seperti yang terdapat dalam data anak-anak umur 15-19 tahun yang menderita HIV sebesar 3,4 % dan yang menderita AIDS sebesar 3,9%. Walaupun jika dilihat angka tersebut bisa dibilang kecil, tetapi yang perlu diingat adalah bahwa angka tersebut mewakili kasus yang dilaporkan, sehingga kemungkina besar masih banyak anak di bawah umur yang menderita HIV/AIDS namun tidak terdeteksi. Itulah tiga dari sekian banyak alasan kenapa praktik prostitusi anak di Indonesia harus diberantas.

            Beberapa orang mungkin berargumen bahwa merupakan keinginan anak itu sendiri untuk terlibat dalam praktik pelacuran ini sehingga ia dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan dengan adanya praktik prostitusi ini ada dampak positifnya bagi masyarakat sekitar tempat pelacuran tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Subhi Azis Suryadi (2011:133) bahwa "dampak positifnya, perekonomian masyarakat sekitar terbantu, dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar, seperti adanya tukang parker, ada yang membuka warung-warung makanan ataupun took-toko kecil." Namun, perlu ditegaskan bahwa bukan merupakan keinginan anak untuk terlibat dalam hal tersebut, tetapi didorong oleh keadaan mereka sendiri. Menurut Supriyadi,dkk (2017:7) bahwa :

Isu kuncinya adalah bahwa bukan anak-anak yang memilih untuk terlibat dalam pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barang-barang konsumtif, tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial, dan pelaku-pelaku individu ke dalam situasi-situasi dimana orang deasa memanfaatkan kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan kekerasan seksual kepada mereka.

Permasalahan sebutan "pelacur anak" menunjukkan seolah-olah anak memilih hal tersebut sebagai pekerjaan. Padahal jelas bahwa anak-anak hanya korban kekerasan karena orang dewasa sendiri yang menciptakan "pelacur anak" untuk dijadikan objek seks atas permintaan mereka, penyalahgunaan kekuasaan, dan keinginan untuk menghasilkan keuntungan[3].

            Praktik prostitusi anak di bawah umur di Indonesia harus diberantas habis hingga ke akar-akarnya dan tentu saja pelaku yang membuka praktik ini juga harus dijatuhi hukuman yang pantas. Alasan kenapa hal ini harus dilakukan, yang pertama, jika dikaitkan dengan agama islam, tentu saja hal ini dianggap haram dan pelakunya akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt. entah itu di dunia maupun di akhirat nanti. Yang kedua, perbuatan ini melanggar undang-undang di Indonesia. Indonesia merupakan Negara hukum, jadi segala aspek kehidupan harus berdasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia dan apabila dilanggar akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku. Selain melanggar hukum, hal ini juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Alasan yang ketiga adalah perbuatan ini menimbulkan dampak penularan penyakit HIV/AIDS yang merupakan jenis penyakit yang hingga saat ini sulit untuk disembuhkan, hanya bisa memperlambat penyebarannya saja. Oleh karena itu, ayo meawan praktik prostitusi anak di Indonesia, tidak hanya pemerintah dan pihak yang berwajib saja, namun masyarakat juga harus turut serta dalam melawan prostitusi anak agar kehidupan anak-anak di Indonesia bisa bebas dari kekhawatiran dan terjaminnya keselamatan mereka dari kejahatan ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

 Republika.co.id. 2021.  diakses 10 April 2021

Eddyono, S.W. and Rio Hendra, A.A.B., 2017. Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya. Institute for Criminal Justice Reform.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Ratifkasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Protitusi Anak, dan Pornografi Anak.

Soesilo, R., 2013. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Bogor: Politeia.

https://siha.kemkes.go.id/ diakses 11 April 2021

Suryadi, S.A., 2011. Interaksi Sosial Antara Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning Kota Semarang) (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Semarang).

Yanto, O., 2016. Prostitusi Online sebagai Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak: Telaah Hukum Islam dan Hukum Positif. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 16(2), pp.187-196.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun