Mohon tunggu...
Della Anna
Della Anna Mohon Tunggu... Blogger,Photographer,Kolumnis -

Indonesia tanah air beta. Domisili Belanda. Blogger,Photographer, Kolumnis. Berbagi dalam bentuk tulisan dan foto.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Teladan Buruk Parlemen 'Plintat Plintut,' Generasi Muda Kritis Tetapi Rentan

28 November 2014   00:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:40 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan uneg-uneg (kami) generasi tua;

Saya katakan 'rentan' jangan menantang lagi menjadi 'retan' Lihat sana kamus!

Apa sih yang kita peroleh dari perdebatan cuap-cuap para pejabat yang nongkrong di parlemen? Apa sih yang bisa kita petik sebagai teladan apalagi sebagai pembelajaran untuk generasi muda Indonesia, calon pemimpin bangsa dan negara Indonesia di masa yang akan datang ini? Sementara generasi muda Indonesia mempelajari secara empiris, secara teoritis pada masa pendidikan mereka apa itu berorganisasi, apa itu berpolitik dan apa itu bernegara.

Kini, kita sebagai rakyat awam birokrasi menyaksikan dagelan 'wayang wong birokrat' Dan kita menikmati dengan senikmat-nikmatnya sebagai bagian dari era reformasi kebebasan berpendapat (tetapi tanpa kontrol) dan  modernisasi pada seluruh jejaring sosial tanpa memilah, tanpa respek dan komplit dengan cibiran dan makian.

Seperti yang kini kita sebagai rakyat saksikan pagelaran perdebatan, seteru bahkan sampai ancam mengancam baik terjadi pada parlemen dan partai politik.

Terus terang, kita menjadi jemu dan muak. Kita tidak lagi mendapat pencerahan dari mereka yang kita anggap sebagai perwakilan kita di parlemen, di partai politik. Kita justru dibimbing masuk lubang sumur yang kering dan berbahaya. Kita tersesat!

Kita saksikan bagaimana DPR-RI sebagai birokrasi yang kita percaya membawa amanah rakyat ini akhirnya menjadi arena pertarungan ambisi bagi-bagi kue kekuasaan. Mereka tidak lagi menyimpan suara kita sebagai rakyat dalam agenda mereka. Suara kita telah mereka 'peti matikan!' Kini mereka bertarung untuk kepentingan parpol mereka, bahkan untuk persiapan lima tahun yang akan datang. Absurd!

Saya katakan, hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di belahan negara lain. Hanya saja bentuk dan cara penyampaiannya berbeda;

>> Di Indonesia penyampaiannya justru ketika parlemen atau birokrasi sudah harus bekerja merealisasikan agenda yang mereka ajukan sebelumnya dengan cara menolak kerja sama, bahkan mengancam dan sebagainya, hingga perpecahan terjadi atau problem intern menjelma yang akhirnya mengarah dari koalisi berubah menjadi oposisi. Tragis!

>> Di negara lain, seperti yang saya analisa di Belanda dan beberapa negara tetangga seperti Belgia dan Jerman, justru terjadi pada saat masa kampanye, dimana masing-masing partai mengajukan agenda mereka kepada rakyat  sebagai senjata untuk kemenangan parpol. Apa yang mereka ajukan harus membela kepentingan rakyat dan realisasinya ketika parlemen harus bekerja. Kepentingan negara akan dilakukan secara koalisi yang akhirnya keluar sebagai satu suara ke EU/European Union. Siapa yang menjelma menjadi oposisi akan langsung mendapat mosi tidak percaya, dan akhirnya harus keluar dari arena birokrasi. Dan itu berarti parpol itu telah mengecewakan rakyat pemilih. Nah, parpol ini dijamin 100% pada pemilihan selanjutnya baik itu daerah atau pusat tidak akan lagi menuai suara, partai ini akan menurun drastis ditinggalkan rakyat pemilih dan akhirnya sulit merangkak mengaih kepercayaan rakyat.

Bagaimana dengan Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun