Beberapa hari lalu, tepatnya pada tanggal 01 November, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerjasama dengan Kompasiana menggelar acara nangkring bertema “Pendewasaan Usia Perkawinan” yang bertempat di Hotel Puri Indah Mataram. Acara tersebut berlangsung meriah diiringi dengan irama musik dan tarian tradisional. Beberapa peserta dengan antusias mengajukan pertanyaan seputar gejala pernikahan dini yang tengah marak terjadi di Indonesia, termasuk salah satunya di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Di NTB sendiri remaja yang menikah di usia dini berjumlah cukup tinggi, kabupaten yang menempati posisi tertinggi adalah Lombok Barat sebesar 5,52%. Tak dapat disangkal, persoalan pernikahan dini merupakan gejala yang muncul akibat beragam problem di tengah masyarakat.
Sedangkan Indonesia saat ini menempati urutan ke-37 di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak yang menikah di usia dini. Sedangkan di ASEAN Indonesia menempati posisi tertinggi setelah Kamboja. Apa gerangan yang menyebabkan generasi muda terjerembap mengakhiri masa muda yang penuh gelora perjuangan dan sejuta mimpi?
Tentu saja banyak problem yang mendasari—salah satunya seperti yang dissebutkan oleh narasumber adalah persoalan ekonomi. Lebih kompleks lagi disebabkan pengaruh budaya daerah setempat. Selain itu, salah satu indikator terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh pengaruh tekhnologi komunikasi semacam ponsel, media sosial yang pada awalnya hadir untuk memudahkan aktivitas sehari-hari, malah yang terjadi sebaliknya. Remaja di bawah umur 15- 24 tahun menggunakan tekhnologi komunikasi tidak pada tempatnya. Pada akhirnya, pemuda lah yang dimanfaatkan.
Hal terssebut menjalar sebagai gaya hidup. Imbasnya remaja pengguna internet, menurut hasil riset Global Youth Welbeing Index di tahun 2014 berjumlah 50%, sedangkan 50 % lagi tak kerja, dan 40% mendetira HIV AIDS. Dari persoalan tersebut, kaum muda seakan memangkas gelora muda dalam dirinya sendiri pada saat memutuskan untuk berrumah tangga. Namun keluarga yang terbangun dari usia dini adalah keluarga yang rapuh, rumah tangga seperti rumah pasir. Untuk itu keharmonisan dalam rumah tangga patut diukur dari kematangan usia seseorang.
Maka muncul sebuah program pemerintah semenjak tahun 2009 yang disebut “Generasi Berencana” diakronimkan menjadi “Genre”. Dalam program ini pemerintah mencoba “turun gunung” membina keluarga remaja dengan beragam sosialasi dan realisasi nyata dalam rumah tangga, sebagai instansi terkecil pendidikan generasi muda.
Pendidikan dalam keluarga mampu membentuk sebuah generasi dalam aktivitasnya sehari-hari, begitu juga setiap generasi akan tumbuh dalam kebudayaan yang terdiri dari kebudayaan setempat. Di tiap daerah, generasi muda dididik dan diperkenalkan sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki.Dari sana remaja dituntut memiliki sebuah misi yang harus diperjuangkan. Karena remaja merupakan tongkat estafet, generasi penerus yang tak hanya dikeloni dan diciptakan, melainkan “menciptakan” dirinya dengan mengoptimalkan peran jiwa dan raga.
Jiwa dan raga dibangun dengan kesadaran yang terencana. Dengan itu generasi muda akan terus mengoptimalkan kekuatan dirinya untuk berupaya mengejar apa yang diangankan dan dicita-citakan. Bilamana motivasi tersebut sirna dalam pikiran generasi muda, maka tentu saja ia mudah terjerembap ke jurang yang bisa membahayakan masa depan generasi muda salah satunya menikah di usia dini.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh DR. Abidinsyah Siregar, salah seorang narasumber dalam acara tersebut. Ia menjelaskan beberapa alasan yang menyebabkan remaja memilih nikah di usia dini, salah satunya yang paling wahid adalah rasa penasaran yang tinggi, khususnya pria. Tentu saja rasa penasaran adalah hal yang manusiawi dan lumrah, apalagi itu seorang pemuda. Namun saat rasa penasaran mengarah ke hal-hal yang negatif, maka pemuda pun mudah masuk dalam persoalan pelik.
Menuju Generasi Produktif
Di usia 15-40 tahun adalah usia produktif seseorang. Pada usia itu, remaja tengah memiliki kreativitas yang tinggi. Tapi bilamana energi kretif tersebut tak dimanfaatkan maka yang terjadi adalah laku konsumtif. Sebuah gaya hidup membeli tanpa mampu menciptakan.