Pancasila, kerangka toleransi untuk negara Indonesia, harga mati. Tidak bisa kita tawar lagi untuk mengubahnya atau menghapusnya, apalagi menganggapnya sebagai ''isme'' yang menyesatkan. Ya, isme, sekali lagi saya katakan isme, oleh karena akhir-akhir ini segelintir manusia atau kelompok tertentu mulai goyah untuk mencerna keampuhan Pancasila sebagai alat pemersatu rakyat Indonesia yang terdiri dari aneka suku dan adat istiadat. Bahkan dengan beraninya kelompok ini mencap Pancasila sebagai ''haram'' untuk dipercayai sebagai alat pemersatu bangsa. Prihatin!
Sangat mengejutkan bagi kami warga negara Indonesia yang mengabdi untuk negerinya dan kini berada di negeri asing melihat situasi ini. Menyayat hati dan mencabik-cabik pikiran kami apabila harus memelototi status bebas dengan gaya berani penulisnya pada sosial media seperti Facebook dan tweeter. Penulis status sosial media itu rata-rata generasi penerus bangsa ini, yang notabene belum satu (1) kali pun dalam hidup mereka berbuat sesuatu yang positif untuk kemajuan negerinya, apalagi menjadi pahlawan bangsanya.Â
Pancasila sedang kena uji, Pancasila terkikis, Pancasila kena guna-guna pihak ketiga
Silahkan anda baca sendiri buku sejarah Indonesia tentang bangsa dan negara ini. Literaturnya banyak pada perpustakaan.
Lalu pertanyaan kita, mengapa generasi muda kita akhirnya terpancing, dan merasa dirugikan dengan Pancasila? Apa yang hilang? Siapa yang salah?Â
Inilah kronologis pertanyaan sederhana kita untuk memahami situasi akhir-akhir ini tentang mengapa ada sekelompok bangsa Indonesia yang menentang Pancasila, bahkan memakinya sebagai alat pencuci otak bangsa yang tidak tepat, haram untuk dibaca apalagi dipahami.
Kalau penulis status pada sosial media itu paham dan tau betapa harga tanah tiap jengkal negeri ini dari Sabang sampai Merauke kita bayar dengan darah sendiri, lewat perlawanan gigih para pahlawan di tiap-tiap daerah nusantara, bahkan ada pahlawan tanpa nama dan tanpa jasa serta penghormatan yang gugur karena membela negeri ini, maka saya jamin penulis status itu atau mereka yang ragu akan Pancasila pasti tidak akan semena-mena menghina apalagi berusaha untuk mematikan Pancasila, atau menggantinya dengan sila-sila lain yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Siapa yang salah, pemerintah? pihak sekolah? rumah ibadah? ormas? orang tua?
Untuk menjawab hal yang tepat maka kita harus kembali pada diri kita sendiri, melihat lingkungan terdekat diri kita. Bagaimana kita melakukan kontak sosial dalam kehidupan kita sehari-hari.Â
Seseorang akan menjadi ekstrem bukan datang dengan sendirinya atau terbentuk dengan begitu saja. Seseorang menjadi ekstrem oleh karena faktor-faktor. Dan faktor ini yang berperan besar mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang. Faktor itu banyak; lingkungan hidup di rumah, keluarga, sekolah, daerah tempat tinggal, rumah ibadah dan organisasi massa dan politik.
Kita jangan secara eksplisit langsung menuduh bahwa ini kesalahan dari kelompok tertentu, oleh karena faktor x ini bisa juga datang dari gerakan bawah tanah untuk kepentingan politik yang hari-harinya banyak bergerak dalam aksi politik praktis.Â