Karenanya, penonton yang datang tidak terbatas dari warga sekitar. Yani, warga Samalanga, Bireuen malah rela pergi ke arena “perang”, sekedar untuk menyaksikan langsung “peperangan” ini. “Saya terhibur melihat dan mendengar dentuman karbit,” kata Yani. Kepada acehkita.com, ia mengaku, sebelumnya tak pernah melihat langsung, hanya mendengarkan dari orang.
“Kita mempesiapkannya sampai sepuluh hari,” ulas Iwan. Seolah tak merasa takut, beberapa anak kecil ikut bermain. “Tunggu saja. Kalau malam, malah perempuan juga ada yang bakar.”
“Walaupun ada perasaan takut, karena setahun sekali, ya kita harus memberanikan diri,” kata Jamaluddin, seorang pemain karbit. Bermainnya hanya malam pertama Hari Raya Idul Fitri saja. Karena, malam Idul Adha, hanya sedikit masyarakat perantau yang pulang ke kampung halaman.
Tapi, untuk tahun ini (2011), permainan dilakukan pada malam lebaran kedua. Karena, unsur muspika setempat menghimbau agar malam hari raya pertama difokuskan kepada takbiran. “Dibantu orang GAM polisi menjaga agar tidak ada yang membunyikan karbit pada malam pertama,” ujar Fadhlullah.
Untuk semalam bermain, dana yang dihabiskan tidaklah sedikit. “Ini sekitar delapan juta,” lanjut Iwan. Beredar kabar, beberapa tahun silam malah dana yang dihabiskan lebih dari 30 juta. “Itu dananya dari warga kita yang nyumbang. Ada yang pulang dari Malaysia, Australia, atau yang merantau lah. Mereka menyumbang seiklasnya.” Iwan sendiri adalah peracik Mie Aceh, di Medan, Sumatera Utara.
Ada semacam kekompakan dalam mempersiapkan malam “istimewa” tersebut. Mirja, warga Kampoeng Aree mengatakan, mulai dari pendanaan yang dicari bersama, pembelian karbit, dan pembuatan diolah secara bersama oleh pemuda.
“Malah ada yang khusus bagian logistik.” Iwan sendiri adalah yang mengurus minyak. Minyak tanah yang dicampur bensin disediakan hingga satu drum, yang dipilah ke dalam beberapa jirigen 35 liter. Bergantian, siapa yang butuh langsung menuju ke lapak logistik dengan membawa satu botol air mineral.
Menembak karbit akan seru, bila ada lawan tanding. Karenanya, masing-masing kelompok dari masing-masing desa mencoba untuk menghasilkan suara yang lebih besar. Tentu, pertandingan ini bukan untuk memupuk dendam. Masing-masing mengusung perdamaian. Iwan menjelaskan, kadang-kadang desa sebelah ikut menyumbang untuk beli karbit lawan mereka.
Membuat karbit butuh proses. Mulai menyiapkan drum, hingga drum dilas senyawa untuk menyatukan menjadi satu rangkaian. Katup sumbu dilubangkan sebesar ibu jari. Kemudian, katup depan dilubangkan seukuran timba.
Setelah drum siap digunakan, masukkan ukuran seliter air, dan sebongkah karbit kedalam drum melalui katup depan. Katup jangan lupa ditutup kembali. Tunggu hingga karbit mendidih (karena karbit bila diisi dengan air akan mendidih). Kemudian, buka katup, dan bakar melalui katup sumbu.
Dan, thuumm…… ledakan memekakkan telinga.