Dalam sosiologi ekonomi, konsep embeddedness atau keterlekatan ekonomi sosial menjadi salah satu gagasan penting yang membahas hubungan antara pasar, individu, dan struktur sosial. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Karl Polanyi dalam karyanya The Great Transformation yang membahas bagaimana ekonomi tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan budaya di mana ia beroperasi. Embeddedness menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar murni, tetapi juga oleh norma, nilai, dan relasi sosial yang ada di dalam masyarakat.
Dalam pendekatan klasik ilmu ekonomi, pasar dianggap sebagai entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari konteks sosial. Kegiatan ekonomi seperti perdagangan, produksi, dan distribusi dipandang bergerak secara otonom mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Namun, konsep embeddedness menantang pandangan ini. Polanyi berargumen bahwa pasar tidak pernah sepenuhnya terlepas dari lingkungan sosialnya. Sebaliknya, kegiatan ekonomi selalu terikat oleh jaringan sosial yang mempengaruhi keputusan ekonomi individu maupun perusahaan.
Embeddedness memandang bahwa interaksi ekonomi manusia selalu dimediasi oleh hubungan sosial. Hubungan ini bisa berupa kepercayaan, aturan adat, hingga kekuatan politik. Dengan kata lain, tindakan ekonomi tidak bisa dianalisis hanya dari sudut pandang rasionalitas individu semata, melainkan harus dilihat dalam konteks sosial yang lebih luas. Sebagai contoh, dalam masyarakat pedesaan tradisional, kegiatan jual beli sering kali dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan dan komunitas yang kuat. Keputusan untuk memberikan harga yang lebih murah kepada anggota keluarga atau tetangga adalah bentuk dari keterlekatan sosial dalam ekonomi.
Contoh lain dari embeddedness dapat ditemukan dalam jaringan bisnis modern. Misalnya, perusahaan besar sering kali bergantung pada jaringan relasi mereka dengan pemasok, pelanggan, atau pemerintah. Hubungan-hubungan ini tidak hanya diatur oleh kontrak ekonomi formal, tetapi juga oleh norma kepercayaan dan loyalitas. Perusahaan yang memiliki jaringan sosial yang kuat cenderung lebih stabil dan mampu bertahan dalam persaingan pasar karena mereka memiliki dukungan sosial yang memperkuat posisi mereka secara ekonomi.
Namun, embeddedness juga bisa membawa dampak negatif dalam beberapa konteks. Keterlekatan ekonomi dengan struktur sosial yang tidak seimbang bisa menciptakan ketergantungan yang tidak sehat atau praktik-praktik ekonomi yang tidak adil. Contohnya, dalam sistem ekonomi patron-client, kekuatan ekonomi bisa terkonsentrasi pada kelompok elit yang memiliki kendali atas jaringan sosial tertentu. Hal ini dapat mengekang mobilitas sosial dan menghambat pertumbuhan ekonomi secara inklusif.
Sosiolog Mark Granovetter memperluas konsep embeddedness dengan memperkenalkan dua tipe utama dari embeddedness: relational embeddedness dan structural embeddedness. Relational embeddedness merujuk pada kekuatan hubungan antarindividu dalam jaringan sosial. Dalam konteks ini, kepercayaan dan pertukaran informasi yang lancar antarindividu dapat mempengaruhi transaksi ekonomi secara positif. Sebaliknya, structural embeddedness lebih menekankan pada posisi individu dalam jaringan sosial yang lebih luas, seperti hubungan antara perusahaan dalam suatu industri atau keterhubungan antarorganisasi.
Di dunia modern yang semakin terkoneksi secara digital, embeddedness juga tampak dalam cara orang bertransaksi secara online. Contohnya, di platform e-commerce, kepercayaan antara penjual dan pembeli sering kali tidak hanya dibangun melalui mekanisme formal seperti rating dan ulasan, tetapi juga melalui interaksi sosial yang lebih kompleks, seperti rekomendasi dari teman atau komunitas online. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam ekonomi digital yang tampaknya impersonal, elemen-elemen sosial tetap memainkan peran penting.
Konsep embeddedness juga relevan dalam konteks pembangunan ekonomi di negara berkembang. Banyak kebijakan ekonomi internasional yang mengabaikan konteks sosial lokal, sehingga gagal membawa dampak positif yang diharapkan. Misalnya, program-program reformasi pasar yang dipaksakan di beberapa negara berkembang sering kali tidak berhasil karena mereka tidak memperhitungkan struktur sosial lokal yang mengakar kuat. Oleh karena itu, keberhasilan reformasi ekonomi sering kali tergantung pada bagaimana kebijakan tersebut disesuaikan dengan konteks sosial setempat.
Selain itu, embeddedness juga membantu menjelaskan bagaimana inovasi dan kewirausahaan berkembang dalam masyarakat. Inovasi sering kali muncul dari jaringan sosial yang heterogen, di mana individu dari latar belakang yang berbeda saling berinteraksi dan bertukar ide. Jaringan sosial yang kaya dengan hubungan yang beragam memungkinkan ide-ide baru muncul dan berkembang menjadi produk atau layanan inovatif. Tanpa keterlekatan sosial yang baik, inovasi cenderung lebih lambat atau tidak berkembang.
Dalam kajian ekonomi informal, embeddedness sangat relevan. Di banyak negara berkembang, ekonomi informal -- seperti pasar tradisional, perdagangan kaki lima, dan industri rumah tangga -- sering kali lebih terikat oleh relasi sosial daripada pasar formal. Penjual dan pembeli dalam ekonomi informal sering kali bergantung pada kepercayaan dan hubungan jangka panjang, yang tidak tercermin dalam kontrak atau perjanjian formal. Kegiatan ekonomi dalam konteks ini sering kali lebih stabil karena didasarkan pada norma sosial yang kuat.
Namun, tantangan bagi teori embeddedness adalah bagaimana menjelaskan situasi di mana pasar tampak semakin terpisah dari konteks sosial, seperti dalam ekonomi global yang sangat terdesentralisasi. Di beberapa sektor, hubungan sosial tampak kurang penting dibandingkan dengan mekanisme pasar global yang bergerak cepat. Meskipun demikian, banyak sosiolog ekonomi tetap berpendapat bahwa, meski pasar tampak semakin "bebas", interaksi sosial tetap memainkan peran yang signifikan dalam menentukan arah dan hasil transaksi ekonomi.