"Wahai keadilan apa kabar? Apalah kau baik-baik saja, sekarang sedang sibuk apa? Begitu sibuk kah sampai-sampai aku tidak pernah melihatmu berkunjung dikehidupanku, dimana kau berada saat keluargaku tidak dapat bantuan. Dimanakah kau berada saat aku kesulitan untuk bersekolah, dimana engkau berada saat aku kehujanan dikelas dengan atap yang menganga,Â
kucari kau ditepi pantai hingga kolong dipan, tapi tidak juga menemukanmu. Ataukah kau sedang sibuk mengurusi orang-orang kota, berkutat dengan kemewahan mereka, Ataukah kau memang tidak pernah ada. Sebatas fiksi di layar kaca" Â begitulah mantra yang tertulis pada buku "Album 11 : 11" karya Fiersa Besari
Indonesia merupakan negara yang menggunakan Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan ideologi yang berisi 5 prinsip yang salang meliputi. Salah satu diantaranya berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia" yang merupakan sila kelima. "Negara Hukum"Â
merupakan perwujudan bangsa Indonesia sebagai implementasi sila ke-5 ini. Sebagai "Negara Hukum" yang artinya segala sesuatu harus berlandaskan huku atau aturan perundang-undangan. Hukum tersebut tentunya harus memiliki keadilan yang berpihak kepada kebenarran, sama rata dan seimbang tanpa adanya titik berat pada satu sisi maupun kelompok terntentu. Di depan hukum, Kedudukan semua orang itu sama, hal ini disebut dengan equality before the law
Namun, pada kenyataannya asas keadilan yang diterapkan pada sistem hukum di Indonesia ini belumlah sempurna. Masih adanya unsur diskriminasi ataupun keistimewaan golongan tertentu bukan menjadi hal asing lagi dalam proses penegakan hukum di negeri ini.Â
Keadilan rasanya dapat dibeli oleh orang yang memiliki  uang dan kekuasaan , yang kahirnya kana mendapatkan hukum yang tidak setimpal denga napa yang ia perbuat. Hal itu berbanding terbalik dengan para rakyat kecil yang seringkali mendapat ketidakadilan bahkan mendapat lebih banyak kesengsaraan apabila berhadapan dengan hukum.
Jika kita melihat beberapa penegakan hukum untuk kalangan masyarakat biasa dengan penegakan hukum dikalangan Pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan lebih, pasti kita akan melihat "ketidakadilan" ini. Mari kita bandingkan contohnya
Kasus yang dapat kita jadikan rujukan sebagai contoh ketidak adilan hukum di Indonesia yaitu kasus yang menimpa bapak Paidi yang merupakan warga kampung Penawar Rejo, unit 1 Kabupaten tulang Bawang , mendapat tuduhan tindak pemerkosaan oleh keponakannya sendiri. Pria berusia 50 tahun ini mendapat hukuman Sembilan tahun penjara serta denda 100 juta rupiah.Â
Ada yang menilai ini tidak adil dalam menerapkan supremasi hukum. Banyak kejanggalan yang terjadi, dimulai dari tuduhan ini dilempar ketika korban mengalami kesurupan atau dalam keadaan yang tidak sadar, saksi yangy dihadirkan tidak ada di lokasi kejadian.Â
Kemudian lucunya keluarga korban bahkan ingin mencabut tuduhannya dan telah menandatangani surat perjanjian damai, kemudian mereka juga mengaku bahwa kalau ini cuma fitnah. Namun hakim tetap melanjutkan proses dipengadilan.
Mahasiswa dan masyarakat yang geram telah menyuarakan suara mereka dengan turun dijalan demi keadilan untuk pak Paidi. Keramaian di media sosial juga turut meramaikan dukungan rakyat Indonesia untuk pak Paidi. Namun hal itu tidak dilihat maupun didengar oleh hakim.