Aroma roti bakar dan telur mata sapi menyemarakan suasana pagi, menggelitik perut untuk segera menyantapnya. Sinar mentari tumpah masuk ketika gorden terkuak.
Namun Tina masih tetap bersembunyi di bawah selimutnya. Lingerie warna merah berenda hitam, dikibar-kibarkannya di atas selimut.Â
‘’Tin, please, nanti kau telat, ini sudah hampir jam setengah delapan,’’ Romy mengingatkan
Tina bukannya bangun, sekali gerak disingkapnya selimut. Tubuh telanjang Tina kini menantang Romy yang sedang sibuk mengatur gorden dan membuka jendela.
‘’Hormonku lagi loncat-loncat,’’ ucap Tina.
‘’No Tina, aku lagi gak mood!’’
Akhirnya langkah gontai Tina beranjak menuju kamar mandi.Â
Tiga tahun sudah Romy kehilangan pekerjaannya, kini ia menguasai ruang dapur, mesin cuci, dan meja setrika. Selama itu tak pernah Romy mengeluh. Inilah yang membuat Tina menjadi sangat sayang pada suaminya. Kebanggaanya ini sering loncat keluar dari bibirnya ketika saat makan siang di kantor. Kolega Tina yang mendengarpun menggigit mengiri.
‘’Moga dia gak sukses dapat kerjaan baru, biar pakaianmu licin dan makanan enak,’’ seloroh Anita koleganya.
‘’Huss, emangnya pembantu,’’ balas Tina.
‘’Pembantu luar dalam,’’ kembali Anita menganggu. Mereka tertawa menanggapinya.