Kasus bunuh diri semakin meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa rata-rata satu orang meninggal karena bunuh diri setiap 40 detik di dunia. Di Indonesia kejadian bunuh diri akibat kesehatan mental menjadi penyebab kematian kedua dengan rata-rata satu jam satu individu meninggal akibat bunuh diri di usia rentan 15-29 tahun (Valentina & Helmi, 2016). Salah satu populasi percobaan dan ide bunuh diri adalah kaum muda termasuk mahasiswa yang mengalami transisi, memasuki pendidikan tinggi sering membawa masalah psikologi (Salsabhilla & Panjaitan, 2019)
Di Indonesia kasus bunuh diri pada mahasiswa marak terjadi. Tahun ini kita digemparkan dengan maraknya pemberitaan tentang mahasiswa bunuh diri. Di awal tahun, 24 Januari 2023 mahasiswa ditemukan bunuh diri dengan meloncat dari lantai 4, kemudian mahasiswa di Jambi ditemukan tak bernyawa di kamar kos pada tanggal 2 Maret 2023, dan kasus-kasus yang lain sampai di Oktober tahun ini ditemukan lagi kasus dugaan bunuh diri seorang mahasiswa yang ditemukan tewas di Mal Paragon Semarang, Jawa Tengah, pada 10 Oktober 2023. Tidak berhenti, esok harinya kembali ditemukan tidak bernyawa di kamar kos, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang. Kasus-kasus ini menunjukkan tekanan besar yang dialami oleh para mahasiswa, depresi dan kurangnya komunikasi antara korban dan orang-orang di sekitarnya diduga menjadi faktor terbesar yang mengakibatkan mereka melakukan bunuh diri.
Remaja adalah populasi yang rentan memiliki ide atau melakukan percobaan bunuh diri. Remaja berada pada masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Rentang usia masa remaja yaitu mulai 10-12 tahun hingga umur 18-22 tahun (Santrock, 2002). Banyak terjadi perubahan pada masa remaja, mulai dari perubahan biologis maupun psikologis. Pada fase ini remaja akan menempuh perubahan secara kognitif, fisik maupun emosional yang akan menimbulkan stress serta perilaku yang istimewa (Stuart, 2013). Masalah-masalah yang menimbulkan stress dapat menyebabkan performansi tidak optimal, dan apabila tidak ditangani dengan cepat akan menimbulkan masalah seperti depresi. Menurut Beck (1985) depresi dapat disebabkan karena adanya kesalahan dalam berpikir, sehingga ia akan menyalahkan diri sendiri dan kemudian membuat seseorang memiliki ide bunuh diri.
Mahasiswa yang mengalami transisi dari masa remaja ke dewasa awal termasuk ke dalam populasi yang berisiko tersebut (Salsabhilla dan Panjaitan, 2019). Menurut Wurinanda (2015) beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh mahasiswa, antara lain: keuangan, relasi dengan dosen, masalah akademis, hubungan pertemanan, masalah percintaan, dan gangguan kesehatan. Tidak sedikit orang yang ketika mengalami masalah akan memiliki ide bunuh diri. Pramana, Wayan, dan Puspitadewi (2014) juga menyampaikan beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ide bunuh diri yaitu: tingkat depresi yang tinggi, memiliki kecerdasan emosi yang rendah, tipe kepribadian, rendahnya dukungan sosial yang diberikan, dan kesejahteraan psikologi.
Faktor kesehatan mental menjadi poin kunci dalam pemahaman bunuh diri di kalangan mahasiswa. Tekanan akademis, ketidakpastian masa depan, dan beban sosial dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap gangguan kesehatan mental. Pikiran ingin mengakhiri hidup bisa terjadi karena macam-macam gangguan psikologis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Black dan Winokur mengatakan bahwa terdapat lebih dari 90% dari orang-orang yang melakukan bunuh diri menderita gangguan psikologis (Durand & Barlow, 2003).
Kesehatan mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran, maupun fisiknya juga sehat. Karena kondisi fisik dan psikisnya terjaga dengan selaras, orang bermental sehat tidak akan mengalami kegoncangan, kekacauan jiwa (stres), frustasi, atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental prima juga memiliki kecerdasan seimbang baik secara intelektual, emosional, ketaatan ibadah atau spiritualnya untuk mencapai kebahagiaan hidup. Spiritualitas mahasiswa mampu mengurangi stress dan depresi. Spiritualitas salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan mental pada kaum muda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja yang kuat secara spiritual atau agama memiliki kesehatan mental yang lebih baik (Bhui et al., 2005). Lebih tahan terhadap tekanan-tekanan hidup yang dihadapi dan relatif lebih bahagia (Abdel-Khalek, 2015). Dari hasil temua-temuan dalam penelitian terdahulu dan penelitian ini dapat dijelaskan bahwa ada pengaruh spiritualitas dengan kesehatan mental. Orang yang beragama, kesukaran atau bahaya sebesar apapun yang harus dihadapinya, akan sabar, karena dia merasa bahwa kesukaran dalam hidup itu merupakan bagian dari cobaan Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Ia tidak memandang setiap kesukaran atau ancaman terhadap dirinya dengan cara negatif, akan tetapi sebaliknya melihat bahwa di celah-celah kesukaran tersebut terdapat harapan-harapan. Dia tidak akan menyalahkan orang lain atau mencari sebab- sebab negatif pada orang lain (Daradjat, 1993).
Institusi pendidikan tinggi juga memiliki peran besar dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental mahasiswa. Salah satunya, mengoptimalkan peran pembimbing akademik bukan hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang kesejahteraan emosional mahasiswa. Hal ini sangat penting untuk mencegah depresi dan stress akademik pada mahasiswa. Pembimbing akademik memberikan dukungan emosional, bimbingan akademik, membantu mengidentifikasi masalah awal, merencanakan studi yang seimbang, mengatasi konflik, mendukung perkembangan pribadi, menghubungkan mahasiswa dengan sumber daya kampus, dan mengurangi isolasi sosial. Dengan bantuan pembimbing akademik yang baik, mahasiswa memiliki peluang lebih baik untuk mengatasi tekanan akademik dan pribadi, yang dapat mencegah depresi dan stres yang berkepanjangan yang memicu timbulnya pemikiran bunuh diri. Selain itu diharapkan untuk melakukan skrining ide bunuh diri, depresi, stress akademik, dan regulasi emosi minimal setiap 6 bulan sekali. Itu merupakan langkah yang baik untuk mendukung kesejahteraan mahasiswa secara menyeluruh. Skrining rutin dapat membantu mengidentifikasi masalah kesehatan mental secara dini, sehingga tindakan pencegahan dan intervensi dapat dilakukan sebelum masalah semakin memburuk. Dengan melakukan skrining secara rutin, kampus menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan mahasiswa dan membantu mengurangi stigma terkait dengan masalah kesehatan mental.
Bunuh diri mahasiswa tidak hanya merupakan masalah kesehatan mental, tetapi juga mencakup aspek spiritual dan sosial. Analisis kesehatan jiwa yang dipadukan dengan pemahaman Islam dapat memberikan perspektif yang lebih komprehensif dan holistik dalam menghadapi krisis ini. Pentingnya spiritual, dukungan masyarakat, dan psikoedukasi kampus merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mahasiswa. Dengan kerja sama semua pihak, kita bisa bersama-sama mencegah tragedi bunuh diri dan membangun lingkungan kampus yang lebih aman dan peduli.
____________
Referensi:
Apakah spiritualitas berkontribusi terhadap kesehatan mental Mahasiswa? Diakses melalui situs Jurnal.iicet.org/index.php/j-edu/article/download/334/346 pada tanggal 2 Desember 2023.