Mohon tunggu...
Aboe Bakr Mangun
Aboe Bakr Mangun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni UIN Alauddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jejak Langkah

23 Juni 2012   07:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:38 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawan, kuajak kau berbicara dalam ruang sempit ini. Untuk berbagi cerita tentang nusa dan bangsa, tentang bumi dan manusia, tentang kehidupan dan alam. Semoga semuanya dapat terangkul dalam cacatan ini, sekalipun kita letih untuk menyusun pecahan keramik kisah dan pengalaman yang terlewati, entah masa kecil kita dilorong – lorong kampung, perkampungan yang kumuh ataupun disaat kita mampu mengenal kebiadaban dan kebajikan.

Kawan, sebelumnya aku memohon maaf jika kuterlalu membesarkan sesuatu dan aku yang mendominasi dialog langit dan bumi ini. Tapi kuharap aku mewakili pengalamanmu untuk merefleksi kehidupan dunia ini. Sekalipun itu tak kompleks dalam ruang – ruang penafsiran, karena pengalamanku itu bukan kekayaanmu dan begitupun sebaliknya. Tapi kuharap kita satu persepsi dalam memahami kehidupan ini. Tentang keadilan sosial dan hajatan kita bersama untuk menjerumuskan alam pikiran kita dalam penyelesaian segala problematika ummat manusia. Mungkin begitu kira – kira.

Sebut saja namaku, Baso. Aku dilahirkan di kampung halamanku, Benteng Jampea. Tanggal 09 Oktober [?], bertepatan hari surat – menyurat sedunia. Mungkin ini hari baik bagiku. Aku harus cakap dalam tulis – menulis. Kira – kira ini pesan tersirat.

Kampung halamanku, tanah tumpah darahku. Tanah bersejarah dalam penggalan kisah kehidupan dibumi ini. Tempat dimana kumengenal kebiadaban dan kebajikan. Tempat dimana kumulai menyingkap beda Tuan dan hamba. Beda kaya dan miskin, beda penguasa dan rakyat jelata. Beda tentara – polisi dengan masyarakat buta hukum, tempat dimana muncul segala perbedaan yang tak terbatas. Ruang penjara yanng terasing dari peradaban rasionalitas, modern.

Ilmu pengetahuan hanya milik tuan – tuan, pejabat, penegak hukum, si kaya, si tuan tanah. Ilmu pengetahuan bukan milikmu, milikku sebagai rakyat jelata. Ia tersembunyi di dasar lautan yang dalam, yang tak tertembus sinar mentari. Ilmu pengetahuan sendiri terpenjara dalam dunianya sendiri. Sebab si Tuan sebagai pintu gerbang tak urung niatnya untuk membangun perkampungan yang tolol. Pintu – pintu pengetahuan disumbat agar tak setetespun terpental dilantai rakyat jelata. Sebab si tuan telah tahu, bahwa tanpa sumbatan sama saja memancing semut keluar dari sarangnya.

Belum lagi sang guru, orang – orang yang mesti saya cintai, kau juga kawan tentunya. Dalam nurani kita sebagai murid, tak tega rasanya untuk kita caci – maki. Tapi sadar atau tidak sadar, kehidupan memaksa kita untuk menimbang dan menilai, sebab kita telah ketahui bahwa dihalaman sekolah juga ada ketidak adilan. Juga ada ketidak becusan. Ada tembok atau bahkan jurang antara kita sebagai anak rakyat jelata dengan si anak Tuan. Untuk cukur rambut saja, ada ruang teristimewa bagi mereka. Sementara kita dipaksa untuk mematuhi deadline yang ditentukan, akan tetapi si anak Tuan (Koramil) mesti ditanyakan model rambut dan tidak masalah jatuh tempo. Inilah sisi kehidupan dalam pendidikan formal kala itu yang telah saya lewati. Sangat mengharukan dan menyakitkan. Ini bukan dendam, tetapi kisah yang menjadi anak panah dan menusuk ke dalam jantung hatiku yang dalam.

Kisah yang mesti jadi pelajaran bagi anak rakyat jelata, agar ia berani untuk menerobos dan menggedor pembatas yang terstruktur. Agar ia tampil sebagai kesatria dalam menghadapi dan memprotes ketidakadilan. Ya bandit tetaplah bandit, sekolah sudah tidak menjamin dalam proses memanusiakan manusia. Setidaknya itu kata PAT (singkatan untuk Sang Guru Sastra Nusantara). Apalagi gurunya memang bandit dari awal.

Maaf kawan, aku terlalu emosional dalam bercerita. Hingga kadang tidak terlalu serasi dengan apa yang awal saya bicarakan. Akan tetapi saya tekankan bahwa sejarah manusia, bukan hari kemarin atau hari ini dan hari esok, akan tetapi proses perjalanan. Kita harus nilai dari sisi itu, sebab lahirnya kebangkitan dan keterpurukan bertitik tolak dari gerak proses yang mengalir. Sama dengan apa yang kita alami hari ini, bermula dari ketidak adilan menuju kebangkitan secara rohani dan jasmani. Setidaknya begitu.

BERSAMBUNG.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun