Mohon tunggu...
Mohamad Baihaqi
Mohamad Baihaqi Mohon Tunggu... -

menulis itu berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rumah (Ini) Sakit

21 Desember 2013   23:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai penanda identitas yang dapat menunjukkan tempat tinggal seseorang, rumah menjadi sangat melekat pada diri pemiliknya. Alamat rumahbisa ditunjukkan oleh nama jalan, deretan hunian, atau nama lingkungan. “Rumah” juga identik dengn kata “pulang” yang menunjukkan fungsinya sebagai tempat beristirahat atau singgah kala lelah. Sekarang banyak tempat dibubuhi kata rumah, semisal “rumah makan”, “rumah sakit”, dan “rumah ibadah”. Di sini “rumah”lebih sebagai tempat singgah daripada menunjukkan identitas si tuan rumah.

Dapat dilihat lebih jauh bagaimana rumah pada tempat-tempat khusus seperti di atas menunjukkan kapasitasnya sebagai ruang publik tentu boleh dihuni oleh siapa saja, meski tak berhak untuk dimiliki atau dikuasai.

Tempat-tempat yang disematkan kata rumah di sini sudah mengacu pada bentuk suatu tempat. Bukan lagi menyerap fungsi dan isi rumah yang sebenarnya. Pondasi dan bentuk rumah tak mengacu pada kebutuhan seseorang, melainkan kebutuhan publik. Segala fasilitas harus berkiblat pada selera publik. Maka, rumah- rumah tersebut menjadi bagian yang tak bisa terpisah dengan publik. Tanpa pengunjung, rumah publik itu tak akan menjadi rumah.

Seberapa kreatifkah pengelola rumah (publik) tersebut memaksimalkan pelayanannya, menjadi tugas dan bagian dari kenyamanan dan kebahagiaan publik ketika merumahkan tempat singgah seperti itu. Pelanggan akan melihat bagaimana layanan para pelayan semenjak datang sampai meninggalkannya. Karena pada saat itu, bukan bentuk rumah yang menjadi ukuran utamanya,melainkan seberapa ramah pelayan datang dengan senyum yang basah.

Rumah-rumah tersebut selayaknya mengutamakan kenyamanan dan keamanan seorang pengunjung, bukan hanya mononjolkan kemegahan gedung yang lebih dipandang sebagai simbol status kelas. Tentu bentuk fisik menjadi pertimbangan kedua setelah kenyamanan, kepuasan dan keamanan seseorang yang singgah sejenak. Kenyamanan publik menentukan keberhasilan si pemilik.

Rumah publik menjadi semacam tanda akan adanya tempat singgah yang boleh dimasuki oleh semua lapisan masyarakat. Di setiap nama “rumah” punya makna yang mewujudkan sebuah ide. Seperti rumah di sini jelas sebagai kata penjelas bagi tempat singgah makan, tempat perawatan bagi yang sakit, dan tempat beribadah.

Kebutuhan masyarakat terhadap tempat-tempat tersebut tergolong sebagai kebutuhan primer, sehingga bila setiap saat merasa butuh, kita boleh mengunjungi dan menikmati tempat persinggahan, bukan sebagai tempat tinggal.

Bias Persepsi di Rumah Sakit

Rumah publik (khusunya yang dibangun dari uang negara) menjadi hak kita dalam menikmati layanan yang disediakan. Semisal“rumah sakit” –yang akan dibahas lebih khusus di sini—pelayanannya seringkali mengecewakan masyarakat. Para aparatus di dalamnya seringkali bias persepsi memandang posisi antara rumah publikdan masyarakat. Padahal rumah publik seperti itu adalah rumah masyarakat dan harus dilayani sebagai si tuan rumah.Tentu pengurus rumah sakit harus mengutamakan kepentingan publik.

Usaha dan profesionalitas para pelayan dalam mengurus tempat-tempat publik ini sangat menentukan maju tidaknya rumah-rumah singgah ini. Kemajuan yang ditunjukkan oleh kepuasan para konsumen dalam menikmati layanan-layanan yang disediakan. Akhirnya rumah-rumah publik di atas menjadi bergantung pada kepuasan publik. Meski banyak yang tidak sadar, tempat-tempat di atas adalah milik publik, sehingga kadang kita temui semacam monopoli di ruang-ruang tersebut. Pemilik yang sebenarnya punya hak terhadapnya dianggap hanya jadi pasien yang tak memperoleh perawatan maksimal. Publik kerap merasa dirugikan.

Hak publik menjadi kabur akibat lemahnya kesadaran para pengelola terhadap posisi dan kewajiban atas pekerjaannya. Di sinilah sebenarnya bias antara si pemilik dan pelayanan tampak jelas. Sebuah rumah publik yang senantiasa mengutamakan kepentingan dan kenyamanan yang harus terjamin. Hal ini memunculkan kesenjangan antara pemilik rumah dan pelayan menjadi bagian dari paradoks.

Sebagai rumah publik, kadang pengelolaannya pun beragam, ada yang mengedepankan kualitas pelayanan, sebagian lagi hanya mengunggulkan bangunan dan peralatan yang tersimpan. Bagi pengelolaan yang hanya mempersolek bangunan biasanya hanya mengutamakan pencitraan lewat beragam label untuk meraup harga yang melangit. Meski kadang-kadang konsumen banyak yang mengeluh tidak puas dengan pelayanan, kenyamanan, dan keterbukaan anggaran. Keterbukaan anggaran yang diperuntukkan bagi rumah-rumah itu sehingga mudah dikontrol oleh lembaga yang berwenang. Karena sekali lagi, di area-area publik seperti ini kadang dimonopoli oleh sebagian kalangan untuk keuntungan pribadi.

Di sinilah bias persepsi pelayan yang seharusnya seperti “pembantu” di rumah-rumah pribadi yang selalu siap melayani kehendak si tuan rumah. Tapi di rumah publik kerap kita temui para pelayan memposisikan dirinya sebagai raja yang kerapkali mempersulit tuan rumah dalam mengakses haknya sendiri. Kesenjangan pun kerap terjadi antara masyarakat berekonomi tinggi dan masyarakat akar rumput ketika membutuhkan perawatan medis.

Untuk itu kontrol dari banyak pihak sangat dibutuhkan. Tanpa kontrol yang telaten, rumah-rumah publik akan mengalienasi si tuan rumah dari rumahnya sendiri. Di mana kita menemui para pelayan harus dilayani. Banyak modus sebenarnya yang dilakukan beberapa oknum dalam rumah-rumah publik tersebut, lepas dari pantuan banyak kalangan; media, NGO, ombudhsman dan lembaga pengawas lainnya. Termasuk ketika terjadi kesalahan yang fatal, misalnya seorang tak diterima untuk singgah dengan alasan ekonomi yang lemah, tak ditindaklanjuti secara serius. Kita barangkali kerap bertanya mengenai kinerja yang selama ini dpraktikkan di rumah sakit.

Kasus-kasus yang dibiarkan begitu saja tanpa ditindaklanjuti, masyarakat yang ditolak berobat karena menyodorkan kartu miskin, atau diterima tapi perawatannya diabaikan. Status kelas seorang menjadi pertimbangan perawat dalam melayani masyarakat. Jika demikian, kita menemui rumah-rumah yang dikuasai dan pemiliknya hanya bisa memelas menyaksikan dirinya diabaikan di rumah (yang) sakit. Lalu, kemana kita harus singgah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun